"Eh, Pak? Ada apa?" tanya karyawan outlet yang aku belum tahu namanya. Namun dia pasti sudah tahu, kalau aku kakak dari Nakula."Sudah mau tutup?" Aku balik bertanya.Karyawan lelaki di hadapanku ini mengangguk cepat. "Malam minggu kita tutup agak akhir memang, Pak!""Saya ada perlu, boleh saya masuk?" tanyaku lagi."Silahkan, Pak." Karyawan itu menggeser tubuhnya dan membiarkan ku masuk ke dalam bangunan outlet.Netraku seketika awas dengan keadaan di dalam outlet ini. Tidak kudapati motor yang tadi Nakula pakai. Apa dia memang tidak kemari juga?Aku terus mengawasi keadaan di dalam outlet. Barang yang dijual ternyata banyak juga. Dari kaos berkualitas standar hingga premium. Semuanya tersedia di sini.Kepandaian Nakula dalam bisnisnya memang tidak diragukan lagi. Hanya saja otaknya itu sedang tidak sinkron karena mencintai perempuan seperti Karina. Padahal, dengan kesuksesan di usia mudanya. Dia bisa memilih perempuan yang lebih berkelas.Aku berjalan di antara rak serta kaus-kaus y
*****Hari Minggu sore. Kulajukan Fortuner hitamku meninggalkan parkiran kafe cabang. Seharian tadi, aku bergantian mengontrol tiga kafe cabang milikku yang tersebar di kota ini.Tidak ada masalah yang menimpa. Ketiga kafe cabang milikku beroperasi seperti biasa. Bahkan kulihat, pengunjungnya semakin meningkat saja.Sepulang dari kafe cabang ini, aku akan langsung ke rumah Ibu. Pagi tadi, Ibu sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Setelah memastikan Ibu beristirahat di kamarnya. Aku pun lantas pergi. Sudah kusewa perawat perempuan untuk mengurusi Ibu. Serta menitipkan juga Ibu pada Bi Yuyun.Pagi tadi, Nakula masih belum kembali ke rumah Ibu. Entah kemana dia. Pesan serta panggilan dariku pun tidak mendapatkan respon darinya.Sekitar empat puluh menit dari kafe cabang terakhir yang aku datangi. Aku pun sampai di sebrang bangunan rumah Ibu. Aku akan memastikan Ibu dirawat dengan baik oleh perawat yang kusewa.Menggeser pintu pagar, aku pun beranjak memasuki halaman. Kulangkahkan kak
Aku mengangkat wajah. Seolah tak mempedulikan ucapannya. "Abang tetap ngga izinin!" tegasku."Ngga ada yang perlu izin Abang! Ibu sendiri udah setuju!" balasnya mantap.Keningku melipat dibuatnya. Kuusap wajah dengan kasar.. Tak habis pikir dengan adikku ini. Rayuan apa yang sudah dia jejalkan pada Ibu, sampai Ibu menyetujui ini semua."Sekarang udah sore. Karina mau gue anter pulang. Besok pagi, dia balik lagi ke sini dan pulang setelah sore atau malam. Karina akan rawat Ibu sampai Ibu sembuh!" pungkasnya.Dia lantas mengajak Karina naik ke motornya. Setelah siap, mereka pun pergi dari hadapanku. Meninggalkanku dengan segala kebingungan yang mendera.Cepat aku berbalik untuk kembali ke dalam rumah Ibu. Gegas aku menemui Ibu di kamarnya. Sekarang, nampak Bi Yuyun yang menyuapi Ibu. Dan aku lebih suka seperti ini. Lebih suka Bi Yuyun yang mengurus Ibu, daripada Karina.Melihatku masuk ke kamar Ibu, Bi Yuyun segera beranjak pergi. Hingga akhirnya hanya aku berdua dengan Ibu di sini.Ibu
***"Hallo? Gimana?""Hallo Bu Bos. Seperti biasa, target pulang ke rumahnya. Sudah tiga jam di dalam rumah besar itu, tidak ada tanda-tanda target keluar dari dalam rumah. Satu minggu ke belakang kami mengintai, tidak ada tanda-tanda target kelayapan malam-malam. Target akan keluar dari rumah setiap jam tujuh pagi, kami ikuti, dan ternyata menuju rumah Ibu Bos!""Hmm. Oke. Tetap awasi!""Siapp!"Tuttt!Mematikan panggilan. Kuletakkan kembali ponsel di atas nakas. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam.Aku duduk sendirian di atas tempat tidur. Setelah Bi Yuyun membantuku berpindah dari kursi roda. Alat bantu yang dokter sarankan untuk tetap kupakai selama masa penyembuhan. Usiaku yang sudah tak lagi muda, membuat penyakitku sering kali kambuh dan akhirnya drop.Belum lagi, masalah yang menimpa sulungku, Sadewa. Serta masalah baru yang sedang diciptakan bungsuku, Nakula.Baru saja aku menghubungi orang suruhan yang ku tugaskan mengintai gerak gerik Karina. Gadis itu pulang setia
"Assalamu'alaikum!"Gadis berperawakan kurus, dengan rambut pendek sebawah bahu. Tergopoh memasuki halaman rumahku.Dia meraih tanganku, menciumnya takzim. Dia kini berdiri di hadapanku yang sedang duduk di kursi roda, di teras rumah."Waalaikumsalam," jawabku padanya."Ibu sudah sarapan?" tanyanya kemudian."Sudah, Karin."Nampak Karina manggut-manggut. "Karin bawa Ibu ke taman komplek ya? Kita berjemur di sana, panas matahari pagi ini lagi bagus," ajaknya."Boleh!" jawabku singkat. Karina mengangguk. Dengan sigap dia berjalan ke arah belakang, lalu mendorong kursi rodaku.Membawaku keluar melewati pintu pagar dan kembali mendorong kursi rodaku untuk menuju taman komplek.Karina tiba di rumahku setiap jam delapan pagi. Kedatangannya selalu bersimpangan dengan kepergian Nakula dari rumah.Tiba di taman komplek. Cuaca memang sangat bagus. Sinar matahari memancar sempurna di area taman. Terlihat warga dari blok lain yang juga datang ke taman komplek ini.Karina menghentikan kursi rodaku
POV DEWA***"Buka mulut anak cantik," ucapku, seraya mendekatkan sendok plastik pada mulut Davina.Davina yang tengah duduk anteng memainkan boneka teddy bear kecil, menurut. Dia membuka mulutnya. Lantas segera aku menyuapinya bubur bayi buatan tangan Bu Titi.Entahlah. Menyuapi Davina menjadi kesenangan tersendiri bagiku. Apalagi, Davina selalu lahap, dengan makanan khusus bayi yang Bu Titi buatkan untuknya. Aku selalu semangat menyuapinya. Baik makan pagi, siang, makan selingan camilan buah atau biskuit.Bukan hanya menyuapi makannya. Mengganti diapersnya. Membuat susu formula, yang sejak 40 hari dia lahir, menggantikan ASI dari Mamanya. Memakaikannya pakaian. Tidur bersamanya dan terbangun tengah malam, karena dia selalu bangun untuk kembali menyusu.Semua itu seakan menjadi hal baru yang menyenangkan. Aku jadi tak betah lama-lama di kafe. Aku selalu ingin cepat pulang. Aku selalu merindukan senyum dan tawa putri kecilku. Bahkan dalam satu minggu, aku hanya satu kali pergi mengont
Pulang dari taman komplek. Davina tergolek di pangkuanku. Dia tertidur. Sesampainya di rumah, aku segera membaringkan tubuh Davina.Aku berhasil memindahkan tubuhnya yang tertidur ke atas kasur tanpa membuatnya terbangun. Lantas aku berjongkok, kutatap lekat mata yang kini terpejam di hadapanku, yang semakin hari semakin mirip dengan Kharisma.Lantas aku berdiri. Bergegas keluar dan meminta Bu Titi segera menemani tidur Davina.Kuhubungi Alwina. Entah siapa yang bisa kujadikan teman untuk berbagi kekesalan ini. Tapi hatiku rasanya tergerak untuk menghubungi perempuan hitam manis nan bersahaja itu.Setelah mengiriminya pesan untuk bertemu. Ternyata Alwina sedang tidak di tempat. Baik di rumah maupun kantor. Alwina tengah berlibur bersama Naga dan pengasuhnya ke satu kawasan di daerah Bandung Selatan. Dia akan di sana selama tiga hari katanya.Alwina mengirim share-loc dimana dia tengah berlibur. Memintaku mendatangi dan bergabung jika aku ingin bertemu dengannya. Kuhembuskan napas kas
Aku duduk di kursi kayu panjang. Bersandar dengan menyilangkan tangan di depan dada. Memandang tenangnya air danau kebiruan di depanku kini.Cuaca pagi ini masih diselimuti kabut. Hawa terasa begitu dingin. Aku menyesal hanya memakai kemeja flanel lengan pendek datang ke tempat ini.Keadaan di sekitarku juga belum ramai orang. Bahkan, perahu-perahu kayu yang dipakai, sebagai transportasi untuk mengitari danau, atau mencapai pulau kecil ber-ikon batu cinta di tengah-tengah danau ini, masih berjejer rapi di pinggiran danau tanpa nahkodanya. Mungkin aku terlalu pagi datang ke tempat ini.Kuhirup udara di sini. Sejuk. Berpadu dengan alam. Sejauh mata memandang, hamparan air danau yang tenang, dikelilingi kebun teh yang menghijau, begitu memanjakan mataku.Hanya hitungan jari, aku pernah singgah ke tempat ini. Dan kini, Alwina seakan menuntunku untuk datang kemari. Menikmati alam terbuka untuk menenangkan diri.Memang tidak salah, aku menghubungi Alwina untuk mencari teman bicara. Pilihann
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih