Selesai sarapan pagi ini. Aku langsung bergegas ke rumah Ibu. Dengan membawa sertifikat toko yang kemarin diberikan Pak Ken. Rumah Ibu hanya terhalang lima rumah lain dari rumahku. Rumah Ibu memiliki dua lantai. Di rumah, Ibu tinggal bersama sepasang suami-istri yang menjadi ART-nya. Juga Nakula.Tapi Nakula jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di outlet miliknya. Nakula menekuni usaha di bidang kaos distro yang dijualnya secara offline juga online.Outlet kaosnya berupa ruko dua lantai. Lantai bawah sebagai tokonya langsung. Sedangkan lantai dua sebagai tempat produksi kaosnya. Dimulai dari pola. Cutting. Sablon. Hingga penjahitan. Semuanya dilakukan di lantai dua.Darah seorang pebisnis turunan dari almarhum Ayah. Sepertinya memang mengalir dalam diriku juga adikku itu. Di usianya yang baru 24 tahun, Nakula sama sepertiku dulu. Sudah berhasil memiliki usaha sendiri. Mengelola bisnis yang diminati. Menggelutinya dan terus mengembangkan. Sampai akhirnya berdiri, berjal
BRAKKK!Aku terlonjak bangun. Ketika pintu kamarku dibuka kasar dari luar. Baru saja tubuhku rebah malam ini. Setelah selesai menyesap rokok di teras balkon tadi. Nampak Nakula berdiri di ambang pintu kamar.Dia menatapku tajam. Baru kali ini, tatapannya itu begitu menusuk. Dia berjalan masuk ke dalam kamarku dengan cepat."Apa yang udah lo lakuin sama Karina, Bang?!" hardiknya saat ini di hadapanku.Aku mengernyit mendengarnya. "Lakuin apa maksud kamu?" "Ngapain Abang nemuin dia di depan kantornya? Suruh dia jauhin gue. Ngapain, Bang?! Gara-gara lo, Karina mutusin hubungannya sama gue!" teriaknya.Aku turun dari tempat tidur untuk berdiri di hadapannya. "Jadi bener, kamu ada hubungan sama dia? Ck. Baguslah kalau dia tahu diri untuk mengakhiri hubungannya sama kamu!" ujarku."Lo apa-apaan sih, Bang? Ngapain lo recokin hubungan gue sama Karina?" sentaknya padaku."Kamu adik abang, Naku! Abang ga mau kamu ada hubungan sama Karina. Lagian apa sih yang kamu liat dari Karina? Kurus, aroga
Pukul 08.00 pagi.Aku keluar dari kamar setelah berpakaian rapi dan bersiap ke cafe meski sekarang weekend. Menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Lalu menuju ruang makan. Sarapan pagi sudah tersaji seperti biasa. Aku menyendok sedikit nasi dan menyiramnya dengan kuah ikan patin."Pak Dewa," sapa Bu Titi sambil menggendong Davina."Iya?" jawabku. Seraya tetap meneruskan sarapan yang tinggal sedikit."Pak, izin jalan-jalan ya. Bu Ti, Bi Ima, mau ke alun-alun, sama Davina juga. Boleh, Pak?" ujar Bu Titi.Sarapaku sudah habis. Aku lantas meneguk segelas air, lalu mengelap sekitar mulut dengan tissue."Kapan, Bu?" tanyaku kemudian."Paling sebentar lagi, Pak.""Naik apa ke sana?""Nanti pesan taksi online.""Ngapain ke sana, Bi?""Yaa, jalan-jalan aja, Pak. Biar ga jenuh gitu Pak di rumah terus. Bawa main Davina juga Pak. Atau Bapak juga ikut? Sekali-sekali quality time sama Davina, Pak."Aku terdiam mendengar ajakan Bu Titi. Quality time bersama Davina? Seperti yang sering Kharisma tu
POV NAKULA*****[Kita putus!] Pesan singkat yang dikirim Karina seakan meruntuhkan dunia yang tengah kujejaki.Tidak ada angin, tidak ada hujan. Namun pesan singkat itu bak petir yang menggelegar. Segera aku menelponnya, sesaat setelah pesan itu masuk ke nomorku magrib tadi.Ternyata Karina tak terima. Bang Dewa mendatanginya di depan kantor sore tadi. Bang Dewa meminta Karina menjauhiku. Bang Dewa menyamakan Karina dengan Kharisma, kakaknya. Karina pun kukuh ingin putus denganku.Terpaksa aku ke rumah Bang Dewa dan memintanya untuk berhenti mengganggu hubunganku dengan Karin. Dia memang adik Kharisma. Tapi bukan berarti Bang Dewa berhak menilai Karina seperti Kakaknya.Karina perempuan apa adanya. Dia tidak suka berdandan seperti Kharisma. Karina terkesan tomboy dan ceplas ceplos. Tapi, dia bagai langit dan bumi jika disandingkan dengan Kakaknya.Karina tidak pernah mau kuajak bersenang-senang di klub malam. Berbeda dengan Kharisma, yang sering kujumpai ada di klub malam. Bahkan ent
Selesai sarapan pagi ini. Aku masih duduk di kursi meja makan. Tidak buru-buru beranjak untuk menyesap rokok seperti kebiasanku. Selesai merokok. Aku akan segera meluncur ke cafe.Tapi pagi ini, aku putuskan untuk di rumah. Meski sudah dua hari dan menjadi tiga hari dengan hari ini. Aku tidak pergi ke cafe."Jangan terlalu sibuk, Dewa. Kamu itu Bos-nya. Kamu itu owner. Kalau kamu sibuk, apa gunanya kamu punya banyak pekerja dan juga kekuasaan kamu?""Harusnya kamu bisa agak santai dan menikmati waktu kamu lebih banyak bersama Davina di rumah. Kamu ke cafe kalau weekend saja, gunakan waktu kamu untuk membersamai Davina!""Aku saja ada di kantor sampai jam makan siang. Sisanya aku serahkan urusan kantor sama wakilku. Dari siang hingga malam, aku di rumah. Menemani Naga. Meski Naga juga punya pengasuh. Tapi aku ngga mau melewatkan masa tumbuh kembangnya, Dewa!"Petuah yang Alwina berikan saat kami bertemu di alun-alun kota kemarin lusa. Benar-benar membuka pikiranku. Pemikirannya sangat
"Uhukkk uhukkk!!!" Tenggorokanku langsung tersedak mendengarnya."Uhukk uhukk!" Masih terbatuk aku bergegas ke ruang makan untuk meneguk segelas air.Menikah? Nakula mau menikah? Dengan siapa? Lalu menyerahkan pengelolaan toko pada istrinya? Segala pertanyaan tiba-tiba memenuhi pikiranku.Setelah tenggorokanku rasa membaik. Aku kembali menemui Ibu yang masih bersama Davina. Menghenyakan bobot kembali di atas karpet bulu yang empuk.Aku berdehem. "Bu, emang Nakula ada bilang sama Ibu kalau dia mau me-nikah?" tanyaku hati-hati.Ibu mengangguk cepat. "Ada, Wa. Dia katanya udah punya calon istri," jawab Ibu seraya tersenyum."I-ibu tahu calon istrinya?"Ibu terlihat menggeleng. "Belum, Wa. Ibu belum tahu. Tapi secepatnya mau dia bawa ke rumah, mau dia kenalin sama Ibu!"Glek!Aku menelan saliva dengan susah payah. Semoga Karina cukup sadar diri dan sudah menjauh dari adik lelakiku itu. Dan semoga calon istri yang akan Nakula kenalkan pada Ibu bukanlah Karina."Ibu ngga dikasih tahu juga s
Istirahat makan siang. Aku meninggalkan cafe. Kupercayakan cafe kepada setiap kepala bagian.Kupacu Fortuner hitam menuju rumah untuk menjemput Davina serta Bu Titi. Aku sudah membuat janji dengan Alwina.Kami akan bertemu di arena bermain keluarga yang tersedia di sebuah pusat perbelanjaan. Sesampainya di depan bangunan rumahku, Bu Titi dan Davina sudah standby. Segera Bu Titi memasuki mobil dengan Davina yang digendongnya. Setelah mereka masuk, aku kembali memacu mobil membelah jalanan di siang hari ini.Pertemuan ini merupakan ajakanku pada Alwina. Entah kenapa, aku merasa senang bisa dekat dengan wanita sederhana itu. Tutur katanya lembut tapi juga tegas. Dia mampu menata hatinya yang remuk meski tak utuh kembali. Dia juga sudah mampu melupakan pengkhianatan Guntur dan Kharisma. Entah kenapa, rasanya aku betah berbincang lama-lama dengannya.Dua puluh menit, aku sudah sampai di tujuan. Memarkirkan mobil di basement kemudian menuju arena bermain keluarga.Benar saja. Alwina beserta
Aku mematut diri di depan cermin. Pukul tujuh malam ini aku sudah siap pergi ke rumah Ibu. Davina sudah tidur bersama Bu Titi. Saat bertemu di area bermain tadi. Alwina mendadak sakit perut dan memutuskan pulang lebih dulu. Sedangkan aku menunggui Davina yang masih betah bermain dan baru pulang jam lima sore tadi.Selesai bercermin aku segera keluar dari kamar. Bergegas ke lantai bawah dan keluar dari rumah menuju rumah Ibu.Pintu rumah Ibu terbuka lebar. Mobil Pajero putih milik Ibu tak ada di carport. Nampaknya Nakula memakai mobil Ibu untuk menjemput wanitanya.Segera aku bergegas ke dalam rumah Ibu. Berjalan menuju ruang makan dan menemui Ibu yang sudah ada di meja makan sana"Dewa, duduk duduk, Wa! Naku sebentar lagi kembali. Dia masih di jalan, jemput calon istrinya," terang Ibu.Aku duduk di sebelah kiri Ibu. Di meja makan, sudah tersaji rupa-rupa hidangan menggugah selera. Bi Yuyun—ART di rumah Ibu terlihat masih menghidangkan makanan yang lain. Padahal makanan sudah cukup ban