Mulutku terbuka mendengar pernyataan Fitria. Adikku itu memang sudah mempunyai kekasih. Reaksi ayah juga berbeda saat Fitri yang memperkenalkan pacarnya itu. Konon Bagus adalah seorang pengusaha muda. Ketika datang, ia mengendarai sebuah mobil. Meskipun mobilnya belum terbilang mewah, yang penting kendaraannya beroda empat. "Kamu 'kan masih kuliah mana boleh menikah?""Aku bisa melanjutkan kuliah setelah menikah, malahan Mas Bagus berjanji akan membiayai kuliahku. Ayah juga pasti merestui niat baiknya, secara mas Bagus 'kan sudah mapan."Mendengar kata mapan, lagi-lagi aku menghela panjang. Teringat saat ayah secara tidak langsung menolak mas Faldo karena belum mapan. Kali ini, Fitria seperti yang sedang menyindirku."Bagaimana, Mbak? Karena satu hal yang membuat Ayah pasti tidak merestui karena aku tidak boleh melangkahi Mbak Zaskia. Tolonglah Mbak, bilang sama ayah kalau mbak tidak apa-apa dilangkahi atau segeralah menikah supaya tidak menjadi penghalangku." Fitria meraih tanganku
LalaBerada di rumah sendiri itu berbeda dengan di rumah mama ataupun di ruko. Di sini kami lebih leluasa, pertama karena tidak ada orang lain selain asisten rumah tangga. Kedua, tempatnya juga lebih luas. Tapi kalau dulu ketika masih tinggal di ruko dan keadaan rumah tangga kami sudah seperti ini tentu akan sangat terasa seru, pasalnya ruangan satu dan lainnya berdekatan. Aku bisa masak sambil ngobrol dengan mas Faldo yang sedang mengerjakan pekerjaannya di laptop. Tapi dulu 'kan beda, hubunganku dan mas Faldo saja masih lempeng.Sedikit-sedikit aku belajar masak, meskipun masakanku tak seenak masakan bi Anah. Sekarang sudah tidak takut lagi dengan minyak panas, bahkan menggoreng telur pun sudah lancar. Untuk masakan sederhana seperti tumis kangkung, goreng tempe atau sambal, aku sudah bisa dan setiap kali aku masak, mas Faldo pasti memuji masakanku enak. Entah memang benar atau hanya sekedar untuk menyenangkan hatiku. Yang jelas aku merasa senang. Dalam urusan memasak, suamiku lebi
Selesai mandi aku mendapati tiga panggilan tak terjawab dari mama. Maklumlah mandi barusan bilang agak lama. Aku pun memutuskan untuk menghubungi mama sebelum berpakaian. Khawatir ada sesuatu yang penting lantaran mama memanggilku sampai tiga kali."Hari ini Mama mau ke kantor urusan agama untuk mengurus perceraian. Kamu ada waktu nggak untuk nemenin Mama?" tanya Mama setelah kami berbalas salam."Jam berapa, Ma? soalnya hari ini Lala ada kuliah pagi.""Sekitar jam 10.00.""Kayaknya Lala nggak bisa.""Ada apa?" Tanpa suara mas Faldo bertanya ketika aku mengucapkan kalimat tidak bisa. Lalu aku pun menjelaskan dengan suara pelan."Biar Mas aja yang berangkat menemani Mama."Aku mengangguk."Jam 10.00-an nanti Lala ada kelas, Ma, dan nggak bisa ditinggalkan. Kata Mas Faldo biar dia yang menemani Mama. Enggak apa-apa 'kan?""Iya, Sayang, nggak apa-apa. Sebenarnya Mama juga bisa sendiri, cuma ya, Mama kurang percaya diri aja.""Ya Ma, Lala ngerti. Nanti Lala hubungi lagi. Sekarang Lala mau
Malam harinya aku memberitahu mas Faldo perihal pertemuanku dengan Kinara. Suamiku itu hanya mengangguk tanpa berkomentar apapun mendengar berita gadis yang dulu sempat membuatku cemburu lantaran kerap mencari perhatian suamiku. "Mas nggak mau mengomentari tentang Kinara?" tanyaku penasaran sambil mengulurkan air minum untuknya."Nanti kalau Mas berkomentar kamu nggak suka," kekehnya seraya keberanian gelas dariku lalu menyeruput."Tapi Mas Faldo mau ngasih komentar 'kan?" desakku lalu duduk di sebelahnya.Mas Faldo menyimpan gelas yang isinya tersisa separuh. Pria itu lalu menoleh dan merapatkan tubuhnya."Bukan komentar sih, lebih ke harapan. Mudah-mudahan Kinara sadar kalau apa yang dia lakukan itu salah. Pertama karena dia menjalin hubungan dengan pria beristri terlalu jauh yang jelas-jelas dilarang oleh agama, kedua tidak teliti dulu tentang asal usul seseorang.""Aku juga berharap seperti itu, mudah-mudahan setelah di Amerika Kinara bertobat. Syukur-syukur kalau dia mendapatkan
Setelah kupertimbangkan, akhirnya aku menyetujui rencana Mas Faldo untuk liburan di pesantren. Dengan syarat hanya dua minggu. Sisanya aku ingin menghabiskan waktu di rumah mama.Keputusan itu kuambil didorong rasa penasaranku pada masa lalu Mas Faldo dan kesehariannya di pesantren. Meskipun saat aku diajak berkunjung ke pesantren dulu, Umi Fatimah sempat bercerita sedikit tentang Mas Faldo dan asal usul keluarganya. Tapi itu hanya garis besarnya saja. Aku yakin Umi Fatimah tahu semuanya dan aku ingin beliau menceritakannya tanpa ada yang terlewat.Umi Fatimah menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia. Sewaktu kami berkunjung dulu, Umi memang memintaku untuk menginap di sana dan saat kami datang dengan membawa koper, wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya."Kalian boleh menempati kamar Gus Ridwan," kata Umi sambil menunjuk ruangan yang berada di sebelah ruang tengah kediamannya. Mas Faldo pernah bercerita kalau Gus Ridwan adalah putra pertama kyai Mustofa dan Umi F
Tiba di mesjid aku terus mengikuti kemanapun Umi berjalan. Begitu perempuan itu duduk, aku pun ikut duduk di sebelahnya. Jujur saja ini pengajian pertama yang kuhadiri selain kajian Bu Zaskia. Bedanya jika kajian Bu Zaskia tempatnya di mesjid yang lebih kecil dari dan pesertanya hanya belasan saja. Berbeda dengan jama'ah pengajian ini yang memenuhi mesjid besar hingga suasananya sangat berbeda."Maaf, Mbak Lala bisa geser sedikit?" Tiba-tiba ustadzah Aliya yang baru saja datang memintaku untuk pindah ke belakang umi dan dia sendiri menempati tempat yang baru saja kutinggalkan. Tidak ada raut bersahabat dari wanita berhijab lebar ini.Selama pengajian berlangsung, aku tidak bicara sepatah pun kecuali ketika berdoa ikut mengaminkan. Beruntung sebelumnya aku sudah terbiasa mengikuti kajian Bu Zaskia, jadi sekarang Aku tidak terlalu kaku.Menjelang ashar pengajian selesai. Setelah bersalaman kami pun bubar. Seperti ketika berangkat tadi, aku terus mengekor di belakang Umi hingga beberap
"Sepertinya Mas Faldo cukup terkenal di lingkungan pesantren ini." Aku dan Umi Fatimah berjalan bersisian."Faldo memang pandai bergaul. Bukan hanya di pesantren, kamu lihat sendiri tadi ketika Umi memperkenalkan Lala pada jamaah pengajian. Mereka sangat antusias menyambut istri ustad kesayangan mereka." Umi menutupi kalimatnya dengan tawa kecil."Ustad kesayangan? Jadi Mas Faldo juga suka dakwah di pengajian?""Iya, meski statusnya masih jadi pengganti ketika ustad yang biasa sedang berhalangan. Tapi para jamaah menyukai ceramah suamimu."Aku mengusap dada sebagai ekspresi dari rasa kaget campur kagum. Ternyata suami yang dulu kuremehkan ini bukan orang sembarangan. Aku pernah mengira mas Faldo hanya memanfaatkan statusnya sebagai suamiku untuk mengatur hidupku. Memintaku menutup aurat misalnya, atau melarangku bepergian tanpa sepengetahuannya. Juga solat dan tentang kepatuhan kepada suami.Ah, ternyata semua itu dia lakukan karena ilmunya. Aku jadi malu kalau teringat sikapku di awa
Untuk beberapa saat kami bekerja dalam keheningan. Dalam hati, aku berdoa mudah-mudahan terong ini cepat habis, hingga aku bisa menghindar duduk berdekatan dengan ustadzah Aliya. Bukan apa-apa, entah mengapa sejak kami pertama bertemu kemarin, aura wanita ini sudah berbeda."Nuning, ambil air dalam baskom lain! Sepertinya ini tidak akan muat semuanya dalam satu wadah." Ustadzah Aliya memberikan perintah pada Nuning. Gadis yang berada di antara kami pun kemudian bangkit."Enggih Ustadzah, saya ambilkan."Aku menahan nafas ketika Nuning bangkit dan mulai berjalan menjauh.Sepertinya ustadzah Aliyah mencari alasan supaya Nuning pergi. Pasalnya, baskom berisi air di depan kami cukup besar, sepertinya muat untuk menampung terong-terong ini setelah dibersihkan."Apa Mbak Lala tidak malu mendapatkan suami yang soleh seorang ustad Faldo yang punya nama baik di pesantren ini? Seharusnya Mbak Lala cukup tau diri." Benar saja, ustadzah Aliya sengaja menyuruh Nuning pergi supaya dia bisa leluasa
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong