Yoona"Yoon, kamu cuma berdua saja dengan ibumu? Dari tadi perasaan aku tidak melihat ayahmu," Jordan menatap sekeliling. Hari ini Jordan beserta kedua orang tuanya datang membezuk ibu. Aku senang dia datang. Tapi pertanyaannya membuat hati ini perih. Bukan marah, hanya saja aku sedih mengakui kenyataan kalau di sini memang hanya ada aku dan ibu, tidak ada keluarga lain yang menemani sebagaimana pasien-pasien yang lain. "Ya, ayahku sedang berhalangan, jadi dia tidak bisa datang," Aku menjawab singkat. Sebenarnya aku malu jujur jika sebenarnya Ayahku sedang sibuk mau kawin lagi. Memang terlalu menyedihkan."Oh, begitu," Jordan mengangguk."Sudahlah, tak usah membahas ayahku." Aku bicara berterus terang. Sebab aku memang malas membahasnya. Mendengar kata-kata ayah saja sudah cukup membuatku muak."Baiklah. Hmm... Yoon, ini aku ada uang untukmu," ujarnya."Apaaa? Uang untukku?" Aku terkejut.Aku menatap tangan jordan, di sana terselip beberapa lembar uang merah. "Ya, aku tahu kamu pas
Wanita itu tersungkur tepat di pangkal tangga. Membuatnya tersungkur menyusuri anak tangga. Memang sengaja tadi di sana kutaruh kulit buah pisang yang tadi mereka bawa. Aku tertawa jahat!Rasakan itu, Laila!Secepat kilat aku melangkah menuju ke kamar rawat ibu lalu duduk di depannya. Sebentar kemudian sekonyong-konyong datanglah ayahku. Di dalam gandengannya kulihat Laila yang terisak. Sedang di belakang mereka, Jordan menuruti langkah ayah.Ketika melihat Laila, aku melihat lebam di kening dan pipinya. Ternyata separah itu akibat terjatuh tadi. Maaf ya, Laila! "Kamu apakan ummimu, Yoona?" ayah serta merta membentakku."Apa maksudnya,Yah?" Tanyaku bersikap seolah tak tahu apa-apa."Kamu kenapa menyuruh ummi-mu masuk ke kamar mayat?" ayah mendelik."Kamar mayat?" Aku membulatkan mata."Tidak usah berpura tidak tahu Yoona!" sela Laila."Lihatlah, ini mukaku, ini semua karena salahmu!" hardiknya lagi."Salahku? Mukamu? Memangnya tadi habis ku apakan keningmu?" tanyaku."Gara-gara kam
"Yoona, mau kemana?" tanya ibu.Aku menoleh padanya."Mau ke acara pernikahan ayah, Bu!" Jawabku.Kurasa memang tidak perlu ada yang harus aku sembunyi-sembunyikan. "Ke pernikahan ayahmu? Kamu benar-benar ingin ke sana?" Mama menatap."Ya, Bu. Mereka mengundang kita. Jadi kita harus datang. Karena keadaan ibu masih belum sehat betul, jadi biarkan aku yang mewakili," jawabku."Nak, apa kamu yakin? Ibu takut sesuatu terjadi padamu di sana nak," Beliau terdengar mengkhawatirkanku.Aku mendekati ibu dan menggenggam tangan beliau."Ibu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bukankah Ibu lihat kalau aku sudah besar sekarang? Aku sudah SMA Bu, Jadi bukan anak kecil lagi. Akulah yang seharusnya mengkhawatirkan ibu, oleh karena itu aku tidak akan pergi terlalu lama." Aku meyakinkan ibu.Ibu kembali terlihat diam. Dalam beberapa detik tidak ada kata yang terucap dari bibirnya. "Apa ibu menyimpan rasa sedih karena keputusan yang kita ambil Bu?" Aku bertanya.Barangkali saja Ibu masih menyukai ayahku
"Hadiah macam apa ini, Yoonaaaa!!"Aku menatap Yoona geram. Namun anak tersebut hanya menatapku dengan ekspresi datar-datar saja. Bagaimana aku tak merasa semakin emosi coba. "Bagaimana mungkin orang seperti kamu bisa mengurus surat seperti ini? Jangan hilang kalau kamu memberikan aku surat palsu! Kalau kamu memasukkan semua dataku, ulama bisa aku laporkan ke pihak berwajib, Yoona!" aku menghardiknya."Itu bukan palsu! Kalau ayahmu menyangsikan keasliannya, ayah bisa cek sendiri ke kantor yang berwenang.""Yoona benar, tidak ada pemalsuan data sedikitpun." Tiba tiba seorang pria yang dari tadi kulihat mengikuti langkah Yoona ikut bicara. Ckckck... Siapa pria ini? Lancang sekali dia ikut campur urusanku!"Siapa pria ini, Yoona?""Dia Pak Rangga, pengacara kami. Berkat bantuan beliau kami bisa mengurus semuanya. Kami memang berhutang budi padanya."Jawaban Yoona sempat membuatku shock."Pengacara?" Tanpa sadar bibir ini berucap. Tentu saja aku heran. Bagaimana bisa mereka yang tidak b
"Aku benar-benar minta maaf Abah karena sepertinya aku tidak bisa membantu membayar tanah yang akan Abah beli. Tabunganku menghapus drastis karena keperluan tidak terduga di hari pernikahan kami." Dengan menundukkan kepala, aku menjelaskan apa yang harus kujelaskan. Aku berkata dengan jujur, Sebab aku tak ingin malu dua kali. Ayahanda istriku tersebut melihatku dengan sorot mata yang tak kumengerti. Jangan-jangan dia kecewa padaku."Tidak apa-apa, Nak Habib. Sebelumnya Abah juga sebenarnya ingin menunda pembelian tanah tersebut. Tapi karena kamu bilang siap membantu, makanya perjanjian itu Dil dilakukan esok pagi. Sayangnya Abah baru tahu hari ini kalau kamu tidak bisa membantu. Lain kali beritahulah jauh-jauh hari, Nak."Mendengar perkataan Abahnya Laila, aku bisa sedikit bersyukur karena dia tidak meluapkan kemarahan. Walaupun sebenarnya aku menjadi sangat malu. Aku baru saja menikahi putrinya, tapi secepat ini aku memberikan kesan buruk padanya. "Dengar-dengar, kamu dipecat dar
YoonaKu langkahkan kaki ini dengan segera. Tidak sabar lagi rasanya ingin sampai ke tempat di mana ibu berada. Dari kejauhan aku melihat ibu sedang di depan ruang rawatnya. Kondisinya terlihat lebih bugar. Dari jauh Ibu sudah tersenyum padaku. Senyum yang membuat semangatku kian tumbuh.Dengan rasa terharu aku mendekat"Ibu," aku menyambut tangan ibu lalu menciumnya. "Ini buat ibu, semoga ibu suka. Kalau ibu suka, ibu bisa menghabiskannya." senyumku.Segera aku menyodorkan kresek yang kubawa padanya. Tadi dalam perjalanan pulang sekolah aku membeli roti bakar kesukaan ibu. "Terimakasih, nak!" Ibu menyambut.Hari-hariku sekarang semakin penuh dengan sukacita. Bagaimana aku tak senang, Ibu sudah bisa berjalan meski belum bisa menempuh jarak terlalu jauh. Tapi ini sudah jauh membuatku lebih bersyukur. Setidaknya Ibu sudah bisa dikatakan sembuh. Namun meskipun begitu dokter Albert bilang sebaiknya kami tidak usah pulang terlalu cepat, menurutnya akan jauh lebih baik bila Ibu dirawat
Habib"Mas, mana janjimu dulu yang mau membelikanku rumah baru?" Laila bertanya.Ya, aku masih ingat jika aku pernah berjanji untuk membelikannya rumah baru. "Aku tidak mau terus-menerus tinggal di rumah ini! Kemarin aku sudah mendengar isu-isu miring orang tentangku. Aku tidak mau dibilang hidup numpang, Mas!" Tegas Laila kembali."Ada yang bilang aku numpang hidup di rumah mantan istri kamu! Kamu pikir enak dibilang begitu? Sama sekali tidak Mas!" Laila lagi-lagi mendesakku untuk segera membeli rumah baru. "Insyaallah bulan depan kita akan membeli rumah baru. Dik Laila yang sabar dulu. Mas harus cari lokasi yang baik dan strategis buat kita." terangku.Tentu saja aku tidak bisa membelinya dalam waktu sesingkat ini. Setidaknya aku harus menunggu sampai rumah ini laku terjual terlebih dahulu. Karena dari sanalah aku akan mendapatkan uangnya. Aku kembali mencoba untuk mempromosikan rumah ini pada berbagai marketplace, mulai dari memposting di media sosial, hingga menawarkan dari mu
Kudekati Laila, kugenggam kedua tangannya. Aku ingin bicara padanya dari hati ke hati. Aku sudah lelah menanggapi semua prasangka buruknya yang sama sekali tidak pernah kulakukan. "Sayang, sekarang dengar suamimu ini baik-baik. Aku tidak pernah mencintai wanita manapun sebesar aku mencintai kamu. Aku tidak pernah menyayangi wanita manapun seperti aku menyayangi kamu. Aku berkata sungguh-sungguh. Jadi tolong, jangan curigai aku pada wanita manapun. Aku mohon," aku harus mohon-mohon padanya hanya demi agar dia tidak terus-menerus berprasangka buruk padaku. Senaas ini memang hidupku sekarang. Padahal dulu seingatku, selama hidup bersama Amira aku bebas kemanapun, bebas untuk melakukan apapun tanpa dicurigai. Atau mungkin memang pernah Amira curiga, tetapi Amira wanita yang terlalu mudah untuk kuatasi. Mungkin karena ruang geraknya telah ku batasi sedemikian rupa, Karena itulah Amira tidak bisa berbuat banyak. Dan aku suka kehidupan seperti itu. Aku merasa derajatku lebih tinggi ketika
Bab 45Seharian ini pikiran tak tenang. Bayang-bayang Amira bersama seorang pria yang kulihat kemarin terus menghantui. Ada semacam rasa tak rela melihat kebersamaan tersebut. Aku tahu ini adalah perasaan yang salah, aku dan Amira sudah bercerai. Jadi tentu tidak ada hak bagiku untuk melarangnya Bersama siapapun yang dia sukai. Tapi masalahnya tidak sesingkat itu, jujur rasanya aku masih belum bisa berdamai dengan hati. Terlepas dari kesalahan apa yang telah Amira lakukan terhadap kami, rasa cinta masih tersisa untuknya.Amira memang sudah banyak berubah sekarang. Dan apakah dia memang mempunyai hubungan spesial dengan dokter tersebut atau tidak aku tidak tahu pasti. Tapi dari penglihatanku memang ada sebuah kedekatan di antara mereka. Hingga menyalakan api kecemburuan di hatiku. Memang aku mengetahui siapa Amira, dan rasanya susah dipercaya apabila seorang dokter bisa mencintai seorang wanita seperti Amira.Namun, jauh daripada itu aku harus mengakui jika Amira cukup bisa dise
Bab 44Sebenarnya aku ingin mengejar jejak langkah Amira. Tetapi lagi-lagi satpam sialan ini mencegah. "Amira ini adalah mantan istriku! Kamu tidak berhak untuk masuk ke dalam ranah pribadiku!" Aku menggertak."Kalau benar-benar masalah pribadi yang ingin anda bahas, sebaiknya jangan bahas di! Karena keamanan wilayah perkantoran ini berada dalam tanggung jawabku. Jadi tentu saja aku akan berusaha maksimal untuk turut menciptakan keamanan di sini!""Silakan pulang!" Satpam tersebut mengusir. Aku terpaksa menyingkir. Aku menelan saliva pikiran ini sungguh dibuat campur aduk.Melihat Amira yang meninggalkanku begitu saja, sungguh diri ini merasa tak berharga. Bahkan seseorang yang dulu takluk padaku pun sekarang sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Amira benar-benar keterlaluan.Terasa semua usahaku hari ini sia-sia. Bayang Ibu melintas di pelupuk mata. Maafkan anakmu ini Bu, belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Hati Amira amatlah busuk, bahkan untuk berbagi uang dari ruma
Bab 43Siapa gerangan yang berani diam-diam menggadai rumahku?Oh ya Tuhaan, aku melupakan sesuatu selama ini. Aku lupa bahwa sertifikat rumahku hilang. Aku memang ceroboh. Tapi siapa yang lancang mencuri sertifikat tersebut? Selama ini hanya beberapa orang saja yang bisa bebas keluar masuk di rumah.Yang pertama adalah ibuku. Apa ibuku yang mengambilnya? Tidak mungkin l! Ibuku bukan pencuri. Yang kedua Elia, tapi sama seperti Ibu Elia bukan pencuri.Lalu Laila, Aku ragu bila menuduh Laila yang mengambilnya. Toh dulu ketika mengetahui sertifikat itu hilang Laila juga turut bersamaku mencari sertifikat tersebut. Jadi Laila aku skip dari daftar orang-orang yang patut dicurigai.Kemudian orang berikutnya adalah Yoona dan Amira. Sesuai dugaan awal, kecurigaan ku tetap jatuh pada mereka berdua. Menemui mereka adalah sebuah pilihan yang tepat. Mereka tidak bisa semaunya menggadai rumah orang. Tidak tahu diri sekali mereka.Tapi jika aku menemui mereka sekarang juga, bagaimana dengan ibu
Bab 42"Tutup mulutmu Laila! Aku tak suka kamu mengatakan Ibuku seperti ini! Apa kamu menyumpahi agar Ibuku cepat meninggal? Haaa?" Aku sudah tak tahan lagi menahan kemarahan ini."Aku dan Aliya sibuk-sibuk di rumah sakit mengurus ibu yang tengah kesakitan memperjuangkan rasa sakit. Sedangkan kamu Ternyata sedang senang senang di sini! Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku! Di mana nuranimu!" Bibirku terus berkata. Amarahku benar-benar memuncak sekarang. Perbuatan Elia benar-benar sudah keterlaluan. "Kamu marah Aku di sini di rumah orang tuaku? Tidak bisa, Mas! Kamu tidak bisa mencegahku untuk pergi ke rumah orang tuaku! Kamu tidak bisa memaksaku hanya untuk mengurus keluargamu saja!" Laila malah melawanku dengan tidak menunjukkan rasa segan sedikitpun. Melihat kelakuannya saat ini, Aku sungguh dibuat murka. Dia adalah cerminan seorang istri yang tidak bisa menghormati suami dengan cara yang patut."Aku tidak memaksamu! Tapi kamu sendiri tidak ada inisiatif sedikitpun untuk me
Bab 41Ibu mertuaku stroke? Aduh ini tidak bisa kubayangkan. Tentu saja aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebab, jika mertuaku sakit, suamiku pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak Bersama sang ibu. Dan juga tentu kami akan kerepotan sekali. Ini nih definisi orang tua merepotkan.Dalam kekacauan ini, mataku mendapati satu sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.Elia? Dia ke sini? Apa maunya? Ck ck ck"Ada apa El?" Tanyaku cepat."Mbak, keadaan Ibu semakin memburuk. Dokter bilang kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oleh karena ini kita sebagai anak beliau, mau tidak mau harus saling topang menopang untuk membiayai ibu. Supaya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."Apaa? Dia bilang harus topang menopang dalam membiayai ibunya?"El, Mbak tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Karena Mbak sendiri tidak mempunyai cukup uang. Kamu tahu sendiri kalau selama ini kakakmu itu nganggur. Tentu saja kami tidak punya apa-apa. Jadi bagaimana mungkin kami bisa ikut mem
"Ibuuuu...!" Kekhawatiranku sedikit mulai berkurang ketika aku lihat ibu telah bisa membuka kelopak mata."Bu, Ibu sudah siuman. Syukurlah...," aku memeluknya erat.Namun sesaat kemudian, aku menyadari bahwa Ibu tidak menanggapi ucapanku. Aku menatap Ibu beberapa saat."Ha... Habib....," suara Ibu terdengar aneh.Mataku menyipit tatkala kudapati kenyataan bahwa wajah Ibu terlihat tidak simetris. Bicaranya tidak terdengar sempurna, tidak jelas, dan yang pasti ini tidak seperti biasanya."Ibuuu?" Kepanikanku mulai naik satu tingkat lagi.Sepertinya Ibu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terlihat tidak bisa menyampaikan keinginan beliau."Kita harus membawa ibu ke rumah sakit!" ucap ucapku cepat. "Bawa saja, Mas!" tanggap Laila."Kamu ikut?""Tidak."Aku kembali dibuat termangu."Kenapa tak ikut, Dik? Kalau kamu tak ikut bagaimana aku bisa membawa ibu ke rumah sakit? Siapa yang akan membantuku nantinya?ujarku padanya."Kamu bisa minta bayar taksi, Mas! Di rumah sakit ada dokter, p
Satu lagi kekecewaanku bertambah terhadap Laila. Aku sanggup menjual perhiasan ibuku demi untuk memberinya uang, akan tetapi ternyata Laila menggunakan uang-uang tersebut dengan membeli barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting.Seumur-umur Aku menikah dengan Amira, Amira tidak pernah menghambur-hamburkan uang secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh Laila.Ini bukan maksud membanding-bandingkan. Akan tetapi antara Laila dan Amira memang memiliki perbedaan yang kentara. Aku berkata begini karena aku memang merasakan perbedaan tersebut.Aku tahu Laila memang cantik, tapi tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar. Apalagi sampai memberi perintah pada orang tuaku seolah orang tuaku bukan sosok yang harus dihormati. Apabila ku tegur, dia malah main mengancam dengan membawa-bawa nama abahnya. Ini yang membuat situasiku sulit. Mengapa ya kalau dipikir-pikir rasanya hidup bersama Laila lebih membuatku kesusahan daripada ketika dulu masih bersama Amira. Dulu memang Amira tidak
HabibKutatap ponsel ini dengan hati yang menanggung pilu. Aku tahu status ini sudah bercerai, tapi apakah pantas seorang Amira berkata demikian padaku? Mengapa Amira tidak menerimaku bekerja di sana? Padahal seandainya saja Amira mau berpikir lebih panjang, mungkin dia tak akan lupa akan jasa yang pernah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun buruknya dia memandangku saat ini, tapi dia pernah menggantungkan hidup denganku. Apa dia lupa masa-masa itu?Tidak patut bagi seorang Amira mengabaikan aku dengan cara seburuk ini. Dia tak mengerti bagaimana kondisiku sekarang yang bisa dikatakan dalam kondisi sulit. Sudah sekian lama aku mencari pekerjaan belum ada yang cocok sama sekali, lebih tepatnya belum diterima. Seharusnya sebagai seorang yang pernah menjalani hidup bersama, Amira harus punya hati untuk menerima lamaran kerja aku. Sebegitu sulitnya bagi Amira untuk melakukan hal kecil tersebut? Benar-benar tidak mempunyai rasa terima kasih.Padahal sebelumnya kupikir Amira tidak akan b
"Yoona kamu habis bicara sama siapa?" Aku bertanya."Sama ayah," Yoona menjawab.Aku memperhatikan raut wajahnya yang nampak muram."Ibu lihat Yoona tampak sedih, memang apa yang telah ayah katakan?" aku kian menyelidiki."Rupanya Laila memberikan laporan palsu pada Ayah, hingga membuat ayah marah besar padaku," anak itu menjelaskan dengan raut wajah yang jauh dari kata ceria."Lalu? Apa kamu sudah coba jelaskan pada ayahmu tentang kebenarannya?""Sudah Bu. Tapi ayah lebih percaya perempuan itu," Sudah kuduga. Beginilah sifat laki-laki kebanyakan, selalu menukarkan anak di urutan kedua atau bahkan yang terakhir dalam prioritas hidupnya. Mau mengatakan sedih tapi ini memang kenyataan. Aku merangkul pundaknya. Aku kenal betul bagaimana kondisi anak ini ketika sedang dilanda kesedihan. "Bisa Yoona ceritakan kesedihan Yoona sama ibu?" Aku berujar lembut.Yoona menggangguk."Tentu,"Mulailah Yoona bicara. Menceritakan dari awal hingga akhir penggalan cerita yang menjadi sebab musabab ke