YoonaKu langkahkan kaki ini dengan segera. Tidak sabar lagi rasanya ingin sampai ke tempat di mana ibu berada. Dari kejauhan aku melihat ibu sedang di depan ruang rawatnya. Kondisinya terlihat lebih bugar. Dari jauh Ibu sudah tersenyum padaku. Senyum yang membuat semangatku kian tumbuh.Dengan rasa terharu aku mendekat"Ibu," aku menyambut tangan ibu lalu menciumnya. "Ini buat ibu, semoga ibu suka. Kalau ibu suka, ibu bisa menghabiskannya." senyumku.Segera aku menyodorkan kresek yang kubawa padanya. Tadi dalam perjalanan pulang sekolah aku membeli roti bakar kesukaan ibu. "Terimakasih, nak!" Ibu menyambut.Hari-hariku sekarang semakin penuh dengan sukacita. Bagaimana aku tak senang, Ibu sudah bisa berjalan meski belum bisa menempuh jarak terlalu jauh. Tapi ini sudah jauh membuatku lebih bersyukur. Setidaknya Ibu sudah bisa dikatakan sembuh. Namun meskipun begitu dokter Albert bilang sebaiknya kami tidak usah pulang terlalu cepat, menurutnya akan jauh lebih baik bila Ibu dirawat
Habib"Mas, mana janjimu dulu yang mau membelikanku rumah baru?" Laila bertanya.Ya, aku masih ingat jika aku pernah berjanji untuk membelikannya rumah baru. "Aku tidak mau terus-menerus tinggal di rumah ini! Kemarin aku sudah mendengar isu-isu miring orang tentangku. Aku tidak mau dibilang hidup numpang, Mas!" Tegas Laila kembali."Ada yang bilang aku numpang hidup di rumah mantan istri kamu! Kamu pikir enak dibilang begitu? Sama sekali tidak Mas!" Laila lagi-lagi mendesakku untuk segera membeli rumah baru. "Insyaallah bulan depan kita akan membeli rumah baru. Dik Laila yang sabar dulu. Mas harus cari lokasi yang baik dan strategis buat kita." terangku.Tentu saja aku tidak bisa membelinya dalam waktu sesingkat ini. Setidaknya aku harus menunggu sampai rumah ini laku terjual terlebih dahulu. Karena dari sanalah aku akan mendapatkan uangnya. Aku kembali mencoba untuk mempromosikan rumah ini pada berbagai marketplace, mulai dari memposting di media sosial, hingga menawarkan dari mu
Kudekati Laila, kugenggam kedua tangannya. Aku ingin bicara padanya dari hati ke hati. Aku sudah lelah menanggapi semua prasangka buruknya yang sama sekali tidak pernah kulakukan. "Sayang, sekarang dengar suamimu ini baik-baik. Aku tidak pernah mencintai wanita manapun sebesar aku mencintai kamu. Aku tidak pernah menyayangi wanita manapun seperti aku menyayangi kamu. Aku berkata sungguh-sungguh. Jadi tolong, jangan curigai aku pada wanita manapun. Aku mohon," aku harus mohon-mohon padanya hanya demi agar dia tidak terus-menerus berprasangka buruk padaku. Senaas ini memang hidupku sekarang. Padahal dulu seingatku, selama hidup bersama Amira aku bebas kemanapun, bebas untuk melakukan apapun tanpa dicurigai. Atau mungkin memang pernah Amira curiga, tetapi Amira wanita yang terlalu mudah untuk kuatasi. Mungkin karena ruang geraknya telah ku batasi sedemikian rupa, Karena itulah Amira tidak bisa berbuat banyak. Dan aku suka kehidupan seperti itu. Aku merasa derajatku lebih tinggi ketika
"Assalamualaikum," seseorang mengucapkan salam. Aku melirik ke arah daun pintu.Aku tersenyum ketika melihat Pak Abbas dan istrinya sudah datang. Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu apa maksud kedatangannya kemari. "Pak Abbas sudah datang rupanya. Silakan masuk dulu Pak," ujarku."Terimakasih, Habib," Beberapa saat kami berbasa-basi dan aku memberi mereka waktu untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh Laila."Rencananya hari ini aku dan istri akan melihat-lihat kondisi rumah terlebih dahulu," ucapnya kemudian."Oooh silakan, Pak, Bu. Silakan di cek." Laila menyambut hangat."Rumah saya ini berukuran cukup besar, mempunyai tiga kamar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang keluarga , dan ukuran halaman yang insya Allah tidak mengecewakan," aku mulai mempromosikan rumah yang akan kujual ini.Aku menunjukkan pada mereka ruangan demi ruangan."Rumah ini lumayan besar, dan gaya bangunan juga lumayan bagus." Pak Abbas memuji."Terima kasih, Pak. Ketika membangun rumah ini dulu,
Laila.Tiiin... Tiiin...Suara klakson didepan rumah. Aku segera menghampiri.Oh ya ampun, pak Abbas rupanya."Mas! Mas!" Buru-buru aku memanggil Mas Habib."Ada apa, Dik Laila?" "Ada Pak Abbas, Mas. Bagaimana sekarang? Kita harus apa?" aku panik. Aku tak ingin asa kegagalan di sini. Mas Habib langsung menemui Lak Abbas."Bagaimana, Bib? Kami sudah lama menunggu. Kenapa tak datang-datang juga?" Pak Abbas terlihat kesal."Aduh maaf Pak Abas bukan bermaksud tidak mau ke sana. Tapi kami sedang sibuk mencari sertifikat yang lupa ditaruh di mana?" Jawab suamiku meminta maaf."Aduh bagaimana sertifikat bisa hilang? Kalau sertifikatnya tidak ada bagaimana proses jual beli bisa dilakukan?" Tanggap Pak Abbas."Kami juga bingung, Pak. Tolong kasih kami waktu terlebih a untuk menemukan sertifikatnya." Ujar suamiku."Perjanjian kita kan hari ini, Bib. Bagaimana bisa ditunda-tunda? Kalau memang benar-benar hilang mengapa tak kau cari kemarin? Kamu tahu kan waktuku tak banyak Aku punya pekerjaan
Kurang ajar Yoona. Suaranya di ponsel telah mempermalukan aku di depan Mas Habib. Lagi pula mengapa dia harus menceritakan soal pesan yang kukirimkan padanya kemarin? Atau mungkin dia sengaja ingin? Dasar! "Benar kamu mengatakan sudah mengalihkan nama di sertifikat? Kalau begitu di mana kamu menyimpannya?" Mas Habib menatapku. Mungkin saja dia curiga karena mendengar perkataan Yoona tadi."Mana ada aku mengatakan begitu Mas, apa mas tidak tahu bagaimana kelakuan Yoona yang selalu saja ingin menyudutkanku? Kalau sudah tahu sifatnya begitu, harusnya Mas tidak usah menaruh kepercayaan lagi padanya!" ucapku.Aku tidak suka apabila masa dipercaya pada kata-kata Yoona."Tidak usah percaya pada Yoona, Mas! Anak itu memang sengaja ingin memporak-porandakan hubungan kita! Mas tahu dia tidak suka padaku, kan? Dia tak senang melihat kita bahagia! Makanya Yoona dan Amira menghalalkan segala cara! Coba Mas pikir baik-baik mana mungkin aku bisa mengotak-atik sertifikat sembarangan tanpa campur tan
"Kamu HRD di sini??" Mas Habib menatapku seakan tidak percaya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya akan bertemu mereka hari ini. Bertemu dengan dua orang ini adalah sesuatu hal yang sebenarnya tidak kuharapkan. Luka yang mereka torehkan di hati ini bahkan belum kering. Tapi aku berusaha untuk menutupi luka itu dengan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena aku juga menyadari bahwa tidak ada gunanya menahan seseorang yang memang berniat ingin pergi. Hati ini mengikhlaskan dengan segenap jiwa terhadap apa yang telah terjadi. "Tidak mungkin dia HRD di sini Mas! Jangan percaya dengan bibirnya yang terbukti suka berbohong ini! Palingan kamu di sini hanya sebagai petugas kebersihan, kan?" Laila berkata dengan kasarnya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya sosok Laila ternyata sedemikian kasar, sungguh berbanding terbalik dengan tampangnya yang terlihat lembut. Seperti ini rupanya sifat asli wanita pilihan mantan suamiku ini. Lihatlah betapa dia berusaha meyakinkan mas Habib k
Bab 35Habib"Apaaa? Amira sudah sembuh dari sakitnya?" Ibuku membawakan mata ketika kuberi kabar itu."Iya, Bu. Dia sudah sehat. Bahkan dia sudah bekerja sekarang." jelasku lagi."Tidak mungkin!" Kelihatannya Ibu tak suka dengan kabar tersebut."Tapi kenyataannya itu yang kulihat Bu," ucapku meyakinkan."Bagaimana bisa dia sembuh? Apa dia memakai jasa orang pintar?" Terdengar Ibuku seperti menyimpan kecurigaan."Aku tidak tahu Bu.""Lalu di mana dia tinggal sekarang?" Tanya ibu kemudian."Aku tidak tahu di mana persisnya dia tinggal. Aku bertemu dengannya di tempat dimana dia bekerja," "Kerja apaa?" Ibu kembali nampak penasaran."Mbak Amira kerja apa?" Elia juga tak kalah ingin tahu."Dia bekerja di kantornya Pak Ardhi,""Haaa? Dia kerja di sana?" Elia kaget."Yang benar saja kau, Habib!" Ibu mencoba menampik. Mungkin dikiranya aku sedang bercanda."Aku serius bu," ucapku."Kalau begitu bagaimana caranya?" Ibu bertanya-tanya, dimana aku sendiri tidak tahu apa jawabannya."Ya aku jug
Bab 45Seharian ini pikiran tak tenang. Bayang-bayang Amira bersama seorang pria yang kulihat kemarin terus menghantui. Ada semacam rasa tak rela melihat kebersamaan tersebut. Aku tahu ini adalah perasaan yang salah, aku dan Amira sudah bercerai. Jadi tentu tidak ada hak bagiku untuk melarangnya Bersama siapapun yang dia sukai. Tapi masalahnya tidak sesingkat itu, jujur rasanya aku masih belum bisa berdamai dengan hati. Terlepas dari kesalahan apa yang telah Amira lakukan terhadap kami, rasa cinta masih tersisa untuknya.Amira memang sudah banyak berubah sekarang. Dan apakah dia memang mempunyai hubungan spesial dengan dokter tersebut atau tidak aku tidak tahu pasti. Tapi dari penglihatanku memang ada sebuah kedekatan di antara mereka. Hingga menyalakan api kecemburuan di hatiku. Memang aku mengetahui siapa Amira, dan rasanya susah dipercaya apabila seorang dokter bisa mencintai seorang wanita seperti Amira.Namun, jauh daripada itu aku harus mengakui jika Amira cukup bisa dise
Bab 44Sebenarnya aku ingin mengejar jejak langkah Amira. Tetapi lagi-lagi satpam sialan ini mencegah. "Amira ini adalah mantan istriku! Kamu tidak berhak untuk masuk ke dalam ranah pribadiku!" Aku menggertak."Kalau benar-benar masalah pribadi yang ingin anda bahas, sebaiknya jangan bahas di! Karena keamanan wilayah perkantoran ini berada dalam tanggung jawabku. Jadi tentu saja aku akan berusaha maksimal untuk turut menciptakan keamanan di sini!""Silakan pulang!" Satpam tersebut mengusir. Aku terpaksa menyingkir. Aku menelan saliva pikiran ini sungguh dibuat campur aduk.Melihat Amira yang meninggalkanku begitu saja, sungguh diri ini merasa tak berharga. Bahkan seseorang yang dulu takluk padaku pun sekarang sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Amira benar-benar keterlaluan.Terasa semua usahaku hari ini sia-sia. Bayang Ibu melintas di pelupuk mata. Maafkan anakmu ini Bu, belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Hati Amira amatlah busuk, bahkan untuk berbagi uang dari ruma
Bab 43Siapa gerangan yang berani diam-diam menggadai rumahku?Oh ya Tuhaan, aku melupakan sesuatu selama ini. Aku lupa bahwa sertifikat rumahku hilang. Aku memang ceroboh. Tapi siapa yang lancang mencuri sertifikat tersebut? Selama ini hanya beberapa orang saja yang bisa bebas keluar masuk di rumah.Yang pertama adalah ibuku. Apa ibuku yang mengambilnya? Tidak mungkin l! Ibuku bukan pencuri. Yang kedua Elia, tapi sama seperti Ibu Elia bukan pencuri.Lalu Laila, Aku ragu bila menuduh Laila yang mengambilnya. Toh dulu ketika mengetahui sertifikat itu hilang Laila juga turut bersamaku mencari sertifikat tersebut. Jadi Laila aku skip dari daftar orang-orang yang patut dicurigai.Kemudian orang berikutnya adalah Yoona dan Amira. Sesuai dugaan awal, kecurigaan ku tetap jatuh pada mereka berdua. Menemui mereka adalah sebuah pilihan yang tepat. Mereka tidak bisa semaunya menggadai rumah orang. Tidak tahu diri sekali mereka.Tapi jika aku menemui mereka sekarang juga, bagaimana dengan ibu
Bab 42"Tutup mulutmu Laila! Aku tak suka kamu mengatakan Ibuku seperti ini! Apa kamu menyumpahi agar Ibuku cepat meninggal? Haaa?" Aku sudah tak tahan lagi menahan kemarahan ini."Aku dan Aliya sibuk-sibuk di rumah sakit mengurus ibu yang tengah kesakitan memperjuangkan rasa sakit. Sedangkan kamu Ternyata sedang senang senang di sini! Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku! Di mana nuranimu!" Bibirku terus berkata. Amarahku benar-benar memuncak sekarang. Perbuatan Elia benar-benar sudah keterlaluan. "Kamu marah Aku di sini di rumah orang tuaku? Tidak bisa, Mas! Kamu tidak bisa mencegahku untuk pergi ke rumah orang tuaku! Kamu tidak bisa memaksaku hanya untuk mengurus keluargamu saja!" Laila malah melawanku dengan tidak menunjukkan rasa segan sedikitpun. Melihat kelakuannya saat ini, Aku sungguh dibuat murka. Dia adalah cerminan seorang istri yang tidak bisa menghormati suami dengan cara yang patut."Aku tidak memaksamu! Tapi kamu sendiri tidak ada inisiatif sedikitpun untuk me
Bab 41Ibu mertuaku stroke? Aduh ini tidak bisa kubayangkan. Tentu saja aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebab, jika mertuaku sakit, suamiku pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak Bersama sang ibu. Dan juga tentu kami akan kerepotan sekali. Ini nih definisi orang tua merepotkan.Dalam kekacauan ini, mataku mendapati satu sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.Elia? Dia ke sini? Apa maunya? Ck ck ck"Ada apa El?" Tanyaku cepat."Mbak, keadaan Ibu semakin memburuk. Dokter bilang kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oleh karena ini kita sebagai anak beliau, mau tidak mau harus saling topang menopang untuk membiayai ibu. Supaya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."Apaa? Dia bilang harus topang menopang dalam membiayai ibunya?"El, Mbak tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Karena Mbak sendiri tidak mempunyai cukup uang. Kamu tahu sendiri kalau selama ini kakakmu itu nganggur. Tentu saja kami tidak punya apa-apa. Jadi bagaimana mungkin kami bisa ikut mem
"Ibuuuu...!" Kekhawatiranku sedikit mulai berkurang ketika aku lihat ibu telah bisa membuka kelopak mata."Bu, Ibu sudah siuman. Syukurlah...," aku memeluknya erat.Namun sesaat kemudian, aku menyadari bahwa Ibu tidak menanggapi ucapanku. Aku menatap Ibu beberapa saat."Ha... Habib....," suara Ibu terdengar aneh.Mataku menyipit tatkala kudapati kenyataan bahwa wajah Ibu terlihat tidak simetris. Bicaranya tidak terdengar sempurna, tidak jelas, dan yang pasti ini tidak seperti biasanya."Ibuuu?" Kepanikanku mulai naik satu tingkat lagi.Sepertinya Ibu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terlihat tidak bisa menyampaikan keinginan beliau."Kita harus membawa ibu ke rumah sakit!" ucap ucapku cepat. "Bawa saja, Mas!" tanggap Laila."Kamu ikut?""Tidak."Aku kembali dibuat termangu."Kenapa tak ikut, Dik? Kalau kamu tak ikut bagaimana aku bisa membawa ibu ke rumah sakit? Siapa yang akan membantuku nantinya?ujarku padanya."Kamu bisa minta bayar taksi, Mas! Di rumah sakit ada dokter, p
Satu lagi kekecewaanku bertambah terhadap Laila. Aku sanggup menjual perhiasan ibuku demi untuk memberinya uang, akan tetapi ternyata Laila menggunakan uang-uang tersebut dengan membeli barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting.Seumur-umur Aku menikah dengan Amira, Amira tidak pernah menghambur-hamburkan uang secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh Laila.Ini bukan maksud membanding-bandingkan. Akan tetapi antara Laila dan Amira memang memiliki perbedaan yang kentara. Aku berkata begini karena aku memang merasakan perbedaan tersebut.Aku tahu Laila memang cantik, tapi tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar. Apalagi sampai memberi perintah pada orang tuaku seolah orang tuaku bukan sosok yang harus dihormati. Apabila ku tegur, dia malah main mengancam dengan membawa-bawa nama abahnya. Ini yang membuat situasiku sulit. Mengapa ya kalau dipikir-pikir rasanya hidup bersama Laila lebih membuatku kesusahan daripada ketika dulu masih bersama Amira. Dulu memang Amira tidak
HabibKutatap ponsel ini dengan hati yang menanggung pilu. Aku tahu status ini sudah bercerai, tapi apakah pantas seorang Amira berkata demikian padaku? Mengapa Amira tidak menerimaku bekerja di sana? Padahal seandainya saja Amira mau berpikir lebih panjang, mungkin dia tak akan lupa akan jasa yang pernah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun buruknya dia memandangku saat ini, tapi dia pernah menggantungkan hidup denganku. Apa dia lupa masa-masa itu?Tidak patut bagi seorang Amira mengabaikan aku dengan cara seburuk ini. Dia tak mengerti bagaimana kondisiku sekarang yang bisa dikatakan dalam kondisi sulit. Sudah sekian lama aku mencari pekerjaan belum ada yang cocok sama sekali, lebih tepatnya belum diterima. Seharusnya sebagai seorang yang pernah menjalani hidup bersama, Amira harus punya hati untuk menerima lamaran kerja aku. Sebegitu sulitnya bagi Amira untuk melakukan hal kecil tersebut? Benar-benar tidak mempunyai rasa terima kasih.Padahal sebelumnya kupikir Amira tidak akan b
"Yoona kamu habis bicara sama siapa?" Aku bertanya."Sama ayah," Yoona menjawab.Aku memperhatikan raut wajahnya yang nampak muram."Ibu lihat Yoona tampak sedih, memang apa yang telah ayah katakan?" aku kian menyelidiki."Rupanya Laila memberikan laporan palsu pada Ayah, hingga membuat ayah marah besar padaku," anak itu menjelaskan dengan raut wajah yang jauh dari kata ceria."Lalu? Apa kamu sudah coba jelaskan pada ayahmu tentang kebenarannya?""Sudah Bu. Tapi ayah lebih percaya perempuan itu," Sudah kuduga. Beginilah sifat laki-laki kebanyakan, selalu menukarkan anak di urutan kedua atau bahkan yang terakhir dalam prioritas hidupnya. Mau mengatakan sedih tapi ini memang kenyataan. Aku merangkul pundaknya. Aku kenal betul bagaimana kondisi anak ini ketika sedang dilanda kesedihan. "Bisa Yoona ceritakan kesedihan Yoona sama ibu?" Aku berujar lembut.Yoona menggangguk."Tentu,"Mulailah Yoona bicara. Menceritakan dari awal hingga akhir penggalan cerita yang menjadi sebab musabab ke