Amira"Bu, aku akan belajar sungguh-sungguh! Nanti kalau sudah besar aku ingin punya bisnis sendiri!" celetuk Yoona tiba-tiba.Dia berkata cukup serius. Terlihat dari raut wajahnya. "Ibu doakan semoga cita-citamu tercapai, Nak."Sebenarnya, perhatianku bukan hanya tertuju pada ucapannya. Tapi raut mukanya lah yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya?"Ibu akan berusaha agar kamu bisa meraih impianmu,""Aku juga akan berusaha untuk belajar yang baik, Bu. Agar bisa terus mendapatkan beasiswa. Kemarin aku melihat foto wisuda Tante Rissa anaknya Bu Sarah di ponsel temanku. Tante Rissa nampak keren sekali dengan toga-nya. Nanti aku ingin seperti itu juga, Bu."Aku bahagia sekaligus terharu mendengar penuturannya yang menggebu-gebu. Anakku mempunyai mimpi yang besar. Sebagai orang tua aku memiliki keinginan kuat untuk mendukungnya.Sejak aku bekerja pada Bu Sarah, aku selalu menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Uang itu kusimpan tanpa sepengetahuan Mas Habib. Aku hanya mengeluarka
Dan sekarang, masa-masa itu sudah berlalu. Sekarang Amira berbaring di rumah sakit dengan penyakit yang tengah menggerogotinya. Harapannya untuk sembuh begitu besar. Yoona adalah pemicu semangat terbesar dalam hidupnya. Dia harus sembuh, demi Yoona.Batin Ibu dan anak itu memang sungguh terikat satu sama lain. Terutama Yoona, anak tersebut tumbuh dengan cinta yang begitu besar pada ibunya. Cinta yang telah membuatnya berani bertindak durhaka pada ayah sendiri. Semata-mata karena ia tak rela sebab sang ayah sudah bertindak terlalu jauh menyakiti sang ibu. Sedangkan Amira, wanita beranak satu tersebut mempunyai keteguhan sekuat baja. Setelah sebelumnya bersusah payah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi masa depan sang buah hati, demi keputusan yang sudah ia persiapkan sebelumnya, tapi pada akhirnya uang-uang itu harus dihabiskan untuk biaya berobat sendiri. Kenyataan yang membuat hatinya lebih sakit dibandingkan dengan pengkhianatan suaminya sendiri. Khusus untuk penghianatan
YoonaAku masuk dan tak sabar rasanya ingin memotong bualan ayah. Awalnya aku ingin mengatakan di depan muka ayah jika Dokter Albert lah yang membiayai ibu di sini, biar saja dia malu sendiri dengan ucapannya. Agar dia bisa tahu bagaimana akibatnya bila membual di hadapanku.Tapi mata ibu mengatakan agar aku tak melakukannya. Aku terpaksa menahan diri. Nasehat ibu benar-benar membekas di benakku. Aku menarik nafas perlahan, sekarang akal sehatku mulai berjalan lebih baik, daripada aku terus-terusan menyerang Ayah dengan kata-kata kasar lalu bertengkar, lebih baik sekarang aku lebih mawas diri. Mengurus ibu dengan baik adalah hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada berselisih paham dengan ayah. Karena walaupun aku terus menerus mengungkapkan kebencianku padanya, toh ayah akan tetap memilih Laila juga dan akan tetap membenci kami. Hati yang mati menang akan sulit untuk di hidupkan kembali. Dan ketika aku datang, Ayah memang terdiam. Aku tak mengerti mengapa dokter Albert dia
HabibDengan membawa rasa malu yang teramat besar akhirnya aku harus angkat kaki dari rumah sakit tersebut. Akan tetapi di samping rasa malu ini, ada sebuah dugaan yang justru membuatku lebih sedikit lagi.Dokter Albert, Aku curiga pada pria itu. Dia orang asing, akan tetapi mengapa dia yang bersedia membiayai pengobatan istriku? Kuingat-ingat kembali muka dokter Albert yang terlihat mencerminkan pria berpendidikan, lengkap dengan jas dokternya, membuat rasa cemburuku semakin menjadi-jadi. Aku tak ikhlas bila Amira ada hubungan dengan pria tersebut.Memang aku sudah tidak mencintai Amira lagi, tapi bukan berarti aku akan membiarkannya bebas dengan pria lain. Statusnya masih sah sebagai istriku, jadi seharusnya dia bisa mematuhi sebagai seorang yang sudah mempunyai suami. Seharusnya dia jangan bersikap lancang menduai suami. Padahal dia tahu, seorang wanita yang nyata-nyata berkhianat tidak akan mencium wanginya surga. Apa dia tidak takut dengan ancaman Tuhan tersebut? Kalau benar, al
"Tolong percaya padaku Laila! Aku tidak mungkin melakukan yang tidak-tidak sama perempuan itu! Harus berapa kali aku mengatakan jika aku sudah tidak mencintainya lagi?" Tegasku pada Laila."Coba Mas Habib yang berada di posisiku sekarang ini, Apa Mas rela bila aku menemui mantan terus berlama-lama juga,? Apa mas Habib tidak merasakan sakit hati?" Perkataan Laila membuatku tersudut. Aku semakin bingung, bagaimana bisa aku tidak menemui Amira lagi? Sedang di sana ada dokter Albert yang kubenci keberadaannya. Jika aku tidak ke sana, bukankah sama saja denganku memberi peluang besar bagi mereka untuk semakin dekat? Waah ini tidak bisa dibiarkan. Di sampingku, Laila terus merengek-rengek. Aku sampai harus mati-matian dalam membujuknya agar kemarahan itu bisa secepatnya mereda. Aku menderita berada dalam dua masalah ini, tentang Amira dan juga kemarahan Laila. "Kalau begitu aku minta maaf Laila, aku berjanji jika menjenguk Amira, Aku tidak akan berlama-lama lagi." ucapku kemudian."Oooh,
Yoona"Yoon, kamu cuma berdua saja dengan ibumu? Dari tadi perasaan aku tidak melihat ayahmu," Jordan menatap sekeliling. Hari ini Jordan beserta kedua orang tuanya datang membezuk ibu. Aku senang dia datang. Tapi pertanyaannya membuat hati ini perih. Bukan marah, hanya saja aku sedih mengakui kenyataan kalau di sini memang hanya ada aku dan ibu, tidak ada keluarga lain yang menemani sebagaimana pasien-pasien yang lain. "Ya, ayahku sedang berhalangan, jadi dia tidak bisa datang," Aku menjawab singkat. Sebenarnya aku malu jujur jika sebenarnya Ayahku sedang sibuk mau kawin lagi. Memang terlalu menyedihkan."Oh, begitu," Jordan mengangguk."Sudahlah, tak usah membahas ayahku." Aku bicara berterus terang. Sebab aku memang malas membahasnya. Mendengar kata-kata ayah saja sudah cukup membuatku muak."Baiklah. Hmm... Yoon, ini aku ada uang untukmu," ujarnya."Apaaa? Uang untukku?" Aku terkejut.Aku menatap tangan jordan, di sana terselip beberapa lembar uang merah. "Ya, aku tahu kamu pas
Wanita itu tersungkur tepat di pangkal tangga. Membuatnya tersungkur menyusuri anak tangga. Memang sengaja tadi di sana kutaruh kulit buah pisang yang tadi mereka bawa. Aku tertawa jahat!Rasakan itu, Laila!Secepat kilat aku melangkah menuju ke kamar rawat ibu lalu duduk di depannya. Sebentar kemudian sekonyong-konyong datanglah ayahku. Di dalam gandengannya kulihat Laila yang terisak. Sedang di belakang mereka, Jordan menuruti langkah ayah.Ketika melihat Laila, aku melihat lebam di kening dan pipinya. Ternyata separah itu akibat terjatuh tadi. Maaf ya, Laila! "Kamu apakan ummimu, Yoona?" ayah serta merta membentakku."Apa maksudnya,Yah?" Tanyaku bersikap seolah tak tahu apa-apa."Kamu kenapa menyuruh ummi-mu masuk ke kamar mayat?" ayah mendelik."Kamar mayat?" Aku membulatkan mata."Tidak usah berpura tidak tahu Yoona!" sela Laila."Lihatlah, ini mukaku, ini semua karena salahmu!" hardiknya lagi."Salahku? Mukamu? Memangnya tadi habis ku apakan keningmu?" tanyaku."Gara-gara kam
"Yoona, mau kemana?" tanya ibu.Aku menoleh padanya."Mau ke acara pernikahan ayah, Bu!" Jawabku.Kurasa memang tidak perlu ada yang harus aku sembunyi-sembunyikan. "Ke pernikahan ayahmu? Kamu benar-benar ingin ke sana?" Mama menatap."Ya, Bu. Mereka mengundang kita. Jadi kita harus datang. Karena keadaan ibu masih belum sehat betul, jadi biarkan aku yang mewakili," jawabku."Nak, apa kamu yakin? Ibu takut sesuatu terjadi padamu di sana nak," Beliau terdengar mengkhawatirkanku.Aku mendekati ibu dan menggenggam tangan beliau."Ibu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bukankah Ibu lihat kalau aku sudah besar sekarang? Aku sudah SMA Bu, Jadi bukan anak kecil lagi. Akulah yang seharusnya mengkhawatirkan ibu, oleh karena itu aku tidak akan pergi terlalu lama." Aku meyakinkan ibu.Ibu kembali terlihat diam. Dalam beberapa detik tidak ada kata yang terucap dari bibirnya. "Apa ibu menyimpan rasa sedih karena keputusan yang kita ambil Bu?" Aku bertanya.Barangkali saja Ibu masih menyukai ayahku
Bab 45Seharian ini pikiran tak tenang. Bayang-bayang Amira bersama seorang pria yang kulihat kemarin terus menghantui. Ada semacam rasa tak rela melihat kebersamaan tersebut. Aku tahu ini adalah perasaan yang salah, aku dan Amira sudah bercerai. Jadi tentu tidak ada hak bagiku untuk melarangnya Bersama siapapun yang dia sukai. Tapi masalahnya tidak sesingkat itu, jujur rasanya aku masih belum bisa berdamai dengan hati. Terlepas dari kesalahan apa yang telah Amira lakukan terhadap kami, rasa cinta masih tersisa untuknya.Amira memang sudah banyak berubah sekarang. Dan apakah dia memang mempunyai hubungan spesial dengan dokter tersebut atau tidak aku tidak tahu pasti. Tapi dari penglihatanku memang ada sebuah kedekatan di antara mereka. Hingga menyalakan api kecemburuan di hatiku. Memang aku mengetahui siapa Amira, dan rasanya susah dipercaya apabila seorang dokter bisa mencintai seorang wanita seperti Amira.Namun, jauh daripada itu aku harus mengakui jika Amira cukup bisa dise
Bab 44Sebenarnya aku ingin mengejar jejak langkah Amira. Tetapi lagi-lagi satpam sialan ini mencegah. "Amira ini adalah mantan istriku! Kamu tidak berhak untuk masuk ke dalam ranah pribadiku!" Aku menggertak."Kalau benar-benar masalah pribadi yang ingin anda bahas, sebaiknya jangan bahas di! Karena keamanan wilayah perkantoran ini berada dalam tanggung jawabku. Jadi tentu saja aku akan berusaha maksimal untuk turut menciptakan keamanan di sini!""Silakan pulang!" Satpam tersebut mengusir. Aku terpaksa menyingkir. Aku menelan saliva pikiran ini sungguh dibuat campur aduk.Melihat Amira yang meninggalkanku begitu saja, sungguh diri ini merasa tak berharga. Bahkan seseorang yang dulu takluk padaku pun sekarang sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Amira benar-benar keterlaluan.Terasa semua usahaku hari ini sia-sia. Bayang Ibu melintas di pelupuk mata. Maafkan anakmu ini Bu, belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Hati Amira amatlah busuk, bahkan untuk berbagi uang dari ruma
Bab 43Siapa gerangan yang berani diam-diam menggadai rumahku?Oh ya Tuhaan, aku melupakan sesuatu selama ini. Aku lupa bahwa sertifikat rumahku hilang. Aku memang ceroboh. Tapi siapa yang lancang mencuri sertifikat tersebut? Selama ini hanya beberapa orang saja yang bisa bebas keluar masuk di rumah.Yang pertama adalah ibuku. Apa ibuku yang mengambilnya? Tidak mungkin l! Ibuku bukan pencuri. Yang kedua Elia, tapi sama seperti Ibu Elia bukan pencuri.Lalu Laila, Aku ragu bila menuduh Laila yang mengambilnya. Toh dulu ketika mengetahui sertifikat itu hilang Laila juga turut bersamaku mencari sertifikat tersebut. Jadi Laila aku skip dari daftar orang-orang yang patut dicurigai.Kemudian orang berikutnya adalah Yoona dan Amira. Sesuai dugaan awal, kecurigaan ku tetap jatuh pada mereka berdua. Menemui mereka adalah sebuah pilihan yang tepat. Mereka tidak bisa semaunya menggadai rumah orang. Tidak tahu diri sekali mereka.Tapi jika aku menemui mereka sekarang juga, bagaimana dengan ibu
Bab 42"Tutup mulutmu Laila! Aku tak suka kamu mengatakan Ibuku seperti ini! Apa kamu menyumpahi agar Ibuku cepat meninggal? Haaa?" Aku sudah tak tahan lagi menahan kemarahan ini."Aku dan Aliya sibuk-sibuk di rumah sakit mengurus ibu yang tengah kesakitan memperjuangkan rasa sakit. Sedangkan kamu Ternyata sedang senang senang di sini! Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku! Di mana nuranimu!" Bibirku terus berkata. Amarahku benar-benar memuncak sekarang. Perbuatan Elia benar-benar sudah keterlaluan. "Kamu marah Aku di sini di rumah orang tuaku? Tidak bisa, Mas! Kamu tidak bisa mencegahku untuk pergi ke rumah orang tuaku! Kamu tidak bisa memaksaku hanya untuk mengurus keluargamu saja!" Laila malah melawanku dengan tidak menunjukkan rasa segan sedikitpun. Melihat kelakuannya saat ini, Aku sungguh dibuat murka. Dia adalah cerminan seorang istri yang tidak bisa menghormati suami dengan cara yang patut."Aku tidak memaksamu! Tapi kamu sendiri tidak ada inisiatif sedikitpun untuk me
Bab 41Ibu mertuaku stroke? Aduh ini tidak bisa kubayangkan. Tentu saja aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebab, jika mertuaku sakit, suamiku pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak Bersama sang ibu. Dan juga tentu kami akan kerepotan sekali. Ini nih definisi orang tua merepotkan.Dalam kekacauan ini, mataku mendapati satu sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.Elia? Dia ke sini? Apa maunya? Ck ck ck"Ada apa El?" Tanyaku cepat."Mbak, keadaan Ibu semakin memburuk. Dokter bilang kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oleh karena ini kita sebagai anak beliau, mau tidak mau harus saling topang menopang untuk membiayai ibu. Supaya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."Apaa? Dia bilang harus topang menopang dalam membiayai ibunya?"El, Mbak tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Karena Mbak sendiri tidak mempunyai cukup uang. Kamu tahu sendiri kalau selama ini kakakmu itu nganggur. Tentu saja kami tidak punya apa-apa. Jadi bagaimana mungkin kami bisa ikut mem
"Ibuuuu...!" Kekhawatiranku sedikit mulai berkurang ketika aku lihat ibu telah bisa membuka kelopak mata."Bu, Ibu sudah siuman. Syukurlah...," aku memeluknya erat.Namun sesaat kemudian, aku menyadari bahwa Ibu tidak menanggapi ucapanku. Aku menatap Ibu beberapa saat."Ha... Habib....," suara Ibu terdengar aneh.Mataku menyipit tatkala kudapati kenyataan bahwa wajah Ibu terlihat tidak simetris. Bicaranya tidak terdengar sempurna, tidak jelas, dan yang pasti ini tidak seperti biasanya."Ibuuu?" Kepanikanku mulai naik satu tingkat lagi.Sepertinya Ibu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terlihat tidak bisa menyampaikan keinginan beliau."Kita harus membawa ibu ke rumah sakit!" ucap ucapku cepat. "Bawa saja, Mas!" tanggap Laila."Kamu ikut?""Tidak."Aku kembali dibuat termangu."Kenapa tak ikut, Dik? Kalau kamu tak ikut bagaimana aku bisa membawa ibu ke rumah sakit? Siapa yang akan membantuku nantinya?ujarku padanya."Kamu bisa minta bayar taksi, Mas! Di rumah sakit ada dokter, p
Satu lagi kekecewaanku bertambah terhadap Laila. Aku sanggup menjual perhiasan ibuku demi untuk memberinya uang, akan tetapi ternyata Laila menggunakan uang-uang tersebut dengan membeli barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting.Seumur-umur Aku menikah dengan Amira, Amira tidak pernah menghambur-hamburkan uang secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh Laila.Ini bukan maksud membanding-bandingkan. Akan tetapi antara Laila dan Amira memang memiliki perbedaan yang kentara. Aku berkata begini karena aku memang merasakan perbedaan tersebut.Aku tahu Laila memang cantik, tapi tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar. Apalagi sampai memberi perintah pada orang tuaku seolah orang tuaku bukan sosok yang harus dihormati. Apabila ku tegur, dia malah main mengancam dengan membawa-bawa nama abahnya. Ini yang membuat situasiku sulit. Mengapa ya kalau dipikir-pikir rasanya hidup bersama Laila lebih membuatku kesusahan daripada ketika dulu masih bersama Amira. Dulu memang Amira tidak
HabibKutatap ponsel ini dengan hati yang menanggung pilu. Aku tahu status ini sudah bercerai, tapi apakah pantas seorang Amira berkata demikian padaku? Mengapa Amira tidak menerimaku bekerja di sana? Padahal seandainya saja Amira mau berpikir lebih panjang, mungkin dia tak akan lupa akan jasa yang pernah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun buruknya dia memandangku saat ini, tapi dia pernah menggantungkan hidup denganku. Apa dia lupa masa-masa itu?Tidak patut bagi seorang Amira mengabaikan aku dengan cara seburuk ini. Dia tak mengerti bagaimana kondisiku sekarang yang bisa dikatakan dalam kondisi sulit. Sudah sekian lama aku mencari pekerjaan belum ada yang cocok sama sekali, lebih tepatnya belum diterima. Seharusnya sebagai seorang yang pernah menjalani hidup bersama, Amira harus punya hati untuk menerima lamaran kerja aku. Sebegitu sulitnya bagi Amira untuk melakukan hal kecil tersebut? Benar-benar tidak mempunyai rasa terima kasih.Padahal sebelumnya kupikir Amira tidak akan b
"Yoona kamu habis bicara sama siapa?" Aku bertanya."Sama ayah," Yoona menjawab.Aku memperhatikan raut wajahnya yang nampak muram."Ibu lihat Yoona tampak sedih, memang apa yang telah ayah katakan?" aku kian menyelidiki."Rupanya Laila memberikan laporan palsu pada Ayah, hingga membuat ayah marah besar padaku," anak itu menjelaskan dengan raut wajah yang jauh dari kata ceria."Lalu? Apa kamu sudah coba jelaskan pada ayahmu tentang kebenarannya?""Sudah Bu. Tapi ayah lebih percaya perempuan itu," Sudah kuduga. Beginilah sifat laki-laki kebanyakan, selalu menukarkan anak di urutan kedua atau bahkan yang terakhir dalam prioritas hidupnya. Mau mengatakan sedih tapi ini memang kenyataan. Aku merangkul pundaknya. Aku kenal betul bagaimana kondisi anak ini ketika sedang dilanda kesedihan. "Bisa Yoona ceritakan kesedihan Yoona sama ibu?" Aku berujar lembut.Yoona menggangguk."Tentu,"Mulailah Yoona bicara. Menceritakan dari awal hingga akhir penggalan cerita yang menjadi sebab musabab ke