Ameena mulai gelisah karena suaminya tidak juga ke luar, padahal dia sudah menunggu di mobil. “Ke mana sih, Abi ini? Bukannya rapat sudah selesai?” keluhnya sembari mengedarkan pandangan. Seharusnya pria bernama Fawwas itu sudah sampai di mobil, karena Ameena memutuskan ke luar dari obrolan beberapa akhwat di ruang jamaah perempuan begitu melihat sang suami meninggalkan ruangan pengurus majlis di seberang. Ruangan yang hanya dipisahkan taman kecil itu membuat Ameena bisa melihat siapa yang ke luar dari sana lewat jendela yang didesain gelap tapi tembus pandang dari dalam.Wanita berusia 27 tahun itu lantas ke luar dan mencari sang suami di ruang pengurus. Dia pikir suaminya ada hal lain yang terlupa untuk disampaikan pada mereka. Namun, sampai di sana dia tak mendapati siapapun.“Apa ada tamu, ya?” gumamnya. Kini Ameena menoleh ke arah ruang tamu. Benar saja dia melihat ada tiga sandal bertengger di teras. Saat menaikkan pandangan, sang suami terlihat di sana sedang tertawa dengan
“Uhhh Sayang ....!” seru Salma pada bungsunya yang memeluk tubuhnya. Karena tinggi Farhan baru seperut Umi, jadilah yang dipeluk adalah pinggang.Salma melepaskan dua tangan Farhan yang melingkar dari belakang. Lalu berbalik dan menggendongnya di samping sebab bagian depan perutnya ada beban lain dari calon adik Farhan. “Pinter sekali lho jam segini sudah bangun.”Jagoan kecil itu lantas meletakkan kepala di dada Uminya. Ia masih malas karena baru bangun tidur. “Udah pipis?” tanya Salma mengingatkan kebiasaan anaknya se –bangun tidur.Salma sengaja tidak memandikannya dulu, sebab harus mengerjakan banyak pekerjaan lain. Dan memandikannya berbarengan dengan kakaknya yang berumur enam tahun setelah selesai wirid dan mempersiapkan keperluan sekolah.Farhan mengangguk. “Udah cama Mbak Nia tadi,” jawabnya polos.Salma pun tersenyum, menahan nyeri di hatinya. Ingin sekali melupakan kejadian tadi malam. Namun, sepertinya alam semesta tak akan mengizinkan Salma melupakannya. Ia sempat berpiki
“Ibu kok belum pulang juga, Pak?” tanya Inggit begitu dia ke luar dari kamar, dan telah siap dengan pakaian rapi.Rasanya ada yang kurang sebelum Ibunya tahu dan meminta pendapat wanita itu. Yah, walau pada akhirnya tetap saja pendapat Pak Karimlah yang mendominasi.“Huft. Mbuh Nduk!” Pak Karim menghela napas berat. “Sudah kutelpon dia. Tapi malah hapenya nggak aktif.”“Hem, kebiasaan Ibu. Bawa hape lowbat,” omel Inggit. Ibunya sangat sulit mengubah kebiasaan walau mendengar keluhan Inggit hampir tiap hari soal ponsel yang dibawa. Seharusnya karena ponsel miliknya sendiri, sang ibu memperhatikan apakah dayanya sudah terisi dengan jumlah aman atau belum saat membawanya ke luar?Di rumah saja, Inggitlah yang selalu mencharnger alat komunikasi milik Ibunya itu. Karena jarang mendapatkan panggilan atau pesan masuk, Ibu Inggit jadi tidak begitu mempedulikan. Padahal, ada saat –saat genting seperti ini di mana mereka harus saling berkomunikasi.“Ya sudah, biarkan saja dia. Sepertinya malah
Melihat bagaimana liciknya Pak karim menjerat suaminya dulu, sampai terjebak dalam pernikahan dengan Inggit, Salma meyakini, kalau Ibu Inggit pun kini punya niat tak baik dengan menikamnya dari belakang. Ya, kalau memang mereka punya i’tikad baik, sejak awal sebelum terjadi pernikahan, mereka akan baik –baik membicarakannya dengan Salma. Ini malah tak sekali pun bertemu, dan bahkan mereka bergerliya di belakangnya mempengaruhi almarhum Bapak Salma.Lalu bahkan ... juga meminta Haris agar merahasiakan pernikahan mereka di belakang Salma.Dan sekarang, setelah kebusukan mereka terbongkar, dan Salma ingin meminta pertanggung jawaban, malah mereka terus menghindar dan bahkan tak mau bicara walau pun sekadar dalam telepon. Ibu Inggit malah pergi menemui Ustaz Fawwas. Salma penasaran, apa yang dibicarakan wanita tua itu, sampai Umi Ameena menelepon dan tahu kalau suaminya telah menjalani pernikahan poligami.Padahal, Farhan masih tidur siang. Namun, karena dia tak mungkin meninggalkannya se
“Astagfirullah. Mama nggak nyangka kamu akan melakukan ini Haris!” Suara sang Mama meninggi, setelah tahu betapa kejam perbuatan putera sulungnya pada Salma. Menantu yang selama ini disayangi seperti puterinya sendiri.Ibu Haris bertanya –tanya, seperti apa sosok wanita yang sudah berhasil memalingkan Haris dari Salma?“Usianya baru 17 tahun, Ma. Dia masih terlalu belia untuk menanggung kebencian semua orang.” Haris tiba –tiba teringat Inggit. Tampak dari wajah Mamanya, dia tidak mau menerima kehadiran perempuan muda itu.“Aku merasa bersalah pada Salma, tapi juga merasa bersalah pada Inggit.” Suara Haris terdengar lemah.Mama geleng –geleng merespon ucapan Haris. Pria itu benar –benar sudah dibutakan cinta.Bahkan dari Salma –lah, Haris banyak berubah. Sifat bandelnya di waktu muda juga berangsur hilang ketika pria itu mengenal dan jatuh cinta pada Salma. Tentu saja hal itu menjadi hadiah terindah dari Salma untuk ke dua orang tua Haris. Mereka nyaris menyerah menasehati dan meminta
Haris pulang dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Mobil yang membawanya terus bergerak menuju rumah yang ditinggalinya dengan Salma selama ini. Mengingat semua ucapan sang Mama, Haris seolah tak diberi pilihan selain kembali dan melupakan Inggit. Meski hal itu sebenarnya menyakitkan.Namun, bukankah sebaiknya Haris juga memberi kepastian pada Inggit dan keluarganya, agar mereka tidak melihatnya sebagai lelaki pengecut yang tak punya tanggung jawab setelah menikahi anak orang. Setidaknya dia harus datang pada Pak karim untuk minta maaf tidak bisa melanjutkan hubungan ini.Atas pikiran –pikiran itu, Haris akhirnya memutar setir mobil sehingga arah yang ditujunya berganti. Ia kini menuju rumah di mana Pak Karim dan keluarganya tinggal. Kota Bandung.______________________________“Umi ....” Suara sedih Farhan terdengar di sampaing Salma.Anak kecil itu bingung, kenapa Uminya tampak begitu sedih dan terlihat kesakitan. Padahal, menurutnya wanita itu baik –baik saja. Juga tidak seda
Inggit tersentak mendengar ucapan pembawa berita. Berbeda dengan Karim yang kelelahan sejak semalam. Dia bahkan tidak tidur karena mencari solusi atas masalah yang menimpa pernikahan anaknya. Sampai akhirnya sekarang tidak bisa lagi menahan matanya dan tidur di perjalanan.Ketika melihat ke arah sang Bapak, pria tua itu rupanya tidur. Padahal dia ingin Bapaknya itu tahu, dan menimbang ulang rencananya bertemu tabib. Inggit seolah sedang melihat masa depannya nanti, kala Haris tahu semuanya. Tapi bahkan, dia sendiri sudah mengkhianati suaminya dengan bertemu pria lain, walau tidak sampai melakukan hubungan suami istri, pria bernama Albi itu sudah menyentuh semua miliknya. Mau bagaimana lagi, itu cara satu –satunya memuaskan diri sebagai seorang perempuan yang jarang dibelai suami.Sering kali kerinduannya membuncah. Namun, bahkan Haris tak mau datang dan menuntaskan keinginannya sebagai seorang istri. ‘Salah siapa? Dia yang sudah mengajari aku semuanya, tapi malah lebih lama dengan wan
Haris pun berinisiatif membisiki orang yang sedang bicara dengan mertuanya, untuk bertanya tabib siapa yang dihubungi?“Pak, tanyakan di tabib mana?” Haris mengucap dengan hati –hati agar tidak terdengar oleh orang di ujung telepon.Dia juga tidak mau kalau sampai Pak Karim tahu dia mencarinya, sebelum dia sendiri tahu ke mana perginya orang itu? Yang lebih membuatnya kepikiran, kenapa mereka harus pergi bertiga. Kenapa tidak dengan ibunya saja? Lagi pula apa Inggit tidak merasakan apa pun saat berpisah dengannya semalam? Apa cuma Haris yang merasakan itu?Pemilik kost mengerti. Dengan nada suara dan ekspresi Haris, pria itu tampaknya tidak mau diketahui mertuanya sedang di sini dan sangat ingin tahu keberadaannya tanpa disadari mereka. Entah, apa sebabnya? Yang jelas, setelah yang terjadi tadi malam, pria itu mengerti situasi keluarga mereka tidak sedang baik –baik saja.“Halo?” Pak Karim memanggil, karena suara induk semangnya terjeda. Dia sampai berpikir kalau panggilan telah berak
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku