"Hari ini adalah hari keberuntunganku," Huli Bai membasahi bibirnya dan menyeringai buas, "Karena hari ini aku akan menyantap daging pendekar seruling sakti!" “Sudah kuduga siluman yang mengacau adalah dirimu, Huli Bai!” Yu Ping tersenyum misterius. Senyumnya menyebabkan perasaan Huli Bai tak nyaman, meskipun ia yakin kekuatan mantra Penghancur Kekuatan miliknya, tetapi bisa saja pemuda itu tak meminumnya. Yu Ping bergerak maju namun baru saja satu langkah terlampaui, ia jatuh berlutut ke tanah. Huli Bai bernapas lega, mulai berani kembali memamerkan kelihaiannya. “Kau sudah terkena mantra Penghancur Kekuatan, bahkan dewa langit pun akan kehilangan semua kesaktiannya bila meminum mantraku ini!” Huli Bai menyombongkan diri. Yu Ping hanya menundukkan kepala, tak bergeming. Hanya sebagian rambut panjangnya yang tergerai, melambai ditiup angin malam. “Huhh, sudah hampir mampus masih angkuh saja!” sungut Huli Bai lalu berkata pada Liu Kang yang sedari tadi diam terpaku, “Kekasihku, ma
"Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu. Tetapi Yang Mulia harus menyembuhkan temanku ini lebih dulu!" kata Huli Bai setelah meneguhkan hati. Raja Siluman menyeringai puas mendengar keputusan siluman rubah yang sudah lama ia incar namun tak pernah dihiraukan. “Keputusan yang bijaksana, tetapi bila aku menyembuhkan temanmu lebih dulu, kau bisa saja mengkhianatiku!” Raja Siluman menatap Huli Bai tajam, “Berikan aku bukti bila kau tak akan mengingkari janji!” Huli Bai mendengus dalam hati, siluman tua ribuan tahun itu benar-benar cerdik. Wanita siluman itu pun berlutut dan mengangkat tangan kanannya, “Aku Huli Bai bersumpah, akan meninggalkan dan melupakan Liu Kang selamanya, menikah dengan Raja Siluman dan berbakti kepadamu saja. Bila aku melanggar sumpah, biarlah aku mati disambar petir!” Raja Siluman tertawa senang mendengar sumpah calon istrinya, “Bagus sekali, aku sekarang percaya padamu.” “Tidak!” Tiba-tiba terdengar teriakan Liu K
"Akhirnya kita menemukan korban gadis muda untuk Dewa Air!" lapor pemilik losmen bersemangat. “Bagus, Dewa sudah sangat marah karena kalian terlambat beberapa hari dari seharusnya!” Pria berjubah biru gelap mendengus. “Pendeta Song, jangan salahkan kami. Gadis di kota ini sudah hampir habis dijadikan persembahan!” Pemilik losmen menunduk, sebenarnya hatinya sangat sedih bukan main. Dahulu, kota kecil Zhu Zhi merupakan kota yang makmur karena letaknya sangat strategis yaitu berada di dekat sungai Huang Ho. Sampai suatu ketika terjadi bencana air bah yang menewaskan banyak warga dan menghancurkan pertanian maupun perdagangan mereka. Tak lama kemudian muncullah pria bernama Pendeta Song, pendeta yang mengaku mampu berkomunikasi dengan Dewa Air Sungai Huang Ho. Ia memberitahukan bahwa Dewa Air murka karena penduduk telah mencemari sungai Huang Ho. Penduduk yang putus asa percaya begitu saja, bahkan bersedia menuruti apapun yang diminta oleh Dewa Air agar bencana tidak terjadi
"Pak Tua, Anda dari mana saja tadi?" tiba-tiba terdengar suara renyah perempuan di belakang Xue Yi. Pemilik losmen tertegun, suara itu ... mengapa mirip suara gadis yang sudah ia lemparkan ke sungai tidak lama berselang? Qi Yue? Tubuh pemiik losmen gemetar melihat sosok Qi Yue, ia seperti melihat hantu. “Pak Tua, mengapa wajahmu pucat sekali?” tanya Qi Yue lagi. “Tadi kami semua tertidur di lantai, apakah Bapak tahu apa yang telah terjadi?” Pemilik losmen hanya menggelengkan kepala, sementara pikirannya berkecamuk. Kalau Qi Yue yang berdiri di depannya ini bukan hantu, lalu raga siapa yang telah ia buang ke sungai Huang Ho barusan? Tiba-tiba pria tua itu teringat sesuatu. “Ding Ding?” Pemilik losmen berlari menuju ke ruang bawah tanah, namun ruangan itu kosong. Ia berbalik dan mencari putrinya di tempat-tempat lain di rumahnya namun Ding Ding tak jua ditemukan. “Apakah Ding Ding telah menukar dirinya dengan gadis asing itu?” lutut pemilik losmen lemas membayangkan kemungkinan ia t
Di saat bersamaan Xin Ru muncul, matanya memindai sekeliling dan berhenti pada sosok gadis yang meringkuk di atas papan dengan baju terkoyak.“Pendeta Busuk, selama ini kau sudah mengelabui penduduk kota dengan menyebarkan cerita kutukan Dewa Air di Sungai Huang Ho. Sungguh licik!” bentak Xin Ru gusar.“Bukan hanya itu,” imbuh Qi Yun, “Aku sudah menyelidiki juga, ia bekerja sama dengan para mucikari, menjual gadis-gadis kota ini pada mereka setelah dicuci otak sehingga tak ingat lagi asal usulnya!”“Ha-ha-ha, kalian bicara tanpa bukti. Penduduk kota tak akan mempercayai orang asing, mereka akan lebih mendengarkanku!” Pendeta Song tertawa licik.“Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup!”desis Qi Yun, tatapannya dingin mengancam.“Kita tidak bisa membunuhnya,” cegah Xin Ru. “Kita harus membawanya ke pengadilan kota agar dia dapat diadili!”Qi Yun menjadi sangat kesal namun tak dapat membantah. Pendekar di sampingnya benar, kalau ia membunuh Pendeta Song, maka penduduk kota akan mera
Tanpa diketahui Qi Yun, Xin Ru memandangnya dari jauh, air mata nyaris menitik turun. “Qi Yun, kau kah itu, Adikku?” bisik gadis itu. Masih lekat dalam ingatan ketika ibu kandung Yu Ping, Xian Lian mengatakan bahwa kakaknya bernama Qi Yun. Ia tidak tahu apakah harus memberitahukan kepada pemuda itu bahwa mereka adalah saudara sekandung atau sebaiknya tetap merahasiakannya. Selagi merenung, Xue Yi melambaikan tangan memanggilnya untuk duduk bersama. Dengan canggung, Xin Ru berjalan ke arah meja mereka dan duduk berhadapan dengan adik kandungnya. “Saudara Qi, perkenalkan Nona Xin Ru ini adalah kakak angkat Yu Ping!” Xue Yi memperkenalkan mereka berdua. “Suatu kehormatan bagiku berkenalan dengan Nona Xin Ru!” Qi Yun tersenyum, menangkupkan kedua tangan ke depan dada dan dibalas dengan gerakan sama oleh gadis itu. Xin Ru memperhatikan wajah pemuda di hadapannya dengan teliti. Alis tebal, sorot mata dalam, rahang kuat, semuanya mengingatkan gadis itu pada Wang Ji, ayah mereka. “Nona
Gunung Hoa San dikenal sebagai gunung suci dan tertutup, hanya di acara tertentu saja didatangi oleh orang-orang di luar penghuni Perguruan Hoa San.Menjelang pertemuan para pendekar dari seluruh perguruan silat, di daerah gunung tersebut mulai terlihat banyak aktivitas.Ketua Wang sebagai ketua perguruan Hoa San memerintahkan para murid untuk mempersiapkan semua, seperti memetik banyak sayuran dari kebun untuk hidangan, juga membersihkan dan menyiapkan kamar peristirahatan para tamu.Ketua Wang sendiri menyembunyikan diri dalam ruang pertapaan. Belakangan ia diliputi kegelisahan dan ketakutan karena mendapat kabar dari Tetua Cheng melalui merpati pos. Tetua Cheng memberitahukan bahwa Yu Ping tidaklah mati, melainkan masih hidup dan telah menguasai seruling sakti sang naga. Itu berarti pemuda mantan murid Hoa San tersebut akan menjadi lawan yang tak mungkin bisa ia kalahkan.“Seandainya saja aku dapat menguasai ilmu pamungkas ‘Menggapai Langit Menyentuh Bumi,’ tentu aku tidak akan te
Tetua Hui merupakan sesepuh tertua setelah Wang menjadi ketua Hoa San, seorang yang tak banyak bicara dan tertutup. Ia memiliki perawakan kurus dan tinggi yang sama dengan Ketua Wang, dari jauh orang akan sulit membedakan keduanya.“Kakak Wang, ada sesuatu yang sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan kepadamu,” Tetua Hui menatap serius kakak seperguruan sekaligus ketuanya. Ketua Wang terlihat tak sabar karena ingin segera menyudahi percakapan dan menjalankan aksi mencari korban pengganti untuk mengkamuflase dirinya.“Adik Hui, bagaimana kalau kita membicarakannya besok pagi?” Ketua Wang mencoba membujuk Tetua Hui untuk pergi. “Aku berencana keluar menemui para tamu yang sudah datang ke perguruan kita.”Sambil berbicara, Ketua Wang membuka pintu kamar untuk mempersilahkan adik seperguruannya keluar. “Apakah kau yang membunuh Murid Pertama?”DEG! Tangan Ketua Wang yang sedang memegang daun pintu menegang.“Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas pembunuh Ketua Wu Xian dan Murid Pertama adala
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia