Pagi itu, tepat pukul 09.00, deru mesin mobil terdengar mendekat ke halaman rumah yang akan segera dijual. Davin dan Bram berdiri di teras, menunggu kedatangan calon pembeli yang telah mereka sepakati sejak malam sebelumnya. Beberapa mobil mewah berhenti rapi di depan rumah, menandakan bahwa tamu mereka bukanlah orang sembarangan.Pintu mobil utama terbuka, dan Antonio melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, seolah mencerminkan statusnya sebagai pengusaha sukses. Di belakangnya, dua pria bertubuh tegap mengikuti dengan sikap waspada—jelas mereka adalah pengawal pribadinya.Davin tersenyum tipis dan melangkah maju untuk menyambut tamunya. "Antonio, selamat datang," sapanya dengan nada ramah, namun tetap profesional.Antonio membalas senyuman itu sambil mengulurkan tangan. "Senang akhirnya bisa melihat rumah ini secara langsung. Dari foto-foto yang dikirimkan Bram, kelihatannya cukup menarik."Bram, yang berdiri di samping Davin, ikut menya
Dua hari berlalu dengan cepat. Rumah yang selama ini mereka tempati kini tak lagi terasa sama. Sejak pagi, semua orang disibukkan dengan persiapan akhir sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.Di ruang tengah, koper-koper besar berjejer rapi, menunggu untuk dimasukkan ke dalam mobil. Beberapa kardus berisi barang pribadi masih terbuka, menunggu pengecekan terakhir. Raka dan Rania berlarian ke sana kemari, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.Naura duduk di kursi roda di dekat sofa, mengawasi mereka semua dengan perasaan campur aduk. Baginya, tempat ini menyimpan banyak kenangan, meskipun ia tak ingin tinggal lebih lama. Keinginannya untuk pulang ke Sun City jauh lebih besar dibandingkan perasaan nostalgia yang muncul sesaat.Raka menghampiri adiknya sambil membawa tas ranselnya. “Rania, kamu sudah periksa kamar kita?” tanyanya.Rania mengangguk, tetapi raut wajahnya terlihat ragu. “Sudah, Kak. Tapi aku masih merasa seperti ada yang kurang. Aku takut ada yang ketinggalan.”
Suasana di ruang tamu mendadak berubah mencekam. Antonio berdiri dengan ekspresi dingin, matanya menatap lurus ke arah Penelope yang masih berusaha menyembunyikan kegugupannya. Namun, Antonio bukan pria bodoh. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Penelope yang semula angkuh kini sedikit berubah tegang.“Aku punya semua bukti, Penelope.” Suara Antonio terdengar tajam dan penuh tekanan. “Bukti bahwa kamulah dalang dari kematian kakakku. Kamu juga yang merancang pembunuhanku.”Penelope yang semula tegang, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawanya terdengar nyaring, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin pengap. Ia menatap Antonio dengan sinis, seolah menertawakan tuduhan pria itu.“Kamu pikir aku akan ketakutan hanya karena omong kosongmu itu?” ejeknya. “Antonio, kamu itu sudah mati! Aku sendiri yang memastikan kematianmu. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa ada di sini dan menuduhku?”Antonio tidak bereaksi terhadap tawa atau ejekan Penelope. Ia tetap berdiri tegak, mengamati
Di dalam kamar mewahnya di lantai dua, Penelope berjalan mondar-mandir dengan wajah penuh amarah. Tangannya mengepal erat, kukunya yang tajam hampir menembus telapak tangannya sendiri. Nafasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan emosi yang meluap-luap.Fernando dan beberapa anak buahnya masih berada di bawah, menyusun rencana untuk menyingkirkan Antonio. Namun, Penelope tak bisa duduk diam. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang membara."Bagaimana bisa dia masih hidup?" gumamnya geram. "Dan sekarang dia punya bukti? Omong kosong! Aku harus bertindak sebelum dia menjebakku!"Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa dekat jendela besar, mengatur napasnya yang memburu. Matanya menatap tajam ke luar jendela, mengamati lingkungan sekitar rumahnya dengan curiga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Tiba-tiba—Suara deru kendaraan terdengar dari kejauhan. Bukan hanya satu atau dua, tapi banyak.BRMMM! BRMMM!Tatapan Penelope langsung tajam. Ia
Davin sedang duduk di kursi kebesarannya di ruang kerja yang megah. Cahaya matahari siang menuju sore masuk melalui jendela besar di belakangnya, menerangi meja kerja yang penuh dengan dokumen dan laptop yang masih menyala. Di tangannya masih tergenggam ponsel, panggilan dari orang kepercayaan Antonio baru saja berakhir.Wajahnya tenang, tetapi pikirannya masih mencerna kabar yang baru saja diterimanya. Penelope, wanita yang pernah menjadi klien bisnisnya, akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Berita itu seharusnya sudah bisa diprediksi sejak lama, mengingat semua bukti yang dikumpulkan Antonio sangat kuat. Namun, tetap saja, mendengar vonis itu secara langsung memberi kesan tersendiri.Di seberangnya, Bram duduk dengan santai di sofa, satu kaki disilangkan di atas kaki lainnya. Tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Melihat ekspresi Davin, ia tahu sesuatu yang besar baru saja terjadi."Jadi gimana?" tanya Bram, menurunkan cangkirnya ke meja.Bram bener-bener
Davin menghela napas panjang sebelum meraih pena di tangannya. Beberapa dokumen masih menunggu tanda tangannya. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan rapat dan diskusi proyek, tetapi pekerjaannya belum selesai.Hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya. Ada rasa lelah yang aneh, tapi ia tak tahu penyebabnya. Ia hanya ingin segera menyelesaikan semuanya dan menjemput Raka serta Rania.Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk."Daddy harus jemput sendiri! Harus! Jangan pakai sopir!"Davin tersenyum tipis. Kedua anaknya sedang manja hari ini. Biasanya, mereka tidak sekeras ini meminta diantar-jemput, tapi kalau sudah punya kemauan, tidak ada yang bisa mengubahnya.Dengan semangat menggebu, Davin menyelesaikan tanda tangan terakhirnya. Ia merapikan dokumen, lalu berdiri. Begitu keluar dari ruangannya, ia melirik ke arah meja kerja Bram. Kosong.Tumben, Bram nggak pamit…Biasanya, Bram selalu berpamitan sebelum pulang lebih dulu. Tapi mungkin ada urusan lain. Tanpa berpikir lebih
Beberapa tahun kemudian, Raka dan Rania telah berusia 20 tahun. Raka memilih menempuh pendidikan di Amerika Serikat dengan jurusan bisnis, karena sebagai satu-satunya ahli waris Davin, ia harus mempersiapkan diri untuk menggantikan sang ayah kelak. Lidya dan Bagas juga sudah memiliki anak berusia 10 tahun. Namun Lidya tetap menjadi pengasuh Angelica meski gadis itu sudah memasuki remaja. Bram memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dia sudah cukup bahagia hidup berdua bersama buah hatinya. Sementara Bagas dan Lidya masih tinggal di kediaman Bram, karena Lidya sendiri pun tidak bisa berjauhan dari Angelica yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Sementara itu, Rania memilih bersekolah di London, mengambil jurusan desain. Cita-citanya jelas—ia ingin memiliki butik sendiri dengan desain hasil karyanya sendiri.Awalnya, keputusan ini sempat ditentang oleh kedua orang tua mereka. Davin dan Naura merasa berat hati membiarkan anak kembar mereka hidup terpisah di luar negeri. Namun, keing
Aaaarrrrrrrgh!Rania berteriak saat kesadarannya pulih. Dadanya naik turun dengan cepat, tubuhnya membeku karena keterkejutan. Napasnya tersengal-sengal saat matanya menangkap fakta yang mengerikan—dia ada di bawah selimut yang sama dengan pria asing.Tangisnya pecah seketika. Air matanya mengalir deras di pipi, menggambarkan ketakutan, kepanikan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Dia tak pernah membayangkan akan mengalami sesuatu seburuk ini.Dengan tangan gemetar, Rania mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya, mencoba menjauh dari pria itu. Namun, rasa sakit yang menjalar di bagian intimnya membuatnya tersentak. Tubuhnya terasa nyeri luar biasa, seolah memberikan bukti nyata bahwa sesuatu yang mengerikan benar-benar telah terjadi padanya.Pria di sampingnya bergerak. Rania langsung membelakanginya, menutup rapat tubuhnya dengan selimut sambil berusaha keras mengendalikan rasa takutnya. Tapi, pria itu justru semakin mendekat dan tiba
Meski diusir oleh Rania, tetap saja Edward memilih menghabiskan waktunya di apartemen Rania. Dia merasa berkewajiban untuk memastikan keadaan Rania baik-baik saja.Sementara Rania yang enggan berdebat, lebih memilih membiarkan Edward untuk tetap berada di apartemennya. Dia tak punya cukup tenaga untuk mengusir pria ini. Maka yang Rania lakukan memejamkan mata, dan pasrah akan masa depannya yang suram. Kehormatannya telah direnggut secara paksa oleh pria yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.*****Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Rania selamanya. Meski masih menyimpan trauma dan kemarahan, dia mencoba menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Setiap hari, dia berusaha mengubur semua kenangan buruk dan kembali fokus pada kuliahnya. Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi ketakutan setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Rania sudah berjanji pada dirinya sendiri—dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan masa depannya.Namun,
Hamil? Rania membeo, kedua alisnya bertaut, ekspresinya campuran antara terkejut dan muak.“Iya, kalau kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” kata Edward dengan datar, seolah-olah masalah ini hanya sekadar formalitas baginya.Rania tertawa sinis. Tawanya dingin dan menyakitkan. “Kamu pikir aku mau sama kamu? Kamu itu nggak tahu diri, ya! Sudah om-om malah tidur sama wanita yang masih berstatus mahasiswa.” Matanya menyala penuh kemarahan saat menatap Edward.Edward berdecak kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak. Bagaimana mungkin dia, pria yang selalu dipuja banyak wanita, malah dipanggil ‘om-om’ oleh gadis yang baru dikenalnya? Sementara di luar sana, banyak sekali wanita yang tergila-gila padanya, mengemis perhatiannya, bahkan rela melakukan apa saja demi sekadar mendapatkan tatapannya. Tapi gadis ini? Dia justru menghinanya. Ini sudah keterlaluan!“Kamu ini ya, berani-beraninya ngatain aku om-om! Kamu nggak lihat ketampananku? Tak ada lawannya! Bahkan ketampananku mengalahkan
Kalau ada kata lebih dari menyesal mungkin itu yang Rania rasakan saat ini. Ternyata dia tak sehebat itu untuk menjaga dirinya sendiri. Lalu apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya kalau dirinya sudah gagal? Apa mungkin dia harus jujur? Lalu bagaimana kalau sang Daddy dan Raka marah dan menghabisi pria yang tak Rania kenal ini? Memikirkan itu membuat dadanya semakin sakit. Rania ingat betul bagaimana kedua orang tuanya membujuk Rania untuk bersekolah di Amerika bersama Raka. Ternyata benar, kekhawatiran kedua orang tuanya benar-benar terjadi. Rania menyesal sangat menyesal.“Mommy, Daddy…. Maafin Nia, hiks hiks hiks.” Rania menangis.Flashback "Rania, tolong pikirkan baik-baik keputusanmu, Sayang. Kalau kamu bersekolah di London, Mommy sama Daddy jadi tak bisa tenang. Apalagi kamu harus pisah dengan Raka, sementara dia harus bersekolah di Amerika."Suara Naura terdengar penuh permohonan saat berbicara dengan anak gadisnya. Tatapannya sarat dengan kecemasan, memohon agar
Perjalanan menuju apartemen Rania terasa lebih lama dari biasanya. Setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa tak sabar yang menggelayuti dada Edward. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan stabil, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang membuatnya semakin frustrasi.Suaranya yang dingin dan tajam memenuhi ruang kabin mobil saat ia kembali mencoba menghubungi Rania. Namun, hasilnya tetap sama—ponselnya tidak aktif. Genggaman Edward di setir semakin menguat, menunjukkan ketegangan yang kini mulai mendominasi pikirannya.Kenapa dia tidak bisa dihubungi? Apa sesuatu terjadi padanya?Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski ia tahu Rania bukan tipe wanita ceroboh, tetap saja ada perasaan tidak nyaman yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Begitu mobilnya memasuki area parkir apartemen, Edward langsung menginjak pedal rem dan menghentikan mobilnya dengan mulus. Tanpa membuang waktu, ia membuka pintu dan turun dengan langkah cepat. Lalu lintas di sekitarnya tak men
Air mengalir deras dari pancuran, membasahi tubuh Rania yang menggigil di bawahnya. Ia memeluk dirinya sendiri, menggosok-gosok kulitnya dengan keras, seolah berharap bisa menghapus segala kotoran yang melekat. Tapi tidak peduli seberapa lama ia berdiri di bawah air, tidak peduli seberapa kuat ia menggosok tubuhnya, rasa jijik itu tetap ada.Rania menundukkan kepala, membiarkan air hangat mengalir melewati wajahnya. Isakannya teredam oleh suara pancuran, tapi air mata yang bercampur dengan air dari shower itu tak bisa dibendung. Ia merasa hancur. Seluruh tubuhnya lemas, seakan tidak punya tenaga lagi untuk berdiri.Ia menekan bibirnya kuat-kuat, berusaha meredam tangis yang semakin membuncah. Bayangan kejadian tadi terus berputar di kepalanya, menghantui seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap kata yang diucapkan Edward, setiap tatapan penuh kemenangan di mata pria itu, semua membuat Rania semakin merasa terpuruk."Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku membiarkan diriku di
Aaaarrrrrrrgh!Rania berteriak saat kesadarannya pulih. Dadanya naik turun dengan cepat, tubuhnya membeku karena keterkejutan. Napasnya tersengal-sengal saat matanya menangkap fakta yang mengerikan—dia ada di bawah selimut yang sama dengan pria asing.Tangisnya pecah seketika. Air matanya mengalir deras di pipi, menggambarkan ketakutan, kepanikan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Dia tak pernah membayangkan akan mengalami sesuatu seburuk ini.Dengan tangan gemetar, Rania mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya, mencoba menjauh dari pria itu. Namun, rasa sakit yang menjalar di bagian intimnya membuatnya tersentak. Tubuhnya terasa nyeri luar biasa, seolah memberikan bukti nyata bahwa sesuatu yang mengerikan benar-benar telah terjadi padanya.Pria di sampingnya bergerak. Rania langsung membelakanginya, menutup rapat tubuhnya dengan selimut sambil berusaha keras mengendalikan rasa takutnya. Tapi, pria itu justru semakin mendekat dan tiba
Beberapa tahun kemudian, Raka dan Rania telah berusia 20 tahun. Raka memilih menempuh pendidikan di Amerika Serikat dengan jurusan bisnis, karena sebagai satu-satunya ahli waris Davin, ia harus mempersiapkan diri untuk menggantikan sang ayah kelak. Lidya dan Bagas juga sudah memiliki anak berusia 10 tahun. Namun Lidya tetap menjadi pengasuh Angelica meski gadis itu sudah memasuki remaja. Bram memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dia sudah cukup bahagia hidup berdua bersama buah hatinya. Sementara Bagas dan Lidya masih tinggal di kediaman Bram, karena Lidya sendiri pun tidak bisa berjauhan dari Angelica yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Sementara itu, Rania memilih bersekolah di London, mengambil jurusan desain. Cita-citanya jelas—ia ingin memiliki butik sendiri dengan desain hasil karyanya sendiri.Awalnya, keputusan ini sempat ditentang oleh kedua orang tua mereka. Davin dan Naura merasa berat hati membiarkan anak kembar mereka hidup terpisah di luar negeri. Namun, keing
Davin menghela napas panjang sebelum meraih pena di tangannya. Beberapa dokumen masih menunggu tanda tangannya. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan rapat dan diskusi proyek, tetapi pekerjaannya belum selesai.Hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya. Ada rasa lelah yang aneh, tapi ia tak tahu penyebabnya. Ia hanya ingin segera menyelesaikan semuanya dan menjemput Raka serta Rania.Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk."Daddy harus jemput sendiri! Harus! Jangan pakai sopir!"Davin tersenyum tipis. Kedua anaknya sedang manja hari ini. Biasanya, mereka tidak sekeras ini meminta diantar-jemput, tapi kalau sudah punya kemauan, tidak ada yang bisa mengubahnya.Dengan semangat menggebu, Davin menyelesaikan tanda tangan terakhirnya. Ia merapikan dokumen, lalu berdiri. Begitu keluar dari ruangannya, ia melirik ke arah meja kerja Bram. Kosong.Tumben, Bram nggak pamit…Biasanya, Bram selalu berpamitan sebelum pulang lebih dulu. Tapi mungkin ada urusan lain. Tanpa berpikir lebih
Davin sedang duduk di kursi kebesarannya di ruang kerja yang megah. Cahaya matahari siang menuju sore masuk melalui jendela besar di belakangnya, menerangi meja kerja yang penuh dengan dokumen dan laptop yang masih menyala. Di tangannya masih tergenggam ponsel, panggilan dari orang kepercayaan Antonio baru saja berakhir.Wajahnya tenang, tetapi pikirannya masih mencerna kabar yang baru saja diterimanya. Penelope, wanita yang pernah menjadi klien bisnisnya, akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Berita itu seharusnya sudah bisa diprediksi sejak lama, mengingat semua bukti yang dikumpulkan Antonio sangat kuat. Namun, tetap saja, mendengar vonis itu secara langsung memberi kesan tersendiri.Di seberangnya, Bram duduk dengan santai di sofa, satu kaki disilangkan di atas kaki lainnya. Tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Melihat ekspresi Davin, ia tahu sesuatu yang besar baru saja terjadi."Jadi gimana?" tanya Bram, menurunkan cangkirnya ke meja.Bram bener-bener