Davin menghela napas panjang sebelum meraih pena di tangannya. Beberapa dokumen masih menunggu tanda tangannya. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan rapat dan diskusi proyek, tetapi pekerjaannya belum selesai.Hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya. Ada rasa lelah yang aneh, tapi ia tak tahu penyebabnya. Ia hanya ingin segera menyelesaikan semuanya dan menjemput Raka serta Rania.Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk."Daddy harus jemput sendiri! Harus! Jangan pakai sopir!"Davin tersenyum tipis. Kedua anaknya sedang manja hari ini. Biasanya, mereka tidak sekeras ini meminta diantar-jemput, tapi kalau sudah punya kemauan, tidak ada yang bisa mengubahnya.Dengan semangat menggebu, Davin menyelesaikan tanda tangan terakhirnya. Ia merapikan dokumen, lalu berdiri. Begitu keluar dari ruangannya, ia melirik ke arah meja kerja Bram. Kosong.Tumben, Bram nggak pamit…Biasanya, Bram selalu berpamitan sebelum pulang lebih dulu. Tapi mungkin ada urusan lain. Tanpa berpikir lebih
Beberapa tahun kemudian, Raka dan Rania telah berusia 20 tahun. Raka memilih menempuh pendidikan di Amerika Serikat dengan jurusan bisnis, karena sebagai satu-satunya ahli waris Davin, ia harus mempersiapkan diri untuk menggantikan sang ayah kelak. Lidya dan Bagas juga sudah memiliki anak berusia 10 tahun. Namun Lidya tetap menjadi pengasuh Angelica meski gadis itu sudah memasuki remaja. Bram memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dia sudah cukup bahagia hidup berdua bersama buah hatinya. Sementara Bagas dan Lidya masih tinggal di kediaman Bram, karena Lidya sendiri pun tidak bisa berjauhan dari Angelica yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Sementara itu, Rania memilih bersekolah di London, mengambil jurusan desain. Cita-citanya jelas—ia ingin memiliki butik sendiri dengan desain hasil karyanya sendiri.Awalnya, keputusan ini sempat ditentang oleh kedua orang tua mereka. Davin dan Naura merasa berat hati membiarkan anak kembar mereka hidup terpisah di luar negeri. Namun, keing
Aaaarrrrrrrgh!Rania berteriak saat kesadarannya pulih. Dadanya naik turun dengan cepat, tubuhnya membeku karena keterkejutan. Napasnya tersengal-sengal saat matanya menangkap fakta yang mengerikan—dia ada di bawah selimut yang sama dengan pria asing.Tangisnya pecah seketika. Air matanya mengalir deras di pipi, menggambarkan ketakutan, kepanikan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Dia tak pernah membayangkan akan mengalami sesuatu seburuk ini.Dengan tangan gemetar, Rania mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya, mencoba menjauh dari pria itu. Namun, rasa sakit yang menjalar di bagian intimnya membuatnya tersentak. Tubuhnya terasa nyeri luar biasa, seolah memberikan bukti nyata bahwa sesuatu yang mengerikan benar-benar telah terjadi padanya.Pria di sampingnya bergerak. Rania langsung membelakanginya, menutup rapat tubuhnya dengan selimut sambil berusaha keras mengendalikan rasa takutnya. Tapi, pria itu justru semakin mendekat dan tiba
Air mengalir deras dari pancuran, membasahi tubuh Rania yang menggigil di bawahnya. Ia memeluk dirinya sendiri, menggosok-gosok kulitnya dengan keras, seolah berharap bisa menghapus segala kotoran yang melekat. Tapi tidak peduli seberapa lama ia berdiri di bawah air, tidak peduli seberapa kuat ia menggosok tubuhnya, rasa jijik itu tetap ada.Rania menundukkan kepala, membiarkan air hangat mengalir melewati wajahnya. Isakannya teredam oleh suara pancuran, tapi air mata yang bercampur dengan air dari shower itu tak bisa dibendung. Ia merasa hancur. Seluruh tubuhnya lemas, seakan tidak punya tenaga lagi untuk berdiri.Ia menekan bibirnya kuat-kuat, berusaha meredam tangis yang semakin membuncah. Bayangan kejadian tadi terus berputar di kepalanya, menghantui seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap kata yang diucapkan Edward, setiap tatapan penuh kemenangan di mata pria itu, semua membuat Rania semakin merasa terpuruk."Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku membiarkan diriku di
Perjalanan menuju apartemen Rania terasa lebih lama dari biasanya. Setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa tak sabar yang menggelayuti dada Edward. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan stabil, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang membuatnya semakin frustrasi.Suaranya yang dingin dan tajam memenuhi ruang kabin mobil saat ia kembali mencoba menghubungi Rania. Namun, hasilnya tetap sama—ponselnya tidak aktif. Genggaman Edward di setir semakin menguat, menunjukkan ketegangan yang kini mulai mendominasi pikirannya.Kenapa dia tidak bisa dihubungi? Apa sesuatu terjadi padanya?Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski ia tahu Rania bukan tipe wanita ceroboh, tetap saja ada perasaan tidak nyaman yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Begitu mobilnya memasuki area parkir apartemen, Edward langsung menginjak pedal rem dan menghentikan mobilnya dengan mulus. Tanpa membuang waktu, ia membuka pintu dan turun dengan langkah cepat. Lalu lintas di sekitarnya tak men
Kalau ada kata lebih dari menyesal mungkin itu yang Rania rasakan saat ini. Ternyata dia tak sehebat itu untuk menjaga dirinya sendiri. Lalu apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya kalau dirinya sudah gagal? Apa mungkin dia harus jujur? Lalu bagaimana kalau sang Daddy dan Raka marah dan menghabisi pria yang tak Rania kenal ini? Memikirkan itu membuat dadanya semakin sakit. Rania ingat betul bagaimana kedua orang tuanya membujuk Rania untuk bersekolah di Amerika bersama Raka. Ternyata benar, kekhawatiran kedua orang tuanya benar-benar terjadi. Rania menyesal sangat menyesal.“Mommy, Daddy…. Maafin Nia, hiks hiks hiks.” Rania menangis.Flashback "Rania, tolong pikirkan baik-baik keputusanmu, Sayang. Kalau kamu bersekolah di London, Mommy sama Daddy jadi tak bisa tenang. Apalagi kamu harus pisah dengan Raka, sementara dia harus bersekolah di Amerika."Suara Naura terdengar penuh permohonan saat berbicara dengan anak gadisnya. Tatapannya sarat dengan kecemasan, memohon agar
Hamil? Rania membeo, kedua alisnya bertaut, ekspresinya campuran antara terkejut dan muak.“Iya, kalau kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” kata Edward dengan datar, seolah-olah masalah ini hanya sekadar formalitas baginya.Rania tertawa sinis. Tawanya dingin dan menyakitkan. “Kamu pikir aku mau sama kamu? Kamu itu nggak tahu diri, ya! Sudah om-om malah tidur sama wanita yang masih berstatus mahasiswa.” Matanya menyala penuh kemarahan saat menatap Edward.Edward berdecak kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak. Bagaimana mungkin dia, pria yang selalu dipuja banyak wanita, malah dipanggil ‘om-om’ oleh gadis yang baru dikenalnya? Sementara di luar sana, banyak sekali wanita yang tergila-gila padanya, mengemis perhatiannya, bahkan rela melakukan apa saja demi sekadar mendapatkan tatapannya. Tapi gadis ini? Dia justru menghinanya. Ini sudah keterlaluan!“Kamu ini ya, berani-beraninya ngatain aku om-om! Kamu nggak lihat ketampananku? Tak ada lawannya! Bahkan ketampananku mengalahkan
Meski diusir oleh Rania, tetap saja Edward memilih menghabiskan waktunya di apartemen Rania. Dia merasa berkewajiban untuk memastikan keadaan Rania baik-baik saja.Sementara Rania yang enggan berdebat, lebih memilih membiarkan Edward untuk tetap berada di apartemennya. Dia tak punya cukup tenaga untuk mengusir pria ini. Maka yang Rania lakukan memejamkan mata, dan pasrah akan masa depannya yang suram. Kehormatannya telah direnggut secara paksa oleh pria yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.*****Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Rania selamanya. Meski masih menyimpan trauma dan kemarahan, dia mencoba menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Setiap hari, dia berusaha mengubur semua kenangan buruk dan kembali fokus pada kuliahnya. Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi ketakutan setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Rania sudah berjanji pada dirinya sendiri—dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan masa depannya.Namun,
Malam semakin larut ketika Edward akhirnya memutuskan untuk pamit. Sejujurnya, ia masih ingin berlama-lama, tetapi suasana di apartemen Rania terlalu menegangkan baginya. Terutama karena keberadaan Davin, Raka, dan Bram yang dari tadi terus mengamatinya dengan tatapan sulit ditebak. Ditambah lagi, Aurora yang berhasil mempermainkannya dengan jamu asin tadi semakin membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.Ia berdiri dari kursinya, membenahi jasnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih atas makan malamnya, Pak Davin, Bu Naura.”Naura tersenyum lembut. “Hati-hati di jalan, Pak Edward.”Davin yang duduk dengan Rania di pangkuannya menepuk bahu pria itu. “Jangan sungkan datang lagi. Kami di sini satu minggu ke depan. Justru bagus kalau sering main ke sini, siapa tahu bisa berbagi pengalaman bisnis dengan Rania dan calon pacar Pak Edward. Saya bantu deh biar Aurora mau.” Davin sengaja banget menggoda sahabat dari anaknya, hingga membuat gadis itu memperemut
Langkah kaki gadis itu terdengar ringan saat ia berjalan menuju ruang tamu. Rania muncul dengan piyama tidur berbahan satin berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan nyaman. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini dikuncir tinggi dengan gaya bun yang membuat wajahnya tampak semakin segar dan manis.Dia sama sekali tidak heran kalau Edward terlihat dekat dengan sang Daddy. Beberapa hari sebelum ini Edward pernah cerita kalau dia sering ada pertemuan bisnis ataupun pertemuan sesama pengusaha hebat dan di dalamnya ada Davin dan Bram.Meski Edward memuji kehebatan sang Daddy, tetap saja itu tidak membuat Rania luluh dan memaafkan kesalahan yang pria itu buat.Edward yang tengah duduk dengan ekspresi tegang tanpa sadar mengangkat wajahnya, dan saat itu juga matanya membeku di tempat. Napasnya tercekat begitu saja.Rania terlihat begitu alami, tanpa riasan, tetapi tetap memesona. Tatapan polosnya, cara ia berjalan santai dengan ekspresi sedikit mengantuk—semuanya mengingatkannya pa
Edward berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin meskipun dalam hatinya ia sudah mulai menyesali keputusannya datang ke apartemen ini. Seandainya ia tahu bahwa keluarga Rania akan ada di sini, ia pasti akan berpikir seribu kali sebelum melangkahkan kakinya ke tempat ini.“Iya, Pak Davin. Saya kebetulan bawakan makanan untuk Aurora,” jawab Edward dengan suara setenang mungkin.Aurora langsung mendelik ke arahnya dengan tatapan penuh peringatan. Seolah-olah memberi sinyal agar Edward tidak berani macam-macam atau menyebutkan alasan sebenarnya. Namun, Edward pura-pura tidak peduli. Jika Davin sampai tahu bahwa sebenarnya ia datang untuk menemui Rania, wajahnya bisa bonyok dalam hitungan detik.Ia melirik sekilas ke arah Davin yang sedang berdiri tegap di depannya. Pria itu memang sudah tidak muda lagi, tetapi tubuhnya masih kekar dan berisi, menunjukkan bahwa ia tetap menjaga kebugarannya. Bahkan di usia matang seperti sekarang, Davin tetap terlihat karismatik, sosok yang jelas tida
London masih basah oleh sisa hujan yang mengguyur sejak sore. Lampu-lampu kota berpendar indah, tetapi tidak ada keindahan yang bisa dirasakan Edward malam ini. Dengan langkah panjang yang dipenuhi kelelahan, ia akhirnya sampai di depan apartemen Rania. Setelah seharian berada di lokasi proyek, tangannya terasa kaku saat menekan bel.Ding-dong!Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Edward menarik napas panjang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tahu, Rania pasti sedang menunggunya dengan banyak pertanyaan dan mungkin juga kemarahan yang belum tersalurkan. Namun, saat pintu terbuka, bukan Rania yang menyambutnya.Melainkan Aurora.Tatapan mata Aurora langsung berubah tajam begitu melihat pria di hadapannya. Ada kebencian yang nyata, sesuatu yang Edward tak bisa abaikan. Sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Aurora langsung melontarkan kata-kata tajam yang seolah menghantamnya tanpa ampun.“Bajingan tak tahu diri!”Edward terdiam. Wajahnya tetap datar, meskipun dalam hati
Sementara itu, di dalam mobil yang dikendarai oleh pacarnya Maria, kini pasangan beda usia jauh itu sedang bermesraan layaknya pasangan kekasih.“Aku tuh kangen banget sama kamu sayang, lama banget sih perginya,” rengek Maria manja.Maria sama sekali tidak risih meskipun dia bermesraan dengan pria matang yang usianya sama seperti Papanya, dia justru dari dulu menyukai pria matang, karena bagi Maria pria matang itu memiliki banyak pengalaman. Pria matang itu juga sangat penyayang, dan hal itulah yang membuat Maria nyaman bersama Jackie, yang merupakan seorang pengusaha sukses di London yang bergerak di bidang properti.Kekayaannya nggak perlu ditanyakan lagi, karena sudah pasti takkan habis untuk 7 keturunan, meski Maria terlahir sebagai anak orang kaya, namun nyatanya dia tetap mendapatkan kemewahan itu dari pria matang ini, dan Maria menyukai cara Jackie memanjakannya.“Aku juga sangat merindukanmu sayang, makanya tadi aku buru-buru nyamperin kamu ke coffee shop, karena aku benar-ben
Rania membeku di tempatnya, bahkan dia tidak menyadari kalau Aurora sudah kembali ke meja mereka. Pria itu sangat nekat melakukannya di depan umum."Rania, kamu kenapa sih? Bengong terus dari tadi," tanya Aurora, bahkan sampai harus memukul tangan Rania agar sahabatnya itu tersadar dari lamunan.Rania tersentak. "Ah, nggak apa-apa kok," jawabnya gugup, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.Aurora hanya menggeleng. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, tetapi dia memilih menunggu sampai Rania sendiri yang bercerita. Aurora ingin menghargai privasi Rania jika memang dia tidak nyaman untuk membagikan masalahnya. Mereka kembali melanjutkan makan, meskipun Aurora diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi Rania yang terlihat jauh berbeda dari biasanya.Di dalam kepalanya, Rania masih dihantui berbagai pertanyaan yang terus berputar. Jadi dia kakak angkatnya Maria? Berarti benar kecurigaanku setelah aku berbicara dengan Maria di klub malam itu…Rani
Rania menghela napas panjang, mencoba menahan kegelisahan yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. Di sampingnya, Aurora terus menatapnya dengan mata penuh selidik."Kamu kenapa sih? Kok wajahnya kelihatan suntuk banget," tanya Aurora, sahabat baiknya, sambil menyenggol lengannya pelan.Rania tersentak dari lamunannya, buru-buru memasang ekspresi datar. "Nggak apa-apa kok. Mungkin cuma kurang enak badan," sahutnya, berbohong.Meski Aurora adalah sahabat terbaiknya, tetap saja Rania merasa malu untuk membongkar aibnya sendiri, terutama yang berhubungan dengan Edward.Aurora mengernyit, tidak percaya begitu saja. "Tapi kamu nggak seperti biasanya. Malah beberapa kali kamu sering bolos kuliah. Ceritalah padaku kalau kamu memang menganggapku sebagai sahabatmu. Kalau kamu percaya aku bisa menyimpan rahasiamu," ujarnya membujuk dengan nada serius.Rania menarik napas dalam. Ia tahu Aurora tidak akan mudah menyerah jika sudah mulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Tapi tetap saja, dia tida
Meski diusir oleh Rania, tetap saja Edward memilih menghabiskan waktunya di apartemen Rania. Dia merasa berkewajiban untuk memastikan keadaan Rania baik-baik saja.Sementara Rania yang enggan berdebat, lebih memilih membiarkan Edward untuk tetap berada di apartemennya. Dia tak punya cukup tenaga untuk mengusir pria ini. Maka yang Rania lakukan memejamkan mata, dan pasrah akan masa depannya yang suram. Kehormatannya telah direnggut secara paksa oleh pria yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.*****Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Rania selamanya. Meski masih menyimpan trauma dan kemarahan, dia mencoba menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Setiap hari, dia berusaha mengubur semua kenangan buruk dan kembali fokus pada kuliahnya. Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi ketakutan setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Rania sudah berjanji pada dirinya sendiri—dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan masa depannya.Namun,
Hamil? Rania membeo, kedua alisnya bertaut, ekspresinya campuran antara terkejut dan muak.“Iya, kalau kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” kata Edward dengan datar, seolah-olah masalah ini hanya sekadar formalitas baginya.Rania tertawa sinis. Tawanya dingin dan menyakitkan. “Kamu pikir aku mau sama kamu? Kamu itu nggak tahu diri, ya! Sudah om-om malah tidur sama wanita yang masih berstatus mahasiswa.” Matanya menyala penuh kemarahan saat menatap Edward.Edward berdecak kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak. Bagaimana mungkin dia, pria yang selalu dipuja banyak wanita, malah dipanggil ‘om-om’ oleh gadis yang baru dikenalnya? Sementara di luar sana, banyak sekali wanita yang tergila-gila padanya, mengemis perhatiannya, bahkan rela melakukan apa saja demi sekadar mendapatkan tatapannya. Tapi gadis ini? Dia justru menghinanya. Ini sudah keterlaluan!“Kamu ini ya, berani-beraninya ngatain aku om-om! Kamu nggak lihat ketampananku? Tak ada lawannya! Bahkan ketampananku mengalahkan