Kalau ada kata lebih dari menyesal mungkin itu yang Rania rasakan saat ini. Ternyata dia tak sehebat itu untuk menjaga dirinya sendiri. Lalu apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya kalau dirinya sudah gagal? Apa mungkin dia harus jujur? Lalu bagaimana kalau sang Daddy dan Raka marah dan menghabisi pria yang tak Rania kenal ini? Memikirkan itu membuat dadanya semakin sakit. Rania ingat betul bagaimana kedua orang tuanya membujuk Rania untuk bersekolah di Amerika bersama Raka. Ternyata benar, kekhawatiran kedua orang tuanya benar-benar terjadi. Rania menyesal sangat menyesal.“Mommy, Daddy…. Maafin Nia, hiks hiks hiks.” Rania menangis.Flashback "Rania, tolong pikirkan baik-baik keputusanmu, Sayang. Kalau kamu bersekolah di London, Mommy sama Daddy jadi tak bisa tenang. Apalagi kamu harus pisah dengan Raka, sementara dia harus bersekolah di Amerika."Suara Naura terdengar penuh permohonan saat berbicara dengan anak gadisnya. Tatapannya sarat dengan kecemasan, memohon agar
Hamil? Rania membeo, kedua alisnya bertaut, ekspresinya campuran antara terkejut dan muak.“Iya, kalau kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” kata Edward dengan datar, seolah-olah masalah ini hanya sekadar formalitas baginya.Rania tertawa sinis. Tawanya dingin dan menyakitkan. “Kamu pikir aku mau sama kamu? Kamu itu nggak tahu diri, ya! Sudah om-om malah tidur sama wanita yang masih berstatus mahasiswa.” Matanya menyala penuh kemarahan saat menatap Edward.Edward berdecak kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak. Bagaimana mungkin dia, pria yang selalu dipuja banyak wanita, malah dipanggil ‘om-om’ oleh gadis yang baru dikenalnya? Sementara di luar sana, banyak sekali wanita yang tergila-gila padanya, mengemis perhatiannya, bahkan rela melakukan apa saja demi sekadar mendapatkan tatapannya. Tapi gadis ini? Dia justru menghinanya. Ini sudah keterlaluan!“Kamu ini ya, berani-beraninya ngatain aku om-om! Kamu nggak lihat ketampananku? Tak ada lawannya! Bahkan ketampananku mengalahkan
Meski diusir oleh Rania, tetap saja Edward memilih menghabiskan waktunya di apartemen Rania. Dia merasa berkewajiban untuk memastikan keadaan Rania baik-baik saja.Sementara Rania yang enggan berdebat, lebih memilih membiarkan Edward untuk tetap berada di apartemennya. Dia tak punya cukup tenaga untuk mengusir pria ini. Maka yang Rania lakukan memejamkan mata, dan pasrah akan masa depannya yang suram. Kehormatannya telah direnggut secara paksa oleh pria yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.*****Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Rania selamanya. Meski masih menyimpan trauma dan kemarahan, dia mencoba menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Setiap hari, dia berusaha mengubur semua kenangan buruk dan kembali fokus pada kuliahnya. Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi ketakutan setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Rania sudah berjanji pada dirinya sendiri—dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan masa depannya.Namun,
Rania menghela napas panjang, mencoba menahan kegelisahan yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. Di sampingnya, Aurora terus menatapnya dengan mata penuh selidik."Kamu kenapa sih? Kok wajahnya kelihatan suntuk banget," tanya Aurora, sahabat baiknya, sambil menyenggol lengannya pelan.Rania tersentak dari lamunannya, buru-buru memasang ekspresi datar. "Nggak apa-apa kok. Mungkin cuma kurang enak badan," sahutnya, berbohong.Meski Aurora adalah sahabat terbaiknya, tetap saja Rania merasa malu untuk membongkar aibnya sendiri, terutama yang berhubungan dengan Edward.Aurora mengernyit, tidak percaya begitu saja. "Tapi kamu nggak seperti biasanya. Malah beberapa kali kamu sering bolos kuliah. Ceritalah padaku kalau kamu memang menganggapku sebagai sahabatmu. Kalau kamu percaya aku bisa menyimpan rahasiamu," ujarnya membujuk dengan nada serius.Rania menarik napas dalam. Ia tahu Aurora tidak akan mudah menyerah jika sudah mulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Tapi tetap saja, dia tida
Rania membeku di tempatnya, bahkan dia tidak menyadari kalau Aurora sudah kembali ke meja mereka. Pria itu sangat nekat melakukannya di depan umum."Rania, kamu kenapa sih? Bengong terus dari tadi," tanya Aurora, bahkan sampai harus memukul tangan Rania agar sahabatnya itu tersadar dari lamunan.Rania tersentak. "Ah, nggak apa-apa kok," jawabnya gugup, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.Aurora hanya menggeleng. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, tetapi dia memilih menunggu sampai Rania sendiri yang bercerita. Aurora ingin menghargai privasi Rania jika memang dia tidak nyaman untuk membagikan masalahnya. Mereka kembali melanjutkan makan, meskipun Aurora diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi Rania yang terlihat jauh berbeda dari biasanya.Di dalam kepalanya, Rania masih dihantui berbagai pertanyaan yang terus berputar. Jadi dia kakak angkatnya Maria? Berarti benar kecurigaanku setelah aku berbicara dengan Maria di klub malam itu…Rani
Sementara itu, di dalam mobil yang dikendarai oleh pacarnya Maria, kini pasangan beda usia jauh itu sedang bermesraan layaknya pasangan kekasih.“Aku tuh kangen banget sama kamu sayang, lama banget sih perginya,” rengek Maria manja.Maria sama sekali tidak risih meskipun dia bermesraan dengan pria matang yang usianya sama seperti Papanya, dia justru dari dulu menyukai pria matang, karena bagi Maria pria matang itu memiliki banyak pengalaman. Pria matang itu juga sangat penyayang, dan hal itulah yang membuat Maria nyaman bersama Jackie, yang merupakan seorang pengusaha sukses di London yang bergerak di bidang properti.Kekayaannya nggak perlu ditanyakan lagi, karena sudah pasti takkan habis untuk 7 keturunan, meski Maria terlahir sebagai anak orang kaya, namun nyatanya dia tetap mendapatkan kemewahan itu dari pria matang ini, dan Maria menyukai cara Jackie memanjakannya.“Aku juga sangat merindukanmu sayang, makanya tadi aku buru-buru nyamperin kamu ke coffee shop, karena aku benar-ben
London masih basah oleh sisa hujan yang mengguyur sejak sore. Lampu-lampu kota berpendar indah, tetapi tidak ada keindahan yang bisa dirasakan Edward malam ini. Dengan langkah panjang yang dipenuhi kelelahan, ia akhirnya sampai di depan apartemen Rania. Setelah seharian berada di lokasi proyek, tangannya terasa kaku saat menekan bel.Ding-dong!Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Edward menarik napas panjang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tahu, Rania pasti sedang menunggunya dengan banyak pertanyaan dan mungkin juga kemarahan yang belum tersalurkan. Namun, saat pintu terbuka, bukan Rania yang menyambutnya.Melainkan Aurora.Tatapan mata Aurora langsung berubah tajam begitu melihat pria di hadapannya. Ada kebencian yang nyata, sesuatu yang Edward tak bisa abaikan. Sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Aurora langsung melontarkan kata-kata tajam yang seolah menghantamnya tanpa ampun.“Bajingan tak tahu diri!”Edward terdiam. Wajahnya tetap datar, meskipun dalam hati
Edward berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin meskipun dalam hatinya ia sudah mulai menyesali keputusannya datang ke apartemen ini. Seandainya ia tahu bahwa keluarga Rania akan ada di sini, ia pasti akan berpikir seribu kali sebelum melangkahkan kakinya ke tempat ini.“Iya, Pak Davin. Saya kebetulan bawakan makanan untuk Aurora,” jawab Edward dengan suara setenang mungkin.Aurora langsung mendelik ke arahnya dengan tatapan penuh peringatan. Seolah-olah memberi sinyal agar Edward tidak berani macam-macam atau menyebutkan alasan sebenarnya. Namun, Edward pura-pura tidak peduli. Jika Davin sampai tahu bahwa sebenarnya ia datang untuk menemui Rania, wajahnya bisa bonyok dalam hitungan detik.Ia melirik sekilas ke arah Davin yang sedang berdiri tegap di depannya. Pria itu memang sudah tidak muda lagi, tetapi tubuhnya masih kekar dan berisi, menunjukkan bahwa ia tetap menjaga kebugarannya. Bahkan di usia matang seperti sekarang, Davin tetap terlihat karismatik, sosok yang jelas tida
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto