London masih basah oleh sisa hujan yang mengguyur sejak sore. Lampu-lampu kota berpendar indah, tetapi tidak ada keindahan yang bisa dirasakan Edward malam ini. Dengan langkah panjang yang dipenuhi kelelahan, ia akhirnya sampai di depan apartemen Rania. Setelah seharian berada di lokasi proyek, tangannya terasa kaku saat menekan bel.Ding-dong!Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Edward menarik napas panjang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tahu, Rania pasti sedang menunggunya dengan banyak pertanyaan dan mungkin juga kemarahan yang belum tersalurkan. Namun, saat pintu terbuka, bukan Rania yang menyambutnya.Melainkan Aurora.Tatapan mata Aurora langsung berubah tajam begitu melihat pria di hadapannya. Ada kebencian yang nyata, sesuatu yang Edward tak bisa abaikan. Sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Aurora langsung melontarkan kata-kata tajam yang seolah menghantamnya tanpa ampun.“Bajingan tak tahu diri!”Edward terdiam. Wajahnya tetap datar, meskipun dalam hati
Edward berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin meskipun dalam hatinya ia sudah mulai menyesali keputusannya datang ke apartemen ini. Seandainya ia tahu bahwa keluarga Rania akan ada di sini, ia pasti akan berpikir seribu kali sebelum melangkahkan kakinya ke tempat ini.“Iya, Pak Davin. Saya kebetulan bawakan makanan untuk Aurora,” jawab Edward dengan suara setenang mungkin.Aurora langsung mendelik ke arahnya dengan tatapan penuh peringatan. Seolah-olah memberi sinyal agar Edward tidak berani macam-macam atau menyebutkan alasan sebenarnya. Namun, Edward pura-pura tidak peduli. Jika Davin sampai tahu bahwa sebenarnya ia datang untuk menemui Rania, wajahnya bisa bonyok dalam hitungan detik.Ia melirik sekilas ke arah Davin yang sedang berdiri tegap di depannya. Pria itu memang sudah tidak muda lagi, tetapi tubuhnya masih kekar dan berisi, menunjukkan bahwa ia tetap menjaga kebugarannya. Bahkan di usia matang seperti sekarang, Davin tetap terlihat karismatik, sosok yang jelas tida
Langkah kaki gadis itu terdengar ringan saat ia berjalan menuju ruang tamu. Rania muncul dengan piyama tidur berbahan satin berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan nyaman. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini dikuncir tinggi dengan gaya bun yang membuat wajahnya tampak semakin segar dan manis.Dia sama sekali tidak heran kalau Edward terlihat dekat dengan sang Daddy. Beberapa hari sebelum ini Edward pernah cerita kalau dia sering ada pertemuan bisnis ataupun pertemuan sesama pengusaha hebat dan di dalamnya ada Davin dan Bram.Meski Edward memuji kehebatan sang Daddy, tetap saja itu tidak membuat Rania luluh dan memaafkan kesalahan yang pria itu buat.Edward yang tengah duduk dengan ekspresi tegang tanpa sadar mengangkat wajahnya, dan saat itu juga matanya membeku di tempat. Napasnya tercekat begitu saja.Rania terlihat begitu alami, tanpa riasan, tetapi tetap memesona. Tatapan polosnya, cara ia berjalan santai dengan ekspresi sedikit mengantuk—semuanya mengingatkannya pa
Malam semakin larut ketika Edward akhirnya memutuskan untuk pamit. Sejujurnya, ia masih ingin berlama-lama, tetapi suasana di apartemen Rania terlalu menegangkan baginya. Terutama karena keberadaan Davin, Raka, dan Bram yang dari tadi terus mengamatinya dengan tatapan sulit ditebak. Ditambah lagi, Aurora yang berhasil mempermainkannya dengan jamu asin tadi semakin membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.Ia berdiri dari kursinya, membenahi jasnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih atas makan malamnya, Pak Davin, Bu Naura.”Naura tersenyum lembut. “Hati-hati di jalan, Pak Edward.”Davin yang duduk dengan Rania di pangkuannya menepuk bahu pria itu. “Jangan sungkan datang lagi. Kami di sini satu minggu ke depan. Justru bagus kalau sering main ke sini, siapa tahu bisa berbagi pengalaman bisnis dengan Rania dan calon pacar Pak Edward. Saya bantu deh biar Aurora mau.” Davin sengaja banget menggoda sahabat dari anaknya, hingga membuat gadis itu memperemut
Begitu Edward melangkah keluar dari apartemen, suasana kembali cair. Semua orang tampak lebih rileks, terutama Rania yang akhirnya bisa sepenuhnya menikmati waktu bersama keluarganya tanpa beban pikiran.Namun, tak butuh waktu lama sebelum kehebohan lain dimulai. Angelica, yang sejak tadi duduk manis di sofa, tiba-tiba melompat dan dengan nyaman mendudukkan diri di atas pangkuan Davin. Gadis remaja itu melingkarkan tangannya di leher sang Uncle dan menyandarkan kepalanya dengan manja.Rania yang melihatnya langsung berdecak sebal. Dengan cepat, ia menarik tangan Angelica, berniat menarik gadis itu dari pangkuan ayahnya. “Hei! Ngapain kamu ambil Daddy aku?” tanyanya dengan ekspresi pura-pura marah.Namun, Angelica tak kalah sigap. Ia malah mengeratkan pelukannya dan bersikap seakan tak mau berpisah dari sang Uncle kesayangan. Dengan wajah polosnya, ia menjawab, “Ini Daddy aku.”Davin tertawa kecil melihat interaksi kedua gadis yang sangat ia sayangi itu. Ia tahu Angelica memang memilik
Begitu keluar dari apartemen Edward, Maria berjalan cepat menuju area parkir dengan wajah yang masih dipenuhi amarah. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang masih membakar dalam dirinya. Langkahnya cepat, hampir berlari, dengan tumit sepatu yang beradu keras dengan lantai semen parkiran. Kepalanya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan yang berputar-putar seperti pusaran angin.Begitu melihat mobil yang dikendarai Jeckie terparkir tidak jauh dari lobby, Maria segera membuka pintu dan masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, seakan melampiaskan emosinya pada benda mati itu. Pintu tertutup dengan suara keras, memantul di ruang sempit mobil, membuat Jeckie yang tengah menunggu di balik kemudi menoleh dengan alis terangkat."Kamu baik-baik saja, sayang?" tanyanya, meski jelas-jelas melihat wajah Maria yang merah karena emosi.Maria tidak langsung menjawab. Tangannya masih gemetar karena marah, dan napasnya masih tidak tera
Maria menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Jackie, tetapi panggilan itu selalu berujung pada suara operator yang mengatakan bahwa ponsel pria itu tidak aktif.“Sial,” gumamnya pelan.Setelah percakapannya dengan Michella yang berjalan sesuai rencana, Maria sebenarnya ingin kembali ke vila untuk menemui Jackie. Namun, kenyataan bahwa pria itu sulit dihubungi membuatnya merasa tidak tenang.Tanpa pikir panjang, Maria mengambil kunci mobilnya dan melesat keluar rumah. Jalanan malam cukup lengang, membuatnya bisa melaju dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan tentang keberadaan Jackie.Sesampainya di vila, ia langsung turun dari mobil dan berjalan cepat menuju penjaga yang sedang berjaga di depan pintu gerbang.“Jackie sudah pulang?” tanyanya langsung, suaranya terdengar tegas.Penjaga itu tampak sedikit ragu sebelum menjawab. “Maaf, Nona, Tuan Jackie belum kembali ke vila sejak tadi malam.”
Napasnya memburu. Tangannya mencengkeram ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Hamil? Tidak mungkin. Itu pasti hanya dugaan Aurora. Tapi bagaimana kalau benar?Edward menelan ludah, matanya terpaku pada layar ponselnya seakan berharap pesan itu akan berubah atau menghilang begitu saja. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, meskipun AC di ruangannya menyala cukup dingin. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, menyesakkan dadanya dengan gelombang kecemasan yang tak bisa ia kendalikan.Tidak. Ini tidak boleh terjadi.Bayangan malam itu kembali berputar di kepalanya—tatapan kosong Rania, tubuh lemasnya yang tak berdaya, dan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidupnya. Rasa sesal yang selama ini menghantuinya kini menjelma menjadi ketakutan nyata. Jika Rania benar-benar hamil... maka hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Sebuah ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, dan William, asistennya, masuk dengan be
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto