Malam semakin larut ketika Edward akhirnya memutuskan untuk pamit. Sejujurnya, ia masih ingin berlama-lama, tetapi suasana di apartemen Rania terlalu menegangkan baginya. Terutama karena keberadaan Davin, Raka, dan Bram yang dari tadi terus mengamatinya dengan tatapan sulit ditebak. Ditambah lagi, Aurora yang berhasil mempermainkannya dengan jamu asin tadi semakin membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.Ia berdiri dari kursinya, membenahi jasnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih atas makan malamnya, Pak Davin, Bu Naura.”Naura tersenyum lembut. “Hati-hati di jalan, Pak Edward.”Davin yang duduk dengan Rania di pangkuannya menepuk bahu pria itu. “Jangan sungkan datang lagi. Kami di sini satu minggu ke depan. Justru bagus kalau sering main ke sini, siapa tahu bisa berbagi pengalaman bisnis dengan Rania dan calon pacar Pak Edward. Saya bantu deh biar Aurora mau.” Davin sengaja banget menggoda sahabat dari anaknya, hingga membuat gadis itu memperemut
"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—saya harus m
"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang
Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan. "Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggara
Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
"Kamu tahu kan kalau aku sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah?" tanya Davin lagi saat Naura belum memberikan jawaban. "Jujur, aku puas main dengan kamu. Naura, milikmu sangat sempit, dan belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti saat menyentuhmu. Kamu sendiri juga tahu, sudah banyak sekali wanita malam yang aku ajak bercinta setiap malam. Jujur, kamu berbeda dari mereka. Kalau kamu mau menjadi simpananku dan merahasiakan hubungan kita dari siapapun, serta berusaha bersikap profesional di hadapan orang lain, aku janji akan membiayai pengobatan ibumu," ucap Davin lagi memberi tawaran. Naura hampir saja melupakan keadaan ibunya yang masih berjuang di ruang ICU. Lebih baik dia berkorban perasaan daripada membiarkan ibunya tanpa perawatan medis yang bagus. Naura menarik napas berat lalu menjawab, "Baiklah, Pak Davin. Saya mau menjadi simpanan Anda," sahutnya. Davin tersenyum bahagia. "Jadi mulai sekarang, bila hanya ada kita berdua saja, kamu harus memposisikan di
Malam semakin larut ketika Edward akhirnya memutuskan untuk pamit. Sejujurnya, ia masih ingin berlama-lama, tetapi suasana di apartemen Rania terlalu menegangkan baginya. Terutama karena keberadaan Davin, Raka, dan Bram yang dari tadi terus mengamatinya dengan tatapan sulit ditebak. Ditambah lagi, Aurora yang berhasil mempermainkannya dengan jamu asin tadi semakin membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.Ia berdiri dari kursinya, membenahi jasnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih atas makan malamnya, Pak Davin, Bu Naura.”Naura tersenyum lembut. “Hati-hati di jalan, Pak Edward.”Davin yang duduk dengan Rania di pangkuannya menepuk bahu pria itu. “Jangan sungkan datang lagi. Kami di sini satu minggu ke depan. Justru bagus kalau sering main ke sini, siapa tahu bisa berbagi pengalaman bisnis dengan Rania dan calon pacar Pak Edward. Saya bantu deh biar Aurora mau.” Davin sengaja banget menggoda sahabat dari anaknya, hingga membuat gadis itu memperemut
Langkah kaki gadis itu terdengar ringan saat ia berjalan menuju ruang tamu. Rania muncul dengan piyama tidur berbahan satin berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan nyaman. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini dikuncir tinggi dengan gaya bun yang membuat wajahnya tampak semakin segar dan manis.Dia sama sekali tidak heran kalau Edward terlihat dekat dengan sang Daddy. Beberapa hari sebelum ini Edward pernah cerita kalau dia sering ada pertemuan bisnis ataupun pertemuan sesama pengusaha hebat dan di dalamnya ada Davin dan Bram.Meski Edward memuji kehebatan sang Daddy, tetap saja itu tidak membuat Rania luluh dan memaafkan kesalahan yang pria itu buat.Edward yang tengah duduk dengan ekspresi tegang tanpa sadar mengangkat wajahnya, dan saat itu juga matanya membeku di tempat. Napasnya tercekat begitu saja.Rania terlihat begitu alami, tanpa riasan, tetapi tetap memesona. Tatapan polosnya, cara ia berjalan santai dengan ekspresi sedikit mengantuk—semuanya mengingatkannya pa
Edward berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin meskipun dalam hatinya ia sudah mulai menyesali keputusannya datang ke apartemen ini. Seandainya ia tahu bahwa keluarga Rania akan ada di sini, ia pasti akan berpikir seribu kali sebelum melangkahkan kakinya ke tempat ini.“Iya, Pak Davin. Saya kebetulan bawakan makanan untuk Aurora,” jawab Edward dengan suara setenang mungkin.Aurora langsung mendelik ke arahnya dengan tatapan penuh peringatan. Seolah-olah memberi sinyal agar Edward tidak berani macam-macam atau menyebutkan alasan sebenarnya. Namun, Edward pura-pura tidak peduli. Jika Davin sampai tahu bahwa sebenarnya ia datang untuk menemui Rania, wajahnya bisa bonyok dalam hitungan detik.Ia melirik sekilas ke arah Davin yang sedang berdiri tegap di depannya. Pria itu memang sudah tidak muda lagi, tetapi tubuhnya masih kekar dan berisi, menunjukkan bahwa ia tetap menjaga kebugarannya. Bahkan di usia matang seperti sekarang, Davin tetap terlihat karismatik, sosok yang jelas tida
London masih basah oleh sisa hujan yang mengguyur sejak sore. Lampu-lampu kota berpendar indah, tetapi tidak ada keindahan yang bisa dirasakan Edward malam ini. Dengan langkah panjang yang dipenuhi kelelahan, ia akhirnya sampai di depan apartemen Rania. Setelah seharian berada di lokasi proyek, tangannya terasa kaku saat menekan bel.Ding-dong!Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Edward menarik napas panjang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tahu, Rania pasti sedang menunggunya dengan banyak pertanyaan dan mungkin juga kemarahan yang belum tersalurkan. Namun, saat pintu terbuka, bukan Rania yang menyambutnya.Melainkan Aurora.Tatapan mata Aurora langsung berubah tajam begitu melihat pria di hadapannya. Ada kebencian yang nyata, sesuatu yang Edward tak bisa abaikan. Sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Aurora langsung melontarkan kata-kata tajam yang seolah menghantamnya tanpa ampun.“Bajingan tak tahu diri!”Edward terdiam. Wajahnya tetap datar, meskipun dalam hati
Sementara itu, di dalam mobil yang dikendarai oleh pacarnya Maria, kini pasangan beda usia jauh itu sedang bermesraan layaknya pasangan kekasih.“Aku tuh kangen banget sama kamu sayang, lama banget sih perginya,” rengek Maria manja.Maria sama sekali tidak risih meskipun dia bermesraan dengan pria matang yang usianya sama seperti Papanya, dia justru dari dulu menyukai pria matang, karena bagi Maria pria matang itu memiliki banyak pengalaman. Pria matang itu juga sangat penyayang, dan hal itulah yang membuat Maria nyaman bersama Jackie, yang merupakan seorang pengusaha sukses di London yang bergerak di bidang properti.Kekayaannya nggak perlu ditanyakan lagi, karena sudah pasti takkan habis untuk 7 keturunan, meski Maria terlahir sebagai anak orang kaya, namun nyatanya dia tetap mendapatkan kemewahan itu dari pria matang ini, dan Maria menyukai cara Jackie memanjakannya.“Aku juga sangat merindukanmu sayang, makanya tadi aku buru-buru nyamperin kamu ke coffee shop, karena aku benar-ben
Rania membeku di tempatnya, bahkan dia tidak menyadari kalau Aurora sudah kembali ke meja mereka. Pria itu sangat nekat melakukannya di depan umum."Rania, kamu kenapa sih? Bengong terus dari tadi," tanya Aurora, bahkan sampai harus memukul tangan Rania agar sahabatnya itu tersadar dari lamunan.Rania tersentak. "Ah, nggak apa-apa kok," jawabnya gugup, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.Aurora hanya menggeleng. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, tetapi dia memilih menunggu sampai Rania sendiri yang bercerita. Aurora ingin menghargai privasi Rania jika memang dia tidak nyaman untuk membagikan masalahnya. Mereka kembali melanjutkan makan, meskipun Aurora diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi Rania yang terlihat jauh berbeda dari biasanya.Di dalam kepalanya, Rania masih dihantui berbagai pertanyaan yang terus berputar. Jadi dia kakak angkatnya Maria? Berarti benar kecurigaanku setelah aku berbicara dengan Maria di klub malam itu…Rani
Rania menghela napas panjang, mencoba menahan kegelisahan yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. Di sampingnya, Aurora terus menatapnya dengan mata penuh selidik."Kamu kenapa sih? Kok wajahnya kelihatan suntuk banget," tanya Aurora, sahabat baiknya, sambil menyenggol lengannya pelan.Rania tersentak dari lamunannya, buru-buru memasang ekspresi datar. "Nggak apa-apa kok. Mungkin cuma kurang enak badan," sahutnya, berbohong.Meski Aurora adalah sahabat terbaiknya, tetap saja Rania merasa malu untuk membongkar aibnya sendiri, terutama yang berhubungan dengan Edward.Aurora mengernyit, tidak percaya begitu saja. "Tapi kamu nggak seperti biasanya. Malah beberapa kali kamu sering bolos kuliah. Ceritalah padaku kalau kamu memang menganggapku sebagai sahabatmu. Kalau kamu percaya aku bisa menyimpan rahasiamu," ujarnya membujuk dengan nada serius.Rania menarik napas dalam. Ia tahu Aurora tidak akan mudah menyerah jika sudah mulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Tapi tetap saja, dia tida
Meski diusir oleh Rania, tetap saja Edward memilih menghabiskan waktunya di apartemen Rania. Dia merasa berkewajiban untuk memastikan keadaan Rania baik-baik saja.Sementara Rania yang enggan berdebat, lebih memilih membiarkan Edward untuk tetap berada di apartemennya. Dia tak punya cukup tenaga untuk mengusir pria ini. Maka yang Rania lakukan memejamkan mata, dan pasrah akan masa depannya yang suram. Kehormatannya telah direnggut secara paksa oleh pria yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.*****Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Rania selamanya. Meski masih menyimpan trauma dan kemarahan, dia mencoba menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Setiap hari, dia berusaha mengubur semua kenangan buruk dan kembali fokus pada kuliahnya. Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi ketakutan setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Rania sudah berjanji pada dirinya sendiri—dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan masa depannya.Namun,
Hamil? Rania membeo, kedua alisnya bertaut, ekspresinya campuran antara terkejut dan muak.“Iya, kalau kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” kata Edward dengan datar, seolah-olah masalah ini hanya sekadar formalitas baginya.Rania tertawa sinis. Tawanya dingin dan menyakitkan. “Kamu pikir aku mau sama kamu? Kamu itu nggak tahu diri, ya! Sudah om-om malah tidur sama wanita yang masih berstatus mahasiswa.” Matanya menyala penuh kemarahan saat menatap Edward.Edward berdecak kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak. Bagaimana mungkin dia, pria yang selalu dipuja banyak wanita, malah dipanggil ‘om-om’ oleh gadis yang baru dikenalnya? Sementara di luar sana, banyak sekali wanita yang tergila-gila padanya, mengemis perhatiannya, bahkan rela melakukan apa saja demi sekadar mendapatkan tatapannya. Tapi gadis ini? Dia justru menghinanya. Ini sudah keterlaluan!“Kamu ini ya, berani-beraninya ngatain aku om-om! Kamu nggak lihat ketampananku? Tak ada lawannya! Bahkan ketampananku mengalahkan