แชร์

Tak Diangkat

ผู้เขียน: Atieckha
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-20 22:37:30

"Maaf, Tuan. Aurora tidak mengangkat teleponnya," ucap William di samping ranjang pasien sang atasan. Suasana Ruang rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya terdengar suara alat-alat medis yang terus berbunyi monoton, seakan menjadi latar belakang dari percakapan yang tengah berlangsung. Bau antiseptik memenuhi ruangan, memberikan kesan dingin dan kaku. William menatap Edward dengan raut wajah khawatir. Pria itu terbaring lemah, wajahnya penuh luka lebam dengan beberapa bagian bengkak, terutama di sekitar mata dan pipi. Jahitan di dahinya masih baru, sedikit merah dan tampak masih nyeri jika tersentuh. Sementara itu, kaki kirinya digips, menjadi bukti bahwa luka yang ia derita tidaklah ringan. Meski dalam kondisi mengenaskan seperti ini, Edward justru tersenyum kecil. Matanya berbinar meski tampak kelelahan. William dapat melihat kilatan kebahagiaan yang jelas di sorot mata majikannya, seakan rasa sakit yang dirasakan tidak ada artinya dibandingkan dengan kabar yang baru saja ia terima
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Diblokir

    Pintu kamar rumah sakit terbuka perlahan, diiringi suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai. Edward yang masih terbaring lemah mengerutkan kening, merasa sedikit heran karena ia tidak mengharapkan kedatangan siapa pun selain William. Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu, ekspresinya berubah tajam.Maria.Adik angkatnya itu berdiri di sana dengan wajah penuh amarah. Wanita itu mengenakan gaun merah elegan, rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna di punggungnya, dan bibirnya yang merah merona terkatup rapat. Matanya yang penuh kebencian tertuju langsung ke arah Edward, seakan pria itu adalah musuhnya saat ini."Aku kira kau sudah mati," ucap Maria dingin sambil berjalan mendekat. Tatapan sinisnya menyapu seluruh tubuh Edward yang dipenuhi luka. "Sayang sekali kau masih bisa berbicara setelah dihajar habis-habisan."William, yang berdiri di samping ranjang Edward, langsung merasa tidak nyaman dengan kedatangan Maria. Ia sudah bisa merasakan k

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Merasa Kotor

    Di dalam kamar, suasana begitu mencekam. Isak tangis Rania menggema, membuat siapa pun yang mendengarnya ikut merasakan sakit yang ia rasakan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya bergetar hebat, dan kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar penuh keputusasaan."Rania minta maaf sama Mommy, Daddy, Raka, Nenek, Uncle, dan Angelica. Rania bener-bener sudah membuat kalian malu. Rania merasa kotor... Rania tak pernah menyangka akan mengalami hal yang semenyakitkan ini, hiks hiks hiks..." Suaranya bergetar, tangisnya pecah semakin dalam.Seluruh keluarga hanya bisa terdiam, tenggorokan mereka tercekat, tak sanggup mendengar putri kesayangan mereka berbicara seperti ini."Rania sudah berusaha menjaga diri dengan baik. Rania sudah berusaha menepati janji pada kalian semua kalau Rania bisa menjaga diri Rania di London meski tidak tinggal bersama kalian..." Ia terisak, kedua tangannya mencengkeram seprai tempat tidur dengan erat. "Tapi nyatanya Rania mengecewakan kalian… Rania malu… Rania

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Ternyata Kenal

    “Aku akan buatkan dulu berkasnya biar dibaca oleh Pak Adam.”Davin mengangguk membiarkan Bram bekerja. Setelah beberapa saat Bram pun bilang kalau semua sudah terkirim.Di ruang tamu apartemen Rania di London, suasana terasa begitu tegang. Keadaan terasa lebih berat dari biasanya, seolah menyerap kemarahan dan kekecewaan yang memenuhi ruangan. Davin duduk di sofa dengan wajah dingin, ekspresi penuh amarah terpahat jelas di rautnya. Matanya menatap kosong ke depan, namun pikirannya dipenuhi bayangan kejadian yang telah menghancurkan hidup putrinya. Sementara itu, Bram bersandar ke belakang, tangannya menggenggam ponsel dengan erat, nyaris seperti hendak meremukkannya.Mereka baru saja selesai menyusun rencana. Tidak ada ruang untuk kompromi. Edward harus membayar atas semua yang telah ia lakukan. Tidak ada jalan keluar baginya.Bram akhirnya menekan tombol panggil di layar ponselnya, menghubungi Pak Adam—pengacara baru kepercayaan mereka di Sun City. Butuh beberapa saat sebelum suara

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Melindungi Maria

    Restoran itu tampak lengang malam ini. Hanya ada beberapa tamu yang duduk di sudut ruangan, menikmati hidangan mereka dengan percakapan ringan. Namun, di ruang privat yang terletak di bagian belakang restoran, suasana jauh berbeda. Tegang. Berat. Seolah udara di dalamnya mengandung listrik yang siap menyambar kapan saja.Davin duduk tegak di kursinya, ekspresinya dingin dan sulit dibaca. Matanya menatap tajam ke arah pria di depannya, Jackie—salah satu klien bisnis yang cukup berpengaruh. Sementara itu, Bram duduk di samping Davin, bersandar santai, tetapi sorot matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik lawan bicaranya.Jackie, pria berusia sekitar akhir empat puluhan dengan setelan jas mahal yang selalu tampak rapi, merasa sedikit gelisah. Biasanya, setiap pertemuannya dengan Davin selalu berjalan lancar, membahas proyek bisnis atau investasi. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam sikap Davin yang membuatnya merasa tidak nyaman.Jackie menyesap kopinya pelan, lalu menaruh cangki

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Keputusan

    Ting TongSuara bel apartemen berbunyi, memecah keheningan di depan apartemen Rania.Klik.Raka membuka pintu dan langsung memasang ekspresi dingin. Begitu melihat siapa yang datang, kebenciannya semakin membuncah. Edward. Pria yang telah menghancurkan hidup adiknya. Tidak ada sedikit pun belas kasihan di wajah Raka—hanya amarah yang siap meledak kapan saja.Di samping Edward, William berdiri dengan raut wajah serius. Sementara Edward sendiri tampak lemah, duduk di atas kursi roda. Wajahnya yang dulu tampan kini penuh luka lebam dan goresan. Kedua kakinya diperban, memperlihatkan betapa parah kondisinya."Mau ngapain kalian ke sini?" tanya Raka ketus, tatapannya penuh kebencian.William menarik napas dalam sebelum berbicara, "Tolong izinkan kami bertemu dengan Pak Davin."William yakin banget kedatangan mereka ke sini itu pasti akan sia-sia. Tidak mungkin mereka mau berbicara dari hati ke hati dengan begitu cepat pada Edward. Harusnya sang atasan tidak nekat untuk datang ke apartemen

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Permintaan

    Davin, Naura, Laura, dan Bram duduk di dalam kamar hotel yang ditempati Davin selama berada di London. Suasana kamar terasa hening dan tegang. Hanya suara detak jam yang terdengar samar, berpadu dengan suara lalu lintas dari luar jendela yang tertutup rapat. Keempatnya sama-sama diliputi kegelisahan. Mereka tahu, keputusan yang akan diambil hari ini akan menentukan masa depan Rania.Davin duduk di sofa dengan ekspresi serius. Wajahnya terlihat sangat lelah, mungkin karena stres yang terus menggerogoti pikirannya sejak kejadian yang menimpa putrinya. Naura duduk di sebelahnya, menggenggam tangan suaminya dengan erat. Sementara itu, Laura duduk di seberang mereka dengan tatapan sendu, sedangkan Bram berdiri dengan tangan bersedekap, menunjukkan sikapnya yang penuh ketegasan.Naura akhirnya memecah keheningan. "Maksud kamu apa, Sayang?" tanyanya, suaranya bergetar. Matanya menatap Davin, mencari kepastian dalam sorot mata suaminya.Davin mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, seol

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-23
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Dendam

    "Jangan bercanda, Sayang! Anak kita sudah jadi korban, tapi sekarang kamu minta aku untuk tidak menuntut Maria? Kamu minta aku untuk tidak melakukan hal yang sama kepadanya? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana luka batin yang dialami anak kita?" tanya Davin dengan suara bergetar, penuh emosi.Matanya yang semula tajam kini semakin memerah, bukan hanya karena kemarahan yang membakar dadanya, tetapi juga karena perasaan tidak terima yang sulit ia kendalikan. Kedua tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya berat, naik turun, menunjukkan betapa besar usahanya untuk tetap mengendalikan emosinya.Ruangan tempat mereka berada terasa sunyi. Udara di sekitar seperti menegang, seakan menyerap setiap amarah yang tengah membara di dalam hati Davin. Cahaya lampu di dalam kamar hotel yang biasanya terasa hangat kini justru terasa menyilaukan, menambah tekanan yang semakin menusuk ke dalam batinnya.Naura berdiri di hadapan suaminya, berusaha tetap tegar meskipun hati

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-23
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Ingin Bicara

    "Ngapain kamu datang ke sini, hah?" tanya Davin pada Edward dan William.Wajah Davin mengeras, rahangnya menegang begitu melihat dua pria itu berdiri di depan pintu kamarnya. Matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa ia sembunyikan. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, seakan menahan dorongan untuk menghajar Edward sekali lagi. Udara di dalam kamar terasa lebih panas, bukan karena suhu ruangan, tapi karena ketegangan yang semakin menyesakkan.Edward yang duduk di kursi roda tampak lemah dan tak berdaya. Wajahnya masih penuh luka lebam, dan bibirnya yang sobek kini kembali mengeluarkan darah. Namun, ia sama sekali tidak berusaha menyekanya. Napasnya terdengar berat, seakan setiap tarikan udara yang masuk ke paru-parunya terasa menyakitkan. Meskipun tubuhnya tampak ringkih, ada keteguhan dalam sorot matanya—sebuah tekad untuk berbicara, walaupun ia tahu bahwa kemungkinan besar kata-katanya tidak akan didengarkan.William berdiri di belakang Edward dengan raut wajah cemas.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-23

บทล่าสุด

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Happy Ending

    Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Baby Twins

    Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Darurat

    "Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Janji sang Nenek

    Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Meminta Restu

    Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Birthday Angel

    Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Butik

    Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Menang Taruhan

    Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Kado Spesial

    Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status