"Ada apa?" tanya Penelope pada salah satu sahabat baiknya."Aku mau kamu memberikan kabar baik untukku," ucapnya sekali lagi, penuh penekanan, menatap pria yang duduk di hadapannya."Tentu saja ini kabar baik! Kalau bukan kabar baik, mana mungkin aku mau menghubungimu? Aku tahu kau sekarang adalah perempuan yang sangat sibuk," jawab pria itu bergurau sambil tersenyum ke arah Penelope.Penelope mengangguk lalu bertanya, "Cepat katakan, informasi apa yang kau bawa?"Pria di hadapannya menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Jackson sudah mau bertemu denganmu nanti malam di hotel bintang lima. Dia akan mewujudkan impianmu, dan aku yakin sebentar lagi tempat hiburan malam yang kau impikan selama ini akan segera terwujud," ucapnya penuh keyakinan, seolah berita yang ia bawa adalah kabar paling membahagiakan untuk Penelope."Kamu serius? Dia sudah mau menemuiku?" tanyanya memastikan."Seriuslah! Dia sudah datang ke kota ini. Temui dia nanti malam, berpenampilanlah yang seksi. Kalau misal
Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh ketika Davin akhirnya keluar dari kamar anak-anaknya setelah memastikan si kembar tidur dengan nyenyak. Ia menutup pintu kamar mereka dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan buah hatinya yang baru saja terlelap.Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju kamarnya sendiri, siap untuk beristirahat bersama Naura. Hari ini terasa panjang, dan tubuhnya mulai menuntut istirahat. Namun, sebelum sempat membuka pintu kamar, suara dering telepon menghentikan langkahnya.Davin merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Dahinya sedikit berkerut. Panggilan dari nomor asing di jam segini biasanya bukan kabar baik.Ia menjawab telepon dengan suara tenang, "Halo.""Pak Davin?" Suara berat dan tegas terdengar dari seberang."Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?""Ini Inspektur Mark, Pak. Saya menghubungi Anda mengenai kasus Bryan."Davin langsung tegak di tempatnya. Nama itu membawa kem
Jackson melumat bibir Penelope. Pria itu tanpa ragu memperdalam ciumannya. Siapa sih yang nggak tertarik dengan wanita cantik dan seksi yang terkenal dengan julukan janda hot. Jackson sudah mendengar banyak tentang Penelope. Dan dia pun bekerja untuk wanita ini tidak ingin tidak mendapatkan hasil apapun. “Dadamu sangat menggodaku, Penelope,” bisik Jackson setelah ciuman mereka terlepas dan meraup oksigen sebanyak mungkin. Sebagai wanita dewasa yang sudah tidak memiliki suami, tentu dia ingin bersentuhan dengan pria dewasa juga. Tapi untuk menjalin hubungan dengan brondong yang selama ini banyak mengejar-ngejarnya, Penelope tidak mau. Dia lebih baik menyerahkan dirinya untuk kepentingan bisnis. Penelope lelah hidup menjadi orang miskin. Dia ingin membuat keluarganya bangga kalau harta titipan mandi yang suaminya jatuh ke tangan yang tepat. Penelope berambisi untuk mengalahkan kepopuleran mendiang suaminya di kota ini.Wanita itu dengan nakal, naik ke atas pangkuan Jackson. “Aaah, ka
“Sepertinya temanku ada di sini, namanya Boy. Dia sangat berkuasa dalam bisnis gelap, bahkan hanya dalam waktu tiga bulan, dia sudah mulai bisa menguasai pasar. Hal itu terjadi karena dia punya keberanian untuk mengambil risiko. Kalau kamu bertemu orangnya, aku bisa menghubunginya sekarang," ucap Jackson pada Penelope.Orang ini hanya salah satu dari beberapa orang yang akan dihubungi oleh Jackson untuk mendongkrak popularitas Penelope. Jika usaha Penelope berhasil, tidak hanya perempuan itu yang sukses, tapi dirinya juga akan kecipratan kesuksesan. Tak ada yang gratis dalam setiap tindakan Jackson selama ini, bahkan tak pernah ada kata gagal dalam setiap langkahnya.Penelope mengangguk lalu menjawab, "Kalau memang dia ada di sini, bolehlah ditelepon. Siapa tahu bisa lebih akrab."Jackson pun mengangguk lalu segera menghubungi Boy, dan pria itu dengan senang hati akan segera datang. Dia meminta Jackson menunggu sepuluh menit saja.Apa pun yang diperintahkan oleh Jackson, tentu saja Bo
“Boy, boleh kami pergi duluan Kau pesan saja minuman semua aku yang akan membayarnya,” ucap Jackson menghentikan cumbuan Boy dengan salah satu wanita itu.“Kau mau kemana? Di sini saja,” ucapnya. Jackson menggeleng, “dia masih lugu,” jawabnya sambil melirik Penelope yang sudah setengah sadar akibat minuman keras yang diminum berlebihan.Boy terkekeh, “lanjutkan,” jawabnya.Jackson segera membawa Penelope ke sebuah hotel mewah yang sering ia datangi bersama para wanita penghibur. Meski Penelope sudah terlihat mabuk, namun wanita itu masih sadar kalau yang bersamanya saat ini adalah Jackson. Setelah melakukan check in, keduanya buru-buru masak ke dalam kamar. Tanpa ragu Jackson segera melepaskan pakaian yang dikenakan oleh Penelope.Pandangannya mulai berkabut saat melihat tubuh polos Penelope di depan matanya. Di balik gaun malam yang dikenakan oleh Penelope, tak ada pakaian dalam sama sekali yang dipakai oleh perempuan ini. Bahkan bagian bawahnya sudah dicukur habis bulunya, hingga
Setelah selesai melakukan peninjauan proyek, Davin mengajak semua timnya untuk makan siang bersama di restoran. Bukan hanya sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras mereka, tapi juga karena hari ini adalah hari yang istimewa—ulang tahun pernikahannya dengan Naura.Mereka memilih restoran mewah dengan suasana yang nyaman dan pelayanan eksklusif. Tim Abimanyu Group duduk di meja panjang, berbincang santai sambil menunggu pesanan mereka datang. Meskipun mereka masih dalam perjalanan dinas, suasana jauh lebih santai dibandingkan rapat atau pertemuan resmi.Naura duduk di sebelah Davin, seperti biasa. Ia tersenyum melihat suaminya tampak lebih rileks dibandingkan tadi pagi. Setelah serangkaian pembicaraan serius mengenai proyek hotel yang akan dibangun, kini mereka bisa menikmati waktu bersama dengan lebih santai.Setelah beberapa saat, makanan pun mulai dihidangkan. Semua menikmati hidangan sambil mengobrol ringan, membahas berbagai hal di luar pekerjaan. Suasana akrab membuat waktu tera
Davin menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya tidak lepas dari wajah istrinya. Senyum lembut menghiasi bibirnya, penuh dengan kasih sayang dan ketulusan. Hari ini adalah hari yang spesial—ulang tahun pernikahan mereka yang ke sekian. Sudah menjadi tradisi setiap tahunnya, Davin selalu memberikan satu janji kepada Naura, janji yang akan ia tepati tanpa syarat, apa pun permintaannya.Restoran tempat mereka berada memiliki suasana yang nyaman. Tidak ada dekorasi berlebihan, hanya kebersamaan yang hangat. Raka dan Rania duduk di sisi mereka, menikmati makanan sambil sesekali bercanda satu sama lain. Beberapa anggota tim Abimanyu Group juga ikut dalam makan siang ini, tetapi mereka sibuk dengan percakapan sendiri, memberi ruang bagi keluarga kecil ini untuk menikmati momen mereka.Davin menggenggam tangan Naura dengan lembut, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya dengan penuh perhatian. Ia bisa merasakan betapa tangan itu sedikit dingin, pertanda bahwa Naura sedang gugup."Katak
Suasana makan siang terasa hangat dan penuh canda tawa. Raka menyuap makanannya dengan santai sebelum akhirnya menoleh ke arah Bram dan bertanya, "Emangnya kamu sudah bosan belajar dari rumah?"Bram tertawa kecil melihat ekspresi keponakannya yang tampak bosan. "Hmmm, bener banget, Uncle. Aka bosan belajar dari rumah, tapi Aka dan Nia gak mau jauh dari Mommy," jawabnya polos.Naura tersenyum mendengar jawaban itu. Ia menatap kedua anaknya dengan penuh kasih sayang sebelum menggoda mereka, "Berarti kalian tidak ikhlas temenin Mommy di sini."Raka dan Rania spontan bangkit dari kursinya, lalu memeluk sang Mommy dengan erat. "Kami sayang banget sama Mommy! Pokoknya semuanya, Mommy yang utama!" ujar mereka serempak, lalu mencium pipi Naura secara bersamaan—Raka dari sisi kanan, Rania dari sisi kiri.Davin, yang sejak tadi menikmati kebersamaan mereka, langsung menggeleng sambil tertawa. "Udah, udah! Ih, kalian ganggu aja. Sana duduk di meja kalian! Daddy masih mau sayang-sayangan dengan i
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto