Dua jam berikutnya, makanan pun sudah siap tersaji di atas meja. Aroma masakan yang sedari tadi menguar dari dapur kini memenuhi seluruh ruangan, menciptakan suasana hangat di tengah rumah itu. Laura menepuk tangannya pelan, memastikan semua sudah tertata rapi sebelum akhirnya melangkah ke taman belakang, tempat putranya masih berada."Davin, Sayang, makan siangnya sudah siap. Coba kamu panggil Naura, biar Mama ke atas memberitahu Raka dan Rania," ucapnya lembut.Davin yang sejak tadi duduk termenung di bangku taman hanya mengangguk pelan. Wajahnya tampak letih, pikirannya masih terbayang perdebatan dengan sang istri beberapa waktu lalu."Iya, Ma," sahutnya singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya.Laura tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menepuk bahu putranya dengan lembut sebelum berbalik menuju lantai atas. Setibanya di lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Raka dan Rania, lalu membukanya pelan.Di dalam, kedua cucunya sedang duduk di tempat tidur masing-masing, a
Laura duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Matanya menatap Penelope yang duduk di seberangnya dengan senyum cerah. Wanita muda itu tampak begitu nyaman di rumah ini, seolah tempat ini adalah bagian dari dunianya."Tante, bagaimana kalau kita shopping sekarang? Biar Penelope yang traktir Tante hari ini," ucapnya riang setelah mereka duduk santai.Laura hanya tersenyum tipis. Sekilas, tawaran itu terdengar tulus, tetapi setelah kejadian makan siang tadi, pikirannya mulai dipenuhi dengan pertanyaan. Ini pertama kalinya dia melihat Penelope bersikap terlalu ‘perhatian’ pada keluarganya, terutama pada Davin dan anak-anaknya.Sementara itu, suara tawa samar terdengar dari ruang belajar. Laura tahu Davin sedang menemani kedua anaknya di sana, mungkin membantu mereka dengan tugas sekolah atau sekadar bercanda melepas penat.Laura mengalihkan pandangannya kembali pada Penelope. Ia harus segera mengambil sikap sebelum semuanya semakin tidak terkendali."Maaf ya, Penelope, sepertinya Tante t
"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—saya harus m
"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang
Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan. "Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggara
Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
Laura duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Matanya menatap Penelope yang duduk di seberangnya dengan senyum cerah. Wanita muda itu tampak begitu nyaman di rumah ini, seolah tempat ini adalah bagian dari dunianya."Tante, bagaimana kalau kita shopping sekarang? Biar Penelope yang traktir Tante hari ini," ucapnya riang setelah mereka duduk santai.Laura hanya tersenyum tipis. Sekilas, tawaran itu terdengar tulus, tetapi setelah kejadian makan siang tadi, pikirannya mulai dipenuhi dengan pertanyaan. Ini pertama kalinya dia melihat Penelope bersikap terlalu ‘perhatian’ pada keluarganya, terutama pada Davin dan anak-anaknya.Sementara itu, suara tawa samar terdengar dari ruang belajar. Laura tahu Davin sedang menemani kedua anaknya di sana, mungkin membantu mereka dengan tugas sekolah atau sekadar bercanda melepas penat.Laura mengalihkan pandangannya kembali pada Penelope. Ia harus segera mengambil sikap sebelum semuanya semakin tidak terkendali."Maaf ya, Penelope, sepertinya Tante t
Dua jam berikutnya, makanan pun sudah siap tersaji di atas meja. Aroma masakan yang sedari tadi menguar dari dapur kini memenuhi seluruh ruangan, menciptakan suasana hangat di tengah rumah itu. Laura menepuk tangannya pelan, memastikan semua sudah tertata rapi sebelum akhirnya melangkah ke taman belakang, tempat putranya masih berada."Davin, Sayang, makan siangnya sudah siap. Coba kamu panggil Naura, biar Mama ke atas memberitahu Raka dan Rania," ucapnya lembut.Davin yang sejak tadi duduk termenung di bangku taman hanya mengangguk pelan. Wajahnya tampak letih, pikirannya masih terbayang perdebatan dengan sang istri beberapa waktu lalu."Iya, Ma," sahutnya singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya.Laura tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menepuk bahu putranya dengan lembut sebelum berbalik menuju lantai atas. Setibanya di lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Raka dan Rania, lalu membukanya pelan.Di dalam, kedua cucunya sedang duduk di tempat tidur masing-masing, a
"Apa Naura cemburu dengan Penelope? Apa mungkin Penelope seperti itu?" tanya Laura dalam hati. Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana sikap Penelope selama ini. Setahunya, Penelope adalah anak baik, tidak mungkin berniat merusak hubungan orang lain, apalagi hubungan suami istri.Namun, ucapan Naura tadi terlihat kalau dia begitu terganggu dengan kehadiran Penelope. Jika benar ada sesuatu yang membuatnya cemburu, Laura ingin mengetahuinya sendiri. Ia ingin memastikan apakah perasaan Naura beralasan atau hanya sekadar kecurigaan tak berdasar."Aku harus membuktikannya," gumamnya dalam hati. Ia mengurungkan niatnya membawakan buah untuk Naura dan memilih kembali ke dapur bersama Penelope. Ia akan mengamati lebih dekat, mencari tahu apakah ada hal yang selama ini luput dari perhatiannya.Sementara itu, di taman belakang, Davin masih berusaha menenangkan Naura. Mereka berdiri di dekat bangku kayu panjang yang biasa digunakan untuk bersantai. Cahaya matahari yang mulai meredup tidak cukup unt
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda