"Aaaaa!" Zavier ikutan berteriak, dengan segera ia merangkak keluar. Diikuti Carissa, perempuan itu langsung merangkak ke luar juga. Tangannya sibuk menggosok-gosokkan jari-jemarinya ke jaket. Takut gatal.
Tak disangka, yang tadi ia pegang adalah ulat tak berbulu. Ulat yang biasanya menempel pada sebuah tempat, seperti pohon atau sisi-sisi tembok. Dan sekarang, Carissa merasakannya kenyalnya benda menjijikan itu. Sialnya pula ia malah melempar ulat tersebut ke Zavier, membuat pria itu langsung ketakutan dan berteriak. "Lain kali jangan asal lempar barang ke orang lain." Zavier bersuara, dia membuka tudung hoodienya hingga menampakkan wajah. Pria itu mengusap-usap tengkuknya, takut ada ulat di sana. Carissa menoleh, preman itu takut kepada ulat? Yang benar saja? "Aku kira laki-laki berotot sepertimu tidak takut, eh, taunya badan aja yang besar, nyalinya malah menciut." Jawaban Carissa berhasil membuat Zavier menatapnya tajam. "Eh, maksudku setiap manusia ketakutan. Aku juga besar, tapi takut," ucapnya mengalihkan perhatian. Melihat tatapan tajam Zavier benar-benar membuatnya takut. Takut apabila di apa-apakan. Tanpa menjawab Zavier melangkah pergi, diikuti Carissa dari belakang. "Kenapa kau mengikutiku?" tanya Zavier setelah sadar bahwa Carissa mengikutinya. Carissa mematung, tersadar pula kenapa ia jadi mengikuti pria itu? "Pergi sana!" ucapnya datar. Carissa mencebik, ia bisa saja pergi, tapi ia juga terlanjur sudah mengikuti pria itu sampai sejauh ini, menjadikan ia tak tau jalan pulang. Tapi, karena gengsi untuk mengatakan bahwa ia tak tau jalan, Carissa langsung berkata. "Sepatu dan koperku kau buang. Bagaimana mungkin aku tidak menagih?" "Hah?" Melihat ketidak percayaan Zavier membuat Carissa memiliki ide. "Kau tadi yang menarikku, kan? Terus melemparkan sepatuku ke tempat lain. Dan koperku, kau tinggalkan begitu saja. Lalu, sekarang ... kau kira aku akan diam saja? Aku minta pertanggung jawaban!" Tak peduli pada wajah datar itu, yang penting ia bisa kembali ke tempat asalnya ia meninggalkan koper, berharap bahwa laki-laki itu mengantarkannya kembali ke sana. Namun, jawaban dari bibir Zavier mampu membuat Carissa bungkam. "Kau tak usah khawatir, aku akan menggantikannya dengan yang baru." Zavier melangkah pergi, namun dengan sigap Carissa menahannya. "Aku maunya sekarang!" ucap Carissa tegas. Enak saja di tinggal pergi, kalau begitu bagaiamana ia akan hidup untuk sekarang dan masa yang akan datang. "Ck! Kan sudah kubilang, nanti aku ganti!""Terus?""Kau ikut denganku!" jawab Zavier dengan enteng. "Tidak!" Carissa melepaskan cekalan tangannya. Apa-apaan coba maksudnya? Zavier menutup terlebih dahulu kepalanya dengan tudung hoodie. Dia melirik. "Kau butuh maka datangi, kalau tidak pergi saja sana." Enteng Zavier berucap, pria itu langsung melenggang pergi meninggalkan Carissa yang terdiam bisu. Tidak ada pilihan lain, membuat Carissa mengikuti pria itu. "Kau akan menggantikannya kan?" tanya Carissa untuk sekian kali. Sebenarnya ia benar-benar takut pada preman ini, tapi bisakah untuk sekali ini ia mempercayai akan ucapannya? Bahwa sebenarnya preman ini baik? "Iya. Kau tak usah khawatir," jawabnya tenang. Carissa terdiam, ia hanya meremas ujung pakaiannya. Memikirkan apakah ia telah salah dalam memilih? Tapi pulang sendirian dengan keadaan seperti ini pun sama saja. Tidak ada bedanya. Pada akhirnya Carissa hanya bisa berdoa akan keselamatan dirinya sendiri. Semoga ia tak di apa-apakan oleh preman itu. **Dalam gelapnya malam Carissa terus mengekori Zavier yang entah akan dibawa ke mana. Kakinya yang tak memakai sepatu sudah merasakan sakit luar biasa. Bahkan bibirnya tak sesekali mengeluarkan ringisan kecil. Di sebuah persimpangan, Carissa melihat Zavier berhenti dari langkahnya, membuat Carissa ikut berhenti dari langkah. "Ada apa?" tanya Carissa. Zavier terdiam, dia hanya melirik sekilas kemudian mengeluarkan sebuah masker di dalam saku hoodienya. Pria itu menutup mulut serta hidung dengan masker tersebut, kemudian berjalan kembali dengan tatapan mencurigakan. Saat hendak melangkah Zavier tiba-tiba menarik Carissa ke suatu tembok. "Kau?!""Diamlah! Mereka ada!" ucap Zavier menyembunyikan wajahnya pada sisi telinga kanan Carissa. Pria itu tampak mengukungnya tapi juga tidak. "Apa kau sudah menjadi buronan polisi selama ini?" Dalam keadaan tubuh bagaikan patung, Carissa bertanya demikian. Jarak yang dekat seperti ini membuatnya harus menahan napas.Carissa menggigit bibir bawahnya saat tak ada tanggapan dari sang empu. Sampai ketika Zavier menarik kembali dirinya, Carissa menghirup udara dalam-dalam. Napasnya mendadak tercekat, jantungnya berpacu amat cepat. Seumur-umur baru kali ini ia begitu dekat dengan seorang laki-laki. Selama ini kebanyakan mereka menjauhi dirinya karena fisik. Zavier mengerlingkan matanya lebih dahulu, menatap barangkali ada orang yang tampak mencurigainya. Namun tatapannya berhenti saat tak sengaja melihat kaki Carissa. Perempuan itu tak memakai alas kaki apapun. Melihat ada sebuah warung kecil membuat Zavier melangkah ke sana, sedang Carissa yang melihat itu terheran-heran. Tak ingin peduli Carissa hanya diam melihat ke arah Zavier. Sampai saat pria itu kembali datang dia tiba-tiba berjongkok di depan Carissa. Refleks Carissa memundurkan langkahnya. "Pakai ini, kakimu terluka," ucapnya sembari menyimpan sandal tersebut di depan Carissa. Terkejut? Tentu saja. Apa yang dilakukan Zavier barusan membuat Carissa menelan salivanya pelan. Pria itu kembali berdiri, sedang Carissa mulai diam-diam memakai sandal tersebut. Tak disangka, sandal itu pas dikakinya. Padahal kakinya besar, tapi pria itu seakan sudah tau ukurannya. "Te--terima kasih," ucap Carissa sedikit terbata-bata. Perempuan itu diam-diam melirik Zavier yang kini menatap ke arah lain. "Sudah malam, sebaiknya kita cepat pergi dari sini," ucap Zavier sebelum kemudian melenggang pergi. Tanpa banyak tanya Carissa mengangguk, mengikuti kembali ke mana pria itu pergi. **"Aku tak percaya ini! Kau ... kau mencuri rumah sebesar ini?" tanya Carissa tidak percaya. Dia menatap bangunan rumah yang cukup besar untuk dikatakan milik sendiri. Mengingat akan siapa pria itu membuat Carissa menggeleng takut.Tidak percaya, pria itu mengajaknya ke tempat persembunyian yang selama ini menjadi rahasianya. Tempat persembunyian dari kejaran para polisi dan orang-orang. Pantas mereka selalu mengincar preman satu ini. Ternyata oh ternyata, kejahatannya sebesar ini? Mendengar sebuah tawa membuat Carissa menoleh. "Memangnya, apa yang yang kau pikirkan selama ini tentangku?" tanya Zavier enteng. Pria itu bersikap biasa saja, berbeda dengan Carissa yang mulai menyesali keputusannya dalam mengikuti pria itu. Menyebalkan! Apa ia sekarang akan menjadi buronan mereka juga? Mengingat bahwa tadi ia berlari dengan Zavier tak menjadikan mereka curiga bahwa dirinya termasuk ke dalam komplotan kejahatan. Komplotan kejahatan yang harus dibasmi dari kota ini. Sial! Sekarang ia kena jebak juga dari preman ini! Tidak! Hidupnya sudah hancur, sekarang tidak ingin hancur hanya karena salah tanggap seperti ini. Apalagi dikira pencuri pada hal yang tidak pernah ia lakukan. "Apa yang kau pikirkan? Kau tidak ingin masuk?" tanya Zavier membuyarkan lamunan Carissa. Pria itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Carissa yang kini tengah mematung."Aku tidak mau masuk!" teriak Carissa di belakang, sedang Zavier langsung berhenti dari langkahnya. "Penjahat sepertimu seharusnya masuk ke dalam penjara! Bukan masuk ke tempat haram hasil curian!" Napas Carissa menggebu, keringat dipelipisnya berjatuhan seiring rasa takut yang mulai hinggap. Ya, sebenarnya Carissa takut mengatakan hal tersebut, mengingat bahwa Zavier adalah seorang pria tak memungkinkan pria itu akan membalasnya. Dengan kata lain ... nyawa Carissa hari ini sedang terancam! Zavier membalikkan badannya. Untuk sekian kali, jantung Carissa berdetak lebih cepat. Tatapan mata itu, menusuk langsung ke relung hatinya. 'Aku harus lari dari sini! Ya, aku harus bisa kabur dari penjahat seperti Zavier!' ucap Carissa masih mematung. Kini nyalinya sedang bertaruh antara dikejar balik atau ditangkap! Tidak! Ia harus bisa selamat dari preman itu! Dalam hitungan mundur Carissa akan berlari. Berlari menuju kantor polisi, dan mengatakan kepada mereka bahwa ia tahu tempat persembunyian penjahatan yang selama ini mereka incar. Ia harus benar-benar bisa kabur dari sini! Dan tiga ... Ia sudah menghitung mundur. Dua ... Jantung Carissa kian berdetak. Berharap setelah hitungan ke satu pria itu tidak melakukan apapun! Sat ... "Tuan ...? Ya ampun ... tuan Zavier ke mana aja?" Sebuah seruan dari seorang wanita membuyarkan hitungan mundur yang dilakukan Carissa. Perempuan itu berkedip untuk beberapa saat saat wanita yang tadi berteriak menuju Zavier. "Akhirnya Tuan pulang juga. Apa tuan enggak tau kalau Nyonya dan Tuan besar terus mencari-cari Tuan? Ya ampun ...."Tunggu. Nyonya? Tuan besar?"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?""Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. "Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. "Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. "Bu
Malu sudah muka Carissa saat ini. Astaga ... jantungnya lagi-lagi berdegup sangat kencang. "Kau duluan saja," ucapnya membuat Carissa melirik, sekilas. Ia menghembuskan napas terlebih dahulu, mendadak tenggorokannya kering saja. "Maaf." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Carissa. Carissa memalingkan muka. Mengingat akan sikapnya yang sedikit keterlaluan membuat ia benar-benar malu. Apalagi sekarang di hadapkan dengan sosok yang asli, jauh dari kepura-puraan membuat ia semakin canggung saja. Selain merasa bersalah, ia juga merasa insecure pada pria di depannya ini. Zavier pria yang sangat tampan, tubuhnya ideal untuk kalangan laki-laki yang memiliki porsi amat menawan. Alisnya tebal, matanya lentik, hidung mancung, bibir tipis, ah, jangan lupakan pada lengannya yang kekar, sungguh! Terlihat seksi secara bersamaan. Sekarang Carissa benar-benar menyesal telah berhadapan dengan pria itu. Harusnya ia pergi saja saat itu daripada tahu yang sebenarnya, yang mana ia sadar kalau i
"Lagipula identitas apa yang kau maksud? Aku bahkan tidak tau siapa kamu." Carissa menormalkan emosinya yang tadi naik beberapa detik. "Jadi, apa yang bisa aku bocorkan?" tanyanya lagi. "Apa Bibi tidak memberitahumu?" Carissa menggeleng. "Bibi hanya mengatakan kalau kau bukan preman, itu saja. Aku salah paham terhadap itu."Zavier terdiam. Sesekali ia menghembuskan napas pelan. "Baiklah, ternyata aku juga telah salah paham," ucapnya. Kemudian dia melanjutkan, "untuk sepatu serta kopermu yang tertinggal ... nanti aku akan mencarinya lebih dahulu. Tapi jika kau ingin yang baru, nanti akan aku ganti.""Banyak kenangan di dalamnya, dan aku tidak ingin kehilangan kenangan tersebut." Walau perkataan Zavier meyakinkan tapi ... koper itu benar-benar sangat berharga untuknya. Di dalam koper tersebut terselip kertas yang kemarin Bianca berikan. Di mana nama panti yang sekaligus tempat dirinya berasal. Ya, kertas tersebut akan menunjukkan nama panti serta alamat panti tersebut. Dengan kata l
"Mas, apa yang Mas lakukan pada Carissa? Kau menganggapnya sudah mati?" ujar Ilma setengah marah. "apa Mas tidak tau apa yang telah kamu perbuat dengan mengusir Carissa?""Itu sudah menjadi keputusanku, Ilma," jawab Fathur tanpa melihat raut geram Ilma. Ia tahu bahwa Ilma kecewa padanya tapi apa yang bisa ia lakukan selain memasrahkan segalanya? Ia juga tak punya pilihan lain. Sebuah kejadian yang tiba-tiba itu membuat Fathur menyesal. Bukan, bukan menyesal atas perkataan yang telah ia lontarkan melainkan menyesal kenapa harus sekarang kejadian ini terjadi? Kenapa saat ia ingin benar-benar melepaskan Carissa dengan cara menikahkannya justru terjadi hal yang tidak ia inginkan? "Tapi kenapa Mas? Apa Mas mau ingkar janji? Begitu?" Nada Ilma sedikit naik membuat Fathur terdiam sesaat. "Dia bukan anakku," ucap Fathur dengan nada lirih. "Justru karena dia bukan anak kita kenapa Mas melakukan ini tanpa pikir panjang ha? Gimana kalau---""Mas tidak punya pilihan Ilma. Mas bingung dihadapka
"Lelaki mana yang mau dengan perempuan gendut coba? Setiap laki-laki pasti akan malu punya istri seperti itu. Gak kebayang pas malam pertama, belum dicoba udah roboh tuh ranjang.""Minimal cantik lah, jadi gendutnya ketutup sama kecantikan. Lah ini? Udah gendut, udik lagi!"Carissa menatap dirinya di depan pantulan cermin. Putaran dari setiap hinaan itu bagaikan kaset rusak yang memenuhi otaknya, terus berputar tanpa henti. Sakit dan sesak sudah menjadi makanan setiap hari. Jika dikata kuat? Tidak. Ia sudah lelah dengan semuanya. Hanya saja selama ini ia kuat karena kedua orangtuanya. Karena mereka ... ia kuat seiring kaki itu melangkah. Namun, kenyataan itu lagi-lagi harus terhempas jauh-jauh. Dirinya ... jatuh kembali. Sosok penguat dalam hidupnya tak lagi bersamanya. Sang Ayah dan Ibu ... mereka bukanlah penguat dirinya. Mereka ... bukan orang tua kandung atas dirinya. "Apa aku sejelek itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Carissa semakin menatap lekat dirinya. Padahal pagi ini
"Adik?" Zavier mengangguk. "Terlalu fokus di dunia intertaiment membuatku melupakan adikku. Melupakan segala hal, sampai saat aku sadar atas semuanya ... aku ingin melepaskan apa-apa yang ada."Zavier Abizar Osean, seorang aktris di dunia intertaiment yang berhasil melepaskan karirnya. Ya, dia adalah aktor dengan sejuta bakat. Siapa yang mengira kalau preman yang sering meresahkan ini ternyata seorang Aktris terkenal? Yang mana amat di pandang oleh masyarakat? Amat dikagum dan dipuja oleh kaum-kaum muda? Lantas kenapa dia tiba-tiba berubah tampak seperti preman? Atau mungkin seperti seorang gelandangan dengan baju yang lusuh nan kotor? Carissa ingat pada foto yang sempat ia lihat. Di dalamnya ada Zavier, Ayahnya, dan Ibunya. Ah, ada satu lagi pria, mungkin itu adalah kakeknya. Kenapa Carissa bisa tahu? Karena keluarga Osean saat itu sedang naik daun, menjadikan keluarga tersebut benar-benar amat dikenal dan dihormati. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara menjadi alasan orang-
Zavier melepaskan cekalan tangannya pada Carissa. Pria itu dengan refleks menyimpan telapak tangannya di kening Carissa, membuat sang empu menatap heran Zavier. "Apa yang kau lakukan?" tanya Carissa di tengah keadaan resah begini. Zavier, bukannya membantu pria itu malah menyimpan telapak tangannya di kening Carissa. "Aku takut otakmu koslet, jadinya memastikan---Aw!" Zavier meringis saat Carissa menginjak sandalnya, mana sakit lagi. "Kau kira aku tidak waras?" tanya Carissa dengan napas memburu. Padahal ia sudah mengatakan apa maksudnya, tapi pria itu... "Heh, yang kau bicarakan itu ngelantur! Bisa-bisanya kau melupakan orangtua mu," ucap Zavier. "Orang tua yang mana? Orang tua yang mengumumkan kalau aku udah mati, iya?" Zavier terdiam, mendengar Carissa tampak emosional membuat bibirnya tak berani berkata. "Dia bukan orang tuaku! Mereka ... hanya keluarga baik yang rela menampung anak seperti diriku ....""Kejadian kemarin yang terjadi ... itu dilakukan oleh adikku sendiri. Di
"Ya ... gak gitu juga konsepnya, Zav." Carissa menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mendengar penuturan tersebut membuatnya menggelengkan kepala. Menjadi gelandangan? Yang benar saja! "Tapi itu satu-satunya cara agar kita bisa menemukannya kembali," ucap Zavier. Carissa terdiam sejenak, menghiraukan ucapan Zavier yang malah membuatnya pusing saja. Bukan apa-apa, tapi ... jika konsepnya begini ya mana mau ia? Masa harus benar-benar menjadi gelandangan? Sudah fisiknya yang serba kurang, masa ditambah dengan hal beginian? Tidak, tidak! Membayangkannya saja sudah membuat Carissa akan menangis. Sebegitu menderitanya kah ia dalam menjalani hidup? Sampai-sampai dunia benar-benar membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya! "Menurutku ... kau tidak usah membantuku dalam hal ini," ucap Carissa setelah selain menit terdiam. "aku tidak ingin kau kena masalah lain nantinya."Dahi Zavier mengerut. "jangan anggap aku membantumu, tapi anggap aku yang bertanggung jawab karena sudah menghilangkannya!" Tau
“Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per
“Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan
"Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri
"Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat
Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser
Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend
“A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca