Tuk! "Aw!" Carissa meringis kala Zavier dengan tiba-tiba menyentil keningnya. Perempuan itu menyentuh keningnya. "Kau mau buat wajahku sehitam kayak gimana lagi? Sedari tadi kau terus saja memberikan arang padaku!" Eh? Refleks Carissa tersadar dari apa yang telah ia lakukan pada Zavier. Terkejut muka Carissa saat mendapati wajah hitam diwajah Zavier. Benar saja perkataan pria itu, bahwa dirinya telah memperburuk wajah Zavier yang sebelumnya tampan. Bukannya minta maaf Carissa malah tertawa ngakak. "Wajahmu?" tanyanya tertawa lepas. Carissa benar-benar tak percaya ini. Yang ia lihat ini bukan Zavier, melainkan sosok manusia menyeramkan yang tampak seperti hantu saja. Yang terlihat hanyalah mata dan gigi putihnya. "Ish! Kau---""Maaf, aku benar-benar gak sengaja." Akhirnya Carissa berkata demikian. Melihat raut kekesalan Zavier membuat perasaan bersalah itu hadir. "Ck!" Zavier memutar matanya malas. Tanpa aba-aba ia mengambil sebuah kain yang ada di saku celananya. "bersihkan!"
Zavier kembali dengan dua botol minum ditangannya. Pria itu berinisiatif membeli minuman untuk dirinya dan Carissa. Namun, matanya mengerut karena tak mendapati Carissa ada di sini, ke mana dia? Zavier ingat bahwa Carissa duduk di gubuk ini, hal itu pula membuat Zavier tak khawatir apabila ia meninggalkan Carissa seorang diri, karena kebetulan ia pergi hanya untuk membeli minum. Tapi, saat ia kembali kenapa dirinya tak mendapati Carissa? Zavier menelusurkan bola matanya ke sekeliling, namun tak ia dapati Carissa. "Apa jangan-jangan dia pergi sendiri?" gumam Zavier menyimpan terlebih dahulu dua botol minum di dekat gubuk, pria itu kembali melirik sana-sini. "Atau aku tunggu saja di sini sampai dia datang sendiri?" tanyanya pada dirinya sendiri. Perasaannya semakin tidak enak saja, tapi juga ia tak punya pilihan lain selain berdiam diri terlebih dahulu. Karena tak kunjung datang Zavier memilih untuk tidur saja, lumayan, semalam ia kurang tidur jadi agaknya akan terasa nyaman apabil
Zavier menepuk jidatnya sendiri, masih mencerna atas ucapan Carissa padanya. "Zav, bantuin ya?""Apa kau tidak waras? Kau meminta buat langsing padaku? Yang benar saja!" Zavier menggeleng. "apa otakmu bergeser setelah keluar dari dalam toilet? Atau jangan-jangan otakmu terbawa arus bersamaan warna kuning---"Carissa melotot, perempuan itu mencubit punggung tangan Zavier, membuat bibir itu langsung terkatup. "Zav, kemarin kamu sempet nanya, apa aku gak mau balas dendam sama pria yang sudah menghancurkan hidupku? Kamu bahkan bilang bakal mau membantuku.""Kapan?""Tadi.""Aku tak pernah menawarkan," ucap Zavier keukeuh. "Dih lupa, kamu sendiri yang bilang itu kemarin.""Kau tidak pandai berbohong!" Zavier berdecak, apa-apaan perempuan itu, bilangnya tadi, lah kenapa jadi kemarin? "Aku tidak berbohong!" jawab Carissa tegas. Zavier menghembuskan napas gusar. Untuk hari ini niat baiknya benar-benar diuji! "Ayolah, Zav. Bantuin ya?" Carissa memegang lengan Zavier, memohon penuh agar p
"Zav, gimana? Apa berat badanku sudah turun?" tanya Carissa sembari menilik-nilik tubuhnya. "Ck! Yang benar saja? Hanya melakukan sekali tak memungkinkan langsung berubah jadi langsing Risa ...." "Kenapa? Kamu bilang tadi katanya lari di sore hari itu nurunin berat badan?""Memang, tapi gak harus sekali jadi, apa-apa juga kan butuh kesabaran dulu, jadi ... buat kamu yang kepengen turun berat badan, ya harus bersabar. Katanya orang sabar itu disayang Tuhan, nah kalo udah sayang kan bisa tuh minta doa?"Carissa tampak cemberut, bukan pada perkataan Zavier yang berhasil menyinggung dirinya melainkan pada pakaian yang dikenakan Carissa masih belum longgar. Huh, ternyata ucapan Zavier justru ada benarnya kalau dirinya harus bersabar lebih dahulu. Sekarang keduanya tengah duduk yang entah di mana. Yang jelas tempat itu kosong, tak ada orang yang berlaku atau melintas. Apalagi untuk kendaraan beroda empat dan dua, tidak ada sama sekali. Setelah tadi habis berlarian membuat keduanya beris
"Sialan!" teriak Arkan murka. Pria itu merasa tidak terima atas pukulan yang ia dapat dari laki-laki rendahan seperti Zavier, membuat pria itu hendak membalas pukulan Zavier, namun sebelum itu. "Udah, Ar! Berurusan dengan mereka hanya akan membuat mereka semakin gila." Wanita yang tadi bersama Arkan langsung menahan gerakan pria itu. "Tapi, San?""Udah, biarin aja! Lebih baik kita pergi daripada terjadi masalah lain," bisiknya membuat Arkan pada akhirnya menurut. Pria itu menatap tajam Zavier. "Kenapa, heh? Kau takut padanya?" tanya Carissa tertawa mengejek. "Dasar pria m****m!" Arkan mengeraskan rahangnya. Pria itu menatap tajam pula Carissa. Merasa benar-benar direndahkan membuat Arkan mengepalkan tangannya. "Ingat ini, Arkan! Apa yang barusan kamu lakukan akan aku laporkan pada Bianca! Biar dia tau bahwa ternyata pria yang dia cintai justru melakukan---""Siapa yang akan mengira kalau dia akan tau? Hah, wanita b0doh itu justru akan berlutut di bawah kakiku saking takutnya kehi
“Harusnya kamu bilang sama aku, Zav! Kenapa malah sembunyiin semuanya sendirian? Apa kau tidak mengerti kalau aku khawatir?”“Kak, bukan begitu. Tapi—-”“Lihat keadaanmu sekarang, aktris papan atas yang terkenal diberbagai televisi seorang gelandangan?” Dia Alan, tertawa lucu walau sebenarnya tidak lucu. “dan apa ini?” Alan menyentuh kalung rantai yang dikenakan Zavier, pria itu menariknya dari kaos yang dikenakan Zavier. “ kau seorang gelandangan apa preman?”“Kau tau artinya sedang trend? Nah, preman berkedok gelandangan ini sedang naik daun, jadi wajar saja aku melakukan cara begini.” Ucapan Zavier mendapat gelengan dari Alan. Tampak raut tidak percaya pada majikannya ini. “Bukan begitu Zavier … tapi yang kamu lakukan ini membuat semua orang merasa gempar, kau tidak tau kan apa yang telah terjadi 2 tahun setelah kepergianmu yang memilih pergi dari rumah?”“Aku tidak perlu tau dan tidak ingin tau!” ucap Zavier dengan cepat. Baginya semuanya hanyalah kemuakan! Ia sudah muak atas apa
“Apapun yang berkaitan dengan Winda dan putrinya, tutup semua kasus itu! Yang mati biarkan hidup tenang di sana, kita tidak perlu mengungkit permasalahan yang sudah berlalu.” “Kematian Winda berada di rumah sakit jiwa, dan itu membuktikan bahwa dia mati saat kondisinya tidak baik-baik saja. Wajar, karena kecelakaan yang terjadi membuat otaknya bergeser, menjadikan Winda setengah gangguan jiwa.”Ucapan tersebut terdengar kepada Zavier yang hendak masuk ke ruangan sang Ayah. Mendengar nama Ibunya disebut membuat Zavier mengurungkan niat untuk menyapa. Pria itu mendekatkan diri ke pintu, mendengar setiap ucapan yang didengar. “Ya, gunakan kata-kataku tersebut sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar sudah mati. Aku tidak ingin ada seorang pun yang tau kalau sebenarnya mereka masih hidup.”Ucapan Zayn berikutnya berhasil membuat Zavier mematung di tempat, benar-benar mematung! Pria itu sedikit memundurkan langkah, niat hati yang ingin berbincang dengan sang Ayah berubah menjadi rasa kes
Bukannya marah Alan malah semakin menggoda Zavier. Ah, pria itu sama seperti dulu, jika cinta tidak pernah bisa jujur. “Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda. Sekarang katakan lagi, apa yang kalian lakukan malam-malam begini di penginapan? Apa ….” Lagi-lagi Alan membawa pikiran Zavier ikut negatif, membuat Zavier sudah bersiap meninju perut Alan. “Apa kalian tidak punya rumah?” Alan seakan tau arti tatapan tajam Zavier. Pria itu sedikitnya tidak bisa disinggung, untuk itu ia harus hati-hati dalam berkata. “Aku tidak semiskin itu untuk tidak mempunyai rumah,” jawabnya setengah membanggakan diri. “Sombongg …” seru Alan dengan nada jengah. Zavier kalau sudah besar kepala pasti membuat Alan mual. Tapi tidak juga, sebenarnya Zavier tidak suka membanggakan dirinya, atau berbangga diri atas apa yang dia capai. Zavier itu … sedikit berbeda dari yang lain. Sedikit. Zavier tersenyum bangga. “tentu saja, sebuah pencapaian patut disombongkan!”Alan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Baikla
“Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per
“Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan
"Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri
"Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat
Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser
Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend
“A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca