Orang-orang sering mengatainya dengan nama itik buruk rupa. Si gendut bermata empat. Hinaan bahkan seringkali didengar setiap hari, entah karena badannya, sikapnya atau kebiasaannya.
Carissa sadar atas semuanya. Ia memang perempuan yang tak menarik di mata laki-laki. Atau bahkan di mata orang lain. Walau dirinya berpendidikan tapi ia punya kekurangan. Kekurangan itulah yang menutup mata orang-orang dalam melihat hati Carissa yang sebenarnya. Diusianya yang sudah menginjak 25 tahun ia belum menikah. Fathur-Ayahnya sering kali membantu Carissa dalam mencari pasangan hidup. Sudah banyak perjodohan yang dilakukan Carissa dengan calon pria, namun tak ada satupun yang mau dengan dirinya. Awalnya setiap pria menerimanya, tapi di belakang mereka diam-diam menghina fisiknya, berakhir pergi tak ada kabar. Perjodohan itu seringkali Fathur lakukan, tapi juga seringkali sang calon menolak secara baik-baik.Terakhir kali, Fathur membawa pria bernama Arkan. Pria itu baik, senyumnya manis, berpendidikan dan jelas asal-usulnya. Fathur suka kepada pria itu, selain baik pria itu juga anak dari sahabatnya, menjadikan Fathur menjodohkan antara Arkan dan Carissa. Bagi Carissa pilihan Ayahnya adalah yang terbaik, jadi ia akan menerima dengan siapa-siapa saja pria manapun itu. Asalkan pria itu bawaan dari Ayahnya maka Carissa akan menerimanya. Namun, satu hal yang tidak Arkan tau saat itu. Bahwa yang dijodohkan bukanlah dengan Bianca, melainkan Carissa. Hal itu jelas membawa perubahan untuk Arkan, pria itu menolak tegas perjodohan setelah tahu siapa wanita yang akan ia nikahi. Pernikahan hendak dilakukan, namun tanpa Carissa sedari dirinya malah dijebak. Entah bagaimana awal mulanya, Carissa tidak ingat. Yang ia ingat tiba-tiba dirinya tertidur dengan pria asing. Ah tidak! Seorang preman! Preman meresahkan! Tak menyangka pula bahwa Bianca berkontribusi dalam merencanakan jebakan ini, mengatakan pula bahwa ia bukanlah anak dari Fathur dan Ilma. Entah takdir apa yang akan terjadi pada Carissa, mengetahui kebenaran bahwa ia bukanlah putri kandung dari Fathur membuat semangatnya dalam menjalani hidup lemas sudah. Terhimpit sekaligus tersiksa kala ingatan menyakitkan itu semakin beputar di dalam isi kepalanya. Sekarang ia tak punya siapa-siapa, mau pergi pun bingung ke mana. "Ya Tuhan ... ke mana aku harus pergi?" Perempuan itu tampak resah, hari sudah menunjukkan gelapnya, itu berarti tak lama lagi malam akan hadir menyapa. Tapi sampai sekarang ia belum menemukan kost atau kontrakan yang bisa ia tinggali. Setiap ia datangi kontrakan pasti selalu penuh. Carissa menangis kembali, namun dengan cepat ia menggeleng, menguatkan dirinya bahwa ia bisa menjalani ujian ini. Suara dering ponsel terdengar dari saku jaketnya, dengan segera Carissa mengangkatnya. "Bagaimana, Nin? Ada?" tanya Carissa saat sambungan itu tersambung. "Maaf, sudah penuh."Carissa tampak lemas, ia sudah lelah, sedari tadi ia terus mencari kontrakan, bukan hanya secara langsung melainkan menanyakan pula pada teman-temannya yang baik agar mau mencarikan kontrakan. Namun sejauh ini temannya pun tampaknya enggan membantu, terbukti bahwa mereka hanya mengatakan tidak tahu, atau tidak ada. Menyerah, Carissa menyerah untuk kembali mencari kontrakan. Biar saja, biarkan ia tidur di jalanan, tak peduli dengan kondisinya yang mungkin akan sakit karena masuk angin. Semuanya ... dirinya sudah lelah, tak punya kekuatan untuk berjalan.Tapi, duduk di sini pun tak ada gunanya,masalahnya tempat ini sangat terbuka,yang lewat pasti banyak, membuatnya malu saja. Pada akhirnya Carissa berjalan kembali tak tentu arah. Wanita itu menarik kopernya dengan tatapan kosong. "Minggir! Ck! Minggir!"Suara kegaduhan dari belakang membuat Carissa menghindar, tak menengok ke belakang, namun sial! Di belakangnya seseorang malah menabrak dirinya. "Aw! Sial!" Carissa ikut terjatuh. Pantatnya mencium tanah agak keras. Wanita itu meringis sakit. Sudah bobot tubuhnya yang berat, terjatuh pula, menjadikan tubuh itu susah untuk berdiri. "Aku bilang mingg--kamu?!"Deg. Suara itu! Carissa membuka mata, terkejut kala mendapati siapa dibalik pria yang baru saja menabraknya. Walau pria itu tertutup tudung hoodie, tapi tak memungkinkan Carrissa mengenalinya dalam sekali tatapan. "Kau?!" marah Carissa setengah kesal. "Apa yang kamu-""Tuan Zavier!""Itu, dia!"Pria yang dipanggil dengan nama Zavier itu mengeram kesal, sedang Carissa yang melihat kegaduhan atas banyaknya orang dibuat bertanya-tanya. Namun tatapan matanya melotot saat mendapati polisi berada di sana juga. Seperti pasukan tentara, mereka saling bergaduh dengan teriakan yang berhasil menjadi pusat perhatian. "Jangan sampai dia lolos!" Carissa melotot mendengar teriakan dari ujung sana, namun pelototannya bukan ia tujukan pada orang-orang tersebut melainkan pada preman ini! "Kau melakukan lagi kerusuhan?! Sekarang apalagi yang kau lakukan hah?!" Tak habis pikir pada pria di depannya ini, pria itu pasti saja selalu bermusuhan dengan polisi. "Tuan Zavier!"Mendengar nama itu kembali dipanggil Zavier dengan segera menarik lengan Carissa agar ikut dengannya. "Lepas! Aku gak mau ikut!" teriak Carissa saat pria itu menarik paksa tangannya untuk berdiri. Sudah tau bobot tubuhnya berat, menjadikan pria itu tertarik kembali. "Argh! Kau mau jadi tahanan mereka hah! Jika kau mau ya sudah, diam di sini dan jangan ikuti aku!" ujarnya kemudian melepaskan lengan Carissa. Carissa mendadak ketar-ketir mendengar penuturan tersebut. Apalagi ditambah dengan teriakan di belakang sana yang semakin mendekat. Mendadak ia jadi lupa. Alhasil Carissa berteriak pada preman bernama Zavier."Tunggu! Aku ikut!" teriaknya sembari menarik belakang hoodie Zavier. Wanita bertubuh gemuk itu agak susah berdiri, namun karena dibantu oleh Zavier membuat perempuan itu akhirnya bisa berdiri. "Tunggu!" Saat hendak berlari, Carissa menahan tangan Zavier, sontak hal itu menambah kekesalan Xavier. "Apalagi?""Sepatuku, aku tidak bisa berlari kencang jika harus memakai sepatu!"Allahu! Zavier menepuk jidatnya sendiri. "Dia di sana!" Teriak salah satu dari mereka yang kini menatap keduanya. "Sial!" Zavier panik melihat gerombolan dari mereka berlari, tatapan matanya mengarah pada Carrissa yang sibuk melepaskan sepatu. "Kau terlalu lama! Buang saja semua ini!" ujarnya kemudian merebut paksa sepatu Carissa, membuangnya kemudian menarik paksa lengan Carissa agar berlari. "Eh, hei! Sepatuku!" Carrissa menoleh ke belakang di mana sepatunya di lempar entah ke mana. Namun tatapannya melotot saat menyadari kopernya ada di sana, tidak ia bawa. "Tunggu, koper---koperku!" pekik Carrissa."Nanti saja kita ambil lagi!" jawab Zavier tak memperdulikan raut kesal Carissa. Preman itu terus menyeretnya agar menghindar dari segerombolan orang-orang yang sedari tadi berteriak nama Zavier. Hingga pada akhirnya mau tak mau Carrissa ikut berlari seiring langkah pria itu yang semakin cepat dan lebar. Suara sirene polisi bahkan ikut memacu ketegangan yang adaa. "Tuan Zavier! Aku perintahkan kau untuk berhenti!" Suara itu semakin keras, membuat Zavier merasakan kalau mereka semakin dekat. Tak melihat keadaan Carissa yang hampir pingsan, pria itu terus menarik lengan Carissa agar berlari sekuat tenaga. "Kita bersembunyi di sana!"Melihat ada tempat kosong membuat Zavier membawa Carissa ke sana. Sebelum itu ia melihat ke mana dulu sekiranya tempat yang aman. Melihat ada tempat yang cukup menampung keduanya membuat Zavier segera masuk ke dalam. "Masuk dong!""Ini udah masuk! Tempatnya aja yang kecil!" jawab Carissa pada saat ia masuk ke sebuah tong besar. Tong itu sudah rusak, membuat ia merangkak masuk ke dalamnya. "Bukan tongnya, tapi kamunya aja yang besar." Carissa menghiraukan ucapan pria itu. Napasnya semakin memburu sesaat ia sudah duduk. "Suttt, diam!" Dengan spontan Zavier menyimpan jari telunjuk di bibir Carissa saat keduanya mendengar sebuah suara. Dengan napas tersengal-sengal, dengan nafas semakin memburu, keduanya terdiam di dalam satu tempat yang agak gelap. Keringat dibalik pelipis berjatuhan sering napasnya yang kian ngos-ngosan. "Di mana? Di mana dia?" Kata seseorang dengan napas tersengal-sengal. Suara sirene yang sedari tadi terdengar ikut berhenti tepat ditempat pemberhentian antara Zavier maupun Carissa. "Di mana? Kalian tidak menemukan mereka?""Tidak, Pak! Tadi saya lihat ke sini, tapi tiba-tiba tidak ada.""Pasti tidak jauh dari sini," ucap Polisi tersebut. "cepat cari di seluruh tempat ini! Jantung Carissa berdetak sangat cepat, tanpa sadar ia menggenggam tangan Zavier dengan gelisah. "Kau hanya perlu diam saja," bisik Zavier pada Carissa. Carissa menurut, ia membungkam mulutnya agar tidak menimbulkan suara bunyi. "Sangat susah untuk menangkap Zavier!" ucap salah satu diantara mereka. Suara gerakan langkah kaki terdengar menuju Zavier dan Carissa, membuat keduanya dengan refleks saling mendekat-memepet."Heh! Jangan asal kalo bicara. Tuan! Bukan Zavier!""Eh, iya, iya---""Coba kita cek ke sana." Sialnya, kedua pria itu mendekat menuju tempat di mana Zavier dan Carissa bersembunyi. Semakin dekat langkah itu semakin deg deg an pula jantung keduanya. Takut, takut apabila detakan jantung itu terdengar sampai ke dua pria itu, menjadikan keduanya harus ditangkap. Carissa menggenggam erat lengan Zavier, terlihat rona ketakutan dibalik wajahnya. Zavier menyimpan jari telunjuknya di bibirnya sendiri. Memberi syarat agar Carissa tidak bergerak. Carrissa menggigit bibir bawahnya saat langkah kaki itu semakin dekat. "Sepertinya mereka tidak ada di sini," ucap salah satu dari mereka. "Ya sudah, mungkin kita salah jalan dalam mencari." Keduanya pergi, membuat napas Carissa yang sedari tadi tertahankan terlepas sudah. Menyadari satu hal Carissa dengan cepat melepaskan tangannya dalam mencekal lengan Zavier. Bergeser pula untuk memberi jarak, namun ... Tangan kiri Carissa merasakan sebuah kenyalan. Terasa aneh tapi ... "Apa ini?" gumamnya kemudian menarik benda kenyal tersebut, sampai... "Aaaa--- Bbpppp!" Kala teriakan itu menggema, dengan cepat Zavier membekap mulut Carissa. "Kau gila? Bagaimana jika mereka kembali?"Bukannya melepaskan bekapan tersebut wanita itu malah menangis, menangis keras mengingat atas apa yang ia pegang tadi. "Apa? Kenapa kau menangis?" tanya Zavier heran. Carissa semakin menangis, membuat Zavier menatapnya curiga. Jangan bilang ...?"Aaaaa!" Zavier ikutan berteriak, dengan segera ia merangkak keluar. Diikuti Carissa, perempuan itu langsung merangkak ke luar juga. Tangannya sibuk menggosok-gosokkan jari-jemarinya ke jaket. Takut gatal. Tak disangka, yang tadi ia pegang adalah ulat tak berbulu. Ulat yang biasanya menempel pada sebuah tempat, seperti pohon atau sisi-sisi tembok. Dan sekarang, Carissa merasakannya kenyalnya benda menjijikan itu. Sialnya pula ia malah melempar ulat tersebut ke Zavier, membuat pria itu langsung ketakutan dan berteriak. "Lain kali jangan asal lempar barang ke orang lain." Zavier bersuara, dia membuka tudung hoodienya hingga menampakkan wajah. Pria itu mengusap-usap tengkuknya, takut ada ulat di sana. Carissa menoleh, preman itu takut kepada ulat? Yang benar saja? "Aku kira laki-laki berotot sepertimu tidak takut, eh, taunya badan aja yang besar, nyalinya malah menciut." Jawaban Carissa berhasil membuat Zavier menatapnya tajam. "Eh, maksudku setiap manusia ketakutan. Aku juga besar
"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?""Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. "Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. "Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. "Bu
Malu sudah muka Carissa saat ini. Astaga ... jantungnya lagi-lagi berdegup sangat kencang. "Kau duluan saja," ucapnya membuat Carissa melirik, sekilas. Ia menghembuskan napas terlebih dahulu, mendadak tenggorokannya kering saja. "Maaf." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Carissa. Carissa memalingkan muka. Mengingat akan sikapnya yang sedikit keterlaluan membuat ia benar-benar malu. Apalagi sekarang di hadapkan dengan sosok yang asli, jauh dari kepura-puraan membuat ia semakin canggung saja. Selain merasa bersalah, ia juga merasa insecure pada pria di depannya ini. Zavier pria yang sangat tampan, tubuhnya ideal untuk kalangan laki-laki yang memiliki porsi amat menawan. Alisnya tebal, matanya lentik, hidung mancung, bibir tipis, ah, jangan lupakan pada lengannya yang kekar, sungguh! Terlihat seksi secara bersamaan. Sekarang Carissa benar-benar menyesal telah berhadapan dengan pria itu. Harusnya ia pergi saja saat itu daripada tahu yang sebenarnya, yang mana ia sadar kalau i
"Lagipula identitas apa yang kau maksud? Aku bahkan tidak tau siapa kamu." Carissa menormalkan emosinya yang tadi naik beberapa detik. "Jadi, apa yang bisa aku bocorkan?" tanyanya lagi. "Apa Bibi tidak memberitahumu?" Carissa menggeleng. "Bibi hanya mengatakan kalau kau bukan preman, itu saja. Aku salah paham terhadap itu."Zavier terdiam. Sesekali ia menghembuskan napas pelan. "Baiklah, ternyata aku juga telah salah paham," ucapnya. Kemudian dia melanjutkan, "untuk sepatu serta kopermu yang tertinggal ... nanti aku akan mencarinya lebih dahulu. Tapi jika kau ingin yang baru, nanti akan aku ganti.""Banyak kenangan di dalamnya, dan aku tidak ingin kehilangan kenangan tersebut." Walau perkataan Zavier meyakinkan tapi ... koper itu benar-benar sangat berharga untuknya. Di dalam koper tersebut terselip kertas yang kemarin Bianca berikan. Di mana nama panti yang sekaligus tempat dirinya berasal. Ya, kertas tersebut akan menunjukkan nama panti serta alamat panti tersebut. Dengan kata l
"Mas, apa yang Mas lakukan pada Carissa? Kau menganggapnya sudah mati?" ujar Ilma setengah marah. "apa Mas tidak tau apa yang telah kamu perbuat dengan mengusir Carissa?""Itu sudah menjadi keputusanku, Ilma," jawab Fathur tanpa melihat raut geram Ilma. Ia tahu bahwa Ilma kecewa padanya tapi apa yang bisa ia lakukan selain memasrahkan segalanya? Ia juga tak punya pilihan lain. Sebuah kejadian yang tiba-tiba itu membuat Fathur menyesal. Bukan, bukan menyesal atas perkataan yang telah ia lontarkan melainkan menyesal kenapa harus sekarang kejadian ini terjadi? Kenapa saat ia ingin benar-benar melepaskan Carissa dengan cara menikahkannya justru terjadi hal yang tidak ia inginkan? "Tapi kenapa Mas? Apa Mas mau ingkar janji? Begitu?" Nada Ilma sedikit naik membuat Fathur terdiam sesaat. "Dia bukan anakku," ucap Fathur dengan nada lirih. "Justru karena dia bukan anak kita kenapa Mas melakukan ini tanpa pikir panjang ha? Gimana kalau---""Mas tidak punya pilihan Ilma. Mas bingung dihadapka
"Lelaki mana yang mau dengan perempuan gendut coba? Setiap laki-laki pasti akan malu punya istri seperti itu. Gak kebayang pas malam pertama, belum dicoba udah roboh tuh ranjang.""Minimal cantik lah, jadi gendutnya ketutup sama kecantikan. Lah ini? Udah gendut, udik lagi!"Carissa menatap dirinya di depan pantulan cermin. Putaran dari setiap hinaan itu bagaikan kaset rusak yang memenuhi otaknya, terus berputar tanpa henti. Sakit dan sesak sudah menjadi makanan setiap hari. Jika dikata kuat? Tidak. Ia sudah lelah dengan semuanya. Hanya saja selama ini ia kuat karena kedua orangtuanya. Karena mereka ... ia kuat seiring kaki itu melangkah. Namun, kenyataan itu lagi-lagi harus terhempas jauh-jauh. Dirinya ... jatuh kembali. Sosok penguat dalam hidupnya tak lagi bersamanya. Sang Ayah dan Ibu ... mereka bukanlah penguat dirinya. Mereka ... bukan orang tua kandung atas dirinya. "Apa aku sejelek itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Carissa semakin menatap lekat dirinya. Padahal pagi ini
"Adik?" Zavier mengangguk. "Terlalu fokus di dunia intertaiment membuatku melupakan adikku. Melupakan segala hal, sampai saat aku sadar atas semuanya ... aku ingin melepaskan apa-apa yang ada."Zavier Abizar Osean, seorang aktris di dunia intertaiment yang berhasil melepaskan karirnya. Ya, dia adalah aktor dengan sejuta bakat. Siapa yang mengira kalau preman yang sering meresahkan ini ternyata seorang Aktris terkenal? Yang mana amat di pandang oleh masyarakat? Amat dikagum dan dipuja oleh kaum-kaum muda? Lantas kenapa dia tiba-tiba berubah tampak seperti preman? Atau mungkin seperti seorang gelandangan dengan baju yang lusuh nan kotor? Carissa ingat pada foto yang sempat ia lihat. Di dalamnya ada Zavier, Ayahnya, dan Ibunya. Ah, ada satu lagi pria, mungkin itu adalah kakeknya. Kenapa Carissa bisa tahu? Karena keluarga Osean saat itu sedang naik daun, menjadikan keluarga tersebut benar-benar amat dikenal dan dihormati. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara menjadi alasan orang-
Zavier melepaskan cekalan tangannya pada Carissa. Pria itu dengan refleks menyimpan telapak tangannya di kening Carissa, membuat sang empu menatap heran Zavier. "Apa yang kau lakukan?" tanya Carissa di tengah keadaan resah begini. Zavier, bukannya membantu pria itu malah menyimpan telapak tangannya di kening Carissa. "Aku takut otakmu koslet, jadinya memastikan---Aw!" Zavier meringis saat Carissa menginjak sandalnya, mana sakit lagi. "Kau kira aku tidak waras?" tanya Carissa dengan napas memburu. Padahal ia sudah mengatakan apa maksudnya, tapi pria itu... "Heh, yang kau bicarakan itu ngelantur! Bisa-bisanya kau melupakan orangtua mu," ucap Zavier. "Orang tua yang mana? Orang tua yang mengumumkan kalau aku udah mati, iya?" Zavier terdiam, mendengar Carissa tampak emosional membuat bibirnya tak berani berkata. "Dia bukan orang tuaku! Mereka ... hanya keluarga baik yang rela menampung anak seperti diriku ....""Kejadian kemarin yang terjadi ... itu dilakukan oleh adikku sendiri. Di
“Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per
“Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan
"Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri
"Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat
Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser
Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend
“A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca