Carissa membenarkan kacamata besarnya yang bertengger di hidung. Perempuan bertubuh gemuk itu berjalan menuju halaman rumahnya. Rumah bercat hijau itu sudah menjadi rumah yang paling ia rindukan, bersama Ayah, Ibu, Carissa ingin kembali berkumpul.
Tak terasa, tiba-tiba kelopak matanya mengumpulkan cairan bening. Cairan yang siap jatuh kapan saja, mengingat atas perlakuan Ayahnya membuat luka itu kembali terbuka. Carissa merasakan sakit, namun ia juga tidak bisa jika harus marah pada Ayahnya. Mau bagaimana pun Ayahnya adalah lelaki terbaik yang ia punya. Sosok laki-laki yang memberinya sejuta kasih sayang dan cinta. Tanpa Ayah, Ibu … mungkin Carissa tidak akan bisa menjadi Carissa yang sekarang juga. Carissa bersiap mengetuk pintu, namun sebelum itu dilakukan Carissa sudah menangis tatkala di depan pintu tersebut sudah ada koper. Koper miliknya. Tidak bisa membendung tangis itu, Carissa membuka koper tersebut dengan tangan bergetar. Dan benar saja, semua barang-barangnya ada di sini, semuanya … tidak ada yang tersisa. Sakit, sesak. Lagi. Hati itu kembali merasakan sakitnya. Ingatan dirinya yang ditam*par berputar di dalam otaknya. Ingatan akan dirinya yang dinyatakan sudah ma*ti membuat luka itu kian menghantam amat dalam. Tak hanya luka fisik yang ia dapat, luka batin pun ia terima dari orang-orang terdekatnya. Carissa tidak bisa membiarkan ketiadakadilan ini tertuju padanya. Apa yang telah ia lakukan? Selama ini ia hormat kepada Ayah, Ibunya. Menurut pada setiap perkataan mereka. Bahkan ia tidak pernah melawan atas apa yang keduanya inginkan. Tapi, kenapa ketidak adilan ini ia rasakan hanya karena satu kesalahan? Itu pun bukan dirinya yang melakukan melainkan Arkan! Tunangannya sendiri. Tidak! Carissa tidak akan membiarkan ini terjadi. Sebisa mungkin ia akan menjelaskan semuanya kepada Fathur, mengatakan bahwa apa yang tadi dia lihat semuanya hanyalah fitnah. Carissa mengusap air matanya yang terus jatuh. Dengan sekali ketukan ia mengetuk pintu, namun tiba-tiba.. “Apa yang kau lakukan di sini, Kak?”Carissa refleks menoleh ke asal suara. “Bianca?” Carissa tersenyum memanggil namanya. Dia adiknya, adik satu-satunya. “Bi, tolong kakak. Bantu kakak, Bi. Kakak enggak melakukan apapun, semuanya fitnah. Kakak enggak salah!” Carissa menatap dalam manik hitam Bianca, berharap adiknya mau melakukan sesuatu. “Lelaki yang Ayah jodohkan denganku, yang mau menerima untuk menikahiku, dia … dia memfi*tnahku. Dia tidak ingin menikah denganku.” Carissa kembali menangis. Tak sanggup mengingat betapa k*eji dan hinanya Arkan. Pria itu benar-benar membut em*osi Carissa naik-turun. “Aku gak masalah kalau dia tidak mau menikah denganku. Tapi aku tidak terima atas apa yang dia lakukan padaku. Dia … dia membuat Ayah membenciku. Aku gak mau Dek … aku …tidak ingin Ayah membenciku.” Bahu Carissa semakin bergetar. Namun, tangisnya mendadak terhenti kala mendengar kekehan dari seseorang di depannya. “Apa yang kau pikirkan, Kak? Membantumu?”Carissa mendadak beku mendengar penuturan dingin dari Bianca. “Apa kakak tidak tau, lelaki yang kakak terima dalam perjodohan tak lain adalah pacarku!”“Apa?!” Carissa menatap Bianca tak percaya. “Iya. Dan kakak mau memisahkan kami begitu aja? Oh, tentu saja tidak bisa!”“Jadi, kalian ….”Bianca bersedekap dada, perempuan bertubuh tinggi nan cantik itu tersenyum remeh. “Kami yang melakukannya!”Carissa tidak percaya ini. Ia ditu*suk dari belakang oleh tunangannya dan adiknya sendiri? “Seharusnya kakak sadar, kalau lelaki seperti Arkan tidak mungkin memilih kakak sebagai pasangan hidup. Jangankan menjadi pasangan, hidup bersama kakak saja dia enggan.”“Tapi---tapi Ayah—”“Karena Ayah tidak tau siapa Arkan. Yang dia tahu Arkan adalah anak dari sahabat Ayah, menjadikan dia dijodohkan dan menerima perjodohan itu.”“Jika kau tau dia adalah pacarmu lalu kenapa kau tidak bilang sama kakak, Dek!” teriak Carissa marah. “Kenapa kau malah menjebakku dengan seorang preman itu! Kenapa?!”“Karena aku benci kakak!” teriak Bianca tak kalah memburu. “Kakak selalu dimanjakan Ayah! Kakak selalu yang paling diutamakan oleh Ayah! Bahkan, setiap perjodohan yang Ayah lakukan sellau saja tertuju untuk Kakak! Itu tak adil, aku iri kak, aku iri!”Carissa menggeleng tidak percaya. Tangis yang kian luruh semakin luruh mendengar ucapan yang begitu menusuk hatinya. “Kakak yang selalu diutamakan! Sedang aku? Ketika aku ingin menikah, Ayah malah melarangku, mengatakan kalau kakak yang harus lebih dulu menikah. Kenapa? Kenapa harus kakak yang Ayah dan Ibu utamakan. Kenapa mereka tidak pernah peduli padaku? Katakan, Kak? Kenapa mereka seakan tidak peduli padaku?”“Dek, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu? Kau … merasa iri dengan kakak?”Bianca terdiam. Ia hanya menatap nanar Carissa. “Justru kakak yang iri sama kamu, Dek! Apa kamu paham artinya dihinakan? Setiap hari, Dek. Setiap hari aku selalu mendapat hinaan karena tubuh ini! Setiap hari aku selalu dibanding-bandingan antara aku dan kamu! Dan setiap hari, ketika Ayah membawa laki-laki untuk dijodohkan denganku … semuanya menolak aku, Dek! Kau pun tau akan hal itu kan?” Carissa menghapus kasar air matanya. “Sudah belasan laki-laki yang Ayah jodohkan padaku. Tapi apa kata mereka? Mereka kira mereka akan dijodohkan dengan kamu. Yang cantik, putih, ideal, sempurna! Tapi setelah mereka tau siapa orang yang akan dijodohkan … semuanya langsung pergi, menghindar, bahkan tidak ada kabar. Diam-diam mereka menghina kakak, setiap hinaan yang keluar dari mulut mereka … apa tidak membuatku sakit hati? Sakit dek, sakit … mereka lagi-lagi harus membandingkan kecantikanku dengan kecantikanmu. Mereka—”“Itu karena kakak tidak bisa berias diri! Menjadikan kakak tidak tertarik di depan laki-laki. Harusnya kakak sadar, jika sudah begitu kakak ubah, ubah penampilan kakak.”“Aku bahkan sudah berusaha merubah diriku Dek!”Bianca tertawa. “Merubah? Mana? Tubuh kakak masih gemuk-gemuk saja, bahkan semakin bertambah gemuk! Rambut kakak?” Bianca menyentuh rambut Carissa dengan jijik.“Bercabang dan keras, dan ini … kacamata bulat dengan ukuran yang besar.” Bianca mengambil kacamata Carissa. “Siapa yang mau dengan penampilan kakak yang seperti ini?” ucapnya berhasil menusuk sampai ke relung hati Carissa. “Pantas saja semua laki-laki menolak. Karena kakak tidak pernah mau merubahnya. Sekarang, ketika lamaran terakhir datang, dan Arkan menerimanya … apa kakak tidak sadar bahwa dia terpaksa menerima perjodohan itu? Dia terpaksa kak! Dia terpaksa!”Kedua tangan Carissa mengepal. Hatinya kian remuk setelah mendengar hinaan demi hinaan yang dikeluarkan oleh Bianca. “Tak hanya itu yang membuatku membenci Kakak. Ah, lupakan nama kakak. Kau … bukanlah kakakku!” ucap Bianca dengan tegas. “Kau ingin tau lebih lengkapnya kan? Biar aku katakan dan biar aku beritahukan sebuah kebenaran. Bahwa kau … bukanlah anak kandung Ayah, Ibu! Melainkan anak panti yang sengaja dibawa oleh mereka!”Terkejut. Carissa terkejut atas ungkapan Bianca. “A--apa maksudmu?”Bianca tertawa sinis. Ia mengeluarkan sebuah kertas di tas kecilnya, kemudian melemparkan kertas tersebut tepas di muka Carissa. “Baca surat ini! Biar kau paham bahwa tidak ada alasan lagi untukmu datang ke rumah kami!”Mata Carissa memejam kala kertas tersebut menyentuh wajahnya dengan kasar. “Aku dan Arkan akan segera menikah, aku harap kau tidak mengacaukan segalanya,” ucap Bianca tanpa tau perasaan Carissa yang kini benar-benar amat hancur. Sebuah kebenaran baru apalagi ini? Bahwa ia bukanlah anak dari Fathur dan Ilma? Carissa hanya diam membeku. Hatinya sudah terlanjur sakit. Amat sakit. Tubuhnya tidak bisa merespon bobot tubuhnya lagi, dengan perasaan amat hancur Carissa membuka kertas tersebut. Membaca setiap deretan huruf dengan mata memburam akibat cairan yang lagi-lagi harus jatuh. Semakin bergetar tubuhnya setelah ia membaca isi dari surat tersebut. Yang mana … Ia hanyalah anak panti yang telah Fathur dan Ilma adopsi. Jadi selama ini … dirinya bukanlah anak dari mereka? Lantas … siapa dirinya sebenarnya? Untuk sekian kali … air mata itu berhasil jatuh membanjiri pipinya. Sekarang tak ada alasan lagi untuk dirinya pulang menuju tempat yang sebenar-benarnya pulang. Ia … sudah tak mempunyai rumah selain dirinya sendiri. Sakit, sesak. Hancur. Semuanya ... terkumpul menjadi satu.Orang-orang sering mengatainya dengan nama itik buruk rupa. Si gendut bermata empat. Hinaan bahkan seringkali didengar setiap hari, entah karena badannya, sikapnya atau kebiasaannya.Carissa sadar atas semuanya. Ia memang perempuan yang tak menarik di mata laki-laki. Atau bahkan di mata orang lain. Walau dirinya berpendidikan tapi ia punya kekurangan. Kekurangan itulah yang menutup mata orang-orang dalam melihat hati Carissa yang sebenarnya. Diusianya yang sudah menginjak 25 tahun ia belum menikah. Fathur-Ayahnya sering kali membantu Carissa dalam mencari pasangan hidup. Sudah banyak perjodohan yang dilakukan Carissa dengan calon pria, namun tak ada satupun yang mau dengan dirinya. Awalnya setiap pria menerimanya, tapi di belakang mereka diam-diam menghina fisiknya, berakhir pergi tak ada kabar. Perjodohan itu seringkali Fathur lakukan, tapi juga seringkali sang calon menolak secara baik-baik.Terakhir kali, Fathur membawa pria bernama Arkan. Pria itu baik, senyumnya manis, berpendi
"Aaaaa!" Zavier ikutan berteriak, dengan segera ia merangkak keluar. Diikuti Carissa, perempuan itu langsung merangkak ke luar juga. Tangannya sibuk menggosok-gosokkan jari-jemarinya ke jaket. Takut gatal. Tak disangka, yang tadi ia pegang adalah ulat tak berbulu. Ulat yang biasanya menempel pada sebuah tempat, seperti pohon atau sisi-sisi tembok. Dan sekarang, Carissa merasakannya kenyalnya benda menjijikan itu. Sialnya pula ia malah melempar ulat tersebut ke Zavier, membuat pria itu langsung ketakutan dan berteriak. "Lain kali jangan asal lempar barang ke orang lain." Zavier bersuara, dia membuka tudung hoodienya hingga menampakkan wajah. Pria itu mengusap-usap tengkuknya, takut ada ulat di sana. Carissa menoleh, preman itu takut kepada ulat? Yang benar saja? "Aku kira laki-laki berotot sepertimu tidak takut, eh, taunya badan aja yang besar, nyalinya malah menciut." Jawaban Carissa berhasil membuat Zavier menatapnya tajam. "Eh, maksudku setiap manusia ketakutan. Aku juga besar
"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?""Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. "Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. "Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. "Bu
Malu sudah muka Carissa saat ini. Astaga ... jantungnya lagi-lagi berdegup sangat kencang. "Kau duluan saja," ucapnya membuat Carissa melirik, sekilas. Ia menghembuskan napas terlebih dahulu, mendadak tenggorokannya kering saja. "Maaf." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Carissa. Carissa memalingkan muka. Mengingat akan sikapnya yang sedikit keterlaluan membuat ia benar-benar malu. Apalagi sekarang di hadapkan dengan sosok yang asli, jauh dari kepura-puraan membuat ia semakin canggung saja. Selain merasa bersalah, ia juga merasa insecure pada pria di depannya ini. Zavier pria yang sangat tampan, tubuhnya ideal untuk kalangan laki-laki yang memiliki porsi amat menawan. Alisnya tebal, matanya lentik, hidung mancung, bibir tipis, ah, jangan lupakan pada lengannya yang kekar, sungguh! Terlihat seksi secara bersamaan. Sekarang Carissa benar-benar menyesal telah berhadapan dengan pria itu. Harusnya ia pergi saja saat itu daripada tahu yang sebenarnya, yang mana ia sadar kalau i
"Lagipula identitas apa yang kau maksud? Aku bahkan tidak tau siapa kamu." Carissa menormalkan emosinya yang tadi naik beberapa detik. "Jadi, apa yang bisa aku bocorkan?" tanyanya lagi. "Apa Bibi tidak memberitahumu?" Carissa menggeleng. "Bibi hanya mengatakan kalau kau bukan preman, itu saja. Aku salah paham terhadap itu."Zavier terdiam. Sesekali ia menghembuskan napas pelan. "Baiklah, ternyata aku juga telah salah paham," ucapnya. Kemudian dia melanjutkan, "untuk sepatu serta kopermu yang tertinggal ... nanti aku akan mencarinya lebih dahulu. Tapi jika kau ingin yang baru, nanti akan aku ganti.""Banyak kenangan di dalamnya, dan aku tidak ingin kehilangan kenangan tersebut." Walau perkataan Zavier meyakinkan tapi ... koper itu benar-benar sangat berharga untuknya. Di dalam koper tersebut terselip kertas yang kemarin Bianca berikan. Di mana nama panti yang sekaligus tempat dirinya berasal. Ya, kertas tersebut akan menunjukkan nama panti serta alamat panti tersebut. Dengan kata l
"Mas, apa yang Mas lakukan pada Carissa? Kau menganggapnya sudah mati?" ujar Ilma setengah marah. "apa Mas tidak tau apa yang telah kamu perbuat dengan mengusir Carissa?""Itu sudah menjadi keputusanku, Ilma," jawab Fathur tanpa melihat raut geram Ilma. Ia tahu bahwa Ilma kecewa padanya tapi apa yang bisa ia lakukan selain memasrahkan segalanya? Ia juga tak punya pilihan lain. Sebuah kejadian yang tiba-tiba itu membuat Fathur menyesal. Bukan, bukan menyesal atas perkataan yang telah ia lontarkan melainkan menyesal kenapa harus sekarang kejadian ini terjadi? Kenapa saat ia ingin benar-benar melepaskan Carissa dengan cara menikahkannya justru terjadi hal yang tidak ia inginkan? "Tapi kenapa Mas? Apa Mas mau ingkar janji? Begitu?" Nada Ilma sedikit naik membuat Fathur terdiam sesaat. "Dia bukan anakku," ucap Fathur dengan nada lirih. "Justru karena dia bukan anak kita kenapa Mas melakukan ini tanpa pikir panjang ha? Gimana kalau---""Mas tidak punya pilihan Ilma. Mas bingung dihadapka
"Lelaki mana yang mau dengan perempuan gendut coba? Setiap laki-laki pasti akan malu punya istri seperti itu. Gak kebayang pas malam pertama, belum dicoba udah roboh tuh ranjang.""Minimal cantik lah, jadi gendutnya ketutup sama kecantikan. Lah ini? Udah gendut, udik lagi!"Carissa menatap dirinya di depan pantulan cermin. Putaran dari setiap hinaan itu bagaikan kaset rusak yang memenuhi otaknya, terus berputar tanpa henti. Sakit dan sesak sudah menjadi makanan setiap hari. Jika dikata kuat? Tidak. Ia sudah lelah dengan semuanya. Hanya saja selama ini ia kuat karena kedua orangtuanya. Karena mereka ... ia kuat seiring kaki itu melangkah. Namun, kenyataan itu lagi-lagi harus terhempas jauh-jauh. Dirinya ... jatuh kembali. Sosok penguat dalam hidupnya tak lagi bersamanya. Sang Ayah dan Ibu ... mereka bukanlah penguat dirinya. Mereka ... bukan orang tua kandung atas dirinya. "Apa aku sejelek itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Carissa semakin menatap lekat dirinya. Padahal pagi ini
"Adik?" Zavier mengangguk. "Terlalu fokus di dunia intertaiment membuatku melupakan adikku. Melupakan segala hal, sampai saat aku sadar atas semuanya ... aku ingin melepaskan apa-apa yang ada."Zavier Abizar Osean, seorang aktris di dunia intertaiment yang berhasil melepaskan karirnya. Ya, dia adalah aktor dengan sejuta bakat. Siapa yang mengira kalau preman yang sering meresahkan ini ternyata seorang Aktris terkenal? Yang mana amat di pandang oleh masyarakat? Amat dikagum dan dipuja oleh kaum-kaum muda? Lantas kenapa dia tiba-tiba berubah tampak seperti preman? Atau mungkin seperti seorang gelandangan dengan baju yang lusuh nan kotor? Carissa ingat pada foto yang sempat ia lihat. Di dalamnya ada Zavier, Ayahnya, dan Ibunya. Ah, ada satu lagi pria, mungkin itu adalah kakeknya. Kenapa Carissa bisa tahu? Karena keluarga Osean saat itu sedang naik daun, menjadikan keluarga tersebut benar-benar amat dikenal dan dihormati. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara menjadi alasan orang-
“Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per
“Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan
"Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri
"Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat
Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser
Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend
“A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca