“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla.
Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.
“Lehermu kenapa?”
Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti.
Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan segera hilang.
Syla mengamatiku, aku mengalihkan pandangan ke novel lagi. Satu hal yang harus selalu aku ingat, jangan pernah menatap Syla jika menyembunyikan suatu rahasia. Entah kenapa, temanku yang satu itu bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh orang lain. Hebat sekali, atau mungkin itu menakutkan.
“Kau tidak lihat? Lehernya pegal.” Syla menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan pekerjaannya. “Sia-sia aku memedulikannya.” Syla bergumam pelan. Aku menghela napas perlahan. Setidaknya aku selamat untuk saat ini.
“Kau duduk di sampingnya, bukan?” Aku menegang. Slamet ternyata tidak menghentikan rasa penasarannya, aku mencoba bersikap santai. “Bagaimana mungkin tidak mengetahuinya?”
Syla meletakkan pena yang dipegangnya dengan kasar, menatap tajam Slamet. Kali ini Syla mengamatiku lebih teliti. Maksud hati tidak ingin menoleh, tetapi Syla memaksaku untuk menghadapnya. Selain itu, jika aku tidak menatapnya, Syla akan curiga dan malah bertanya banyak hal kepadaku.
“Kenapa?” Syla menggerakkan dagunya ke arah leherku. Oh tidak, dia sudah mengetahui apa yang ingin kusembunyikan. Hopeless, aku menatap lurus ke arah papan tulis. Bagaimana aku akan menjawabnya?
Beberapa macam jawaban mulai berkeliaran di otakku. Mulai dari hal yang masuk akal, hingga hal yang gila. Aku harus bisa menyatukan semua alasan itu dan mengolahnya menjadi lebih masuk akal. Aku tidak ingin menjadi seperti siswa kelas sebelah yang kebohongannya berhasil terungkap oleh seorang Syla. Itu kejadian satu tahun lalu dan menggemparkan satu sekolah.
Waktu itu beredar kabar adanya pertikaian antar teman sekelas yang kehilangan ponselnya. Harusnya ada satu korban dan satu tersangka, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menceritakan detail ceritanya. Bahkan, tidak ada yang tahu ponsel siapa yang hilang. Seketika aku melongo ketika mendengarnya. Bercanda, ya?
Pihak sekolah belum mau mengurusi masalah ini. Menurut mereka, ini hanyalah salah paham antar teman yang sering terjadi, sehingga tidak terlalu dipedulikan. Dan para siswa yang akhirnya sibuk menduga-duga. Siapa yang bersalah? Di mana ponsel yang hilang? Mungkin masih ada dugaan yang lainnya. Intinya, semakin lama sebuah kasus diselesaikan, semakin banyak berita berlebihan yang akan diterima.
Dua hari sejak mendengar kasus itu, aku mengantar Syla menemui para tokoh yang terlibat. Mereka berkumpul di lapangan basket, sedang melakukan adu mulut dan diteruskan dengan adu otot. Tanpa menunggu lama, Syla segera menghampiri pusat kerumunan. Ada dua orang laki-laki yang bertengkar, mereka saling menarik kerah dan mengeluarkan umpatan-umpatan.
Para siswa duduk mengelilingi lapangan, mereka saling melempar komentar dan membuat lapangan menjadi berisik. Banyak dari mereka yang fokus menonton aksi dua orang yang berada di lapangan, tak lupa dengan camilan di tangan. Apa mereka sedang menonton wayang orang?
Syla diam di tempat, mengamati keadaan sekitar. Sejauh mata memandang hanya ada dua tokoh utama yang sedang bertengkar, sekitar seratus orang penonton yang tidak penting, serta kebisingan. Tidak terlihat seorang guru pun yang tertarik dengan apa yang tengah terjadi dengan siswa mereka.
Aku melangkahkan kaki ke depan, menyeruak kerumunan, meminta jalan dengan paksa. Syla mengikutiku dari belakang, tentu saja, ia juga ingin menghampiri mereka. Nama Aldo dan Aldi, terpampang jelas di nametag yang berada di dada sebelah kiri mereka. Sebenarnya aku tidak mengenal mereka, mungkin anak IPS. Aku lebih banyak mengenal orang daripada dikenali orang. Aku sudah mengenal 90% teman seangkatanku, mungkin mereka termasuk yang 10% sisanya, apalagi mereka cowok. Aku berjalan lebih dekat, kali ini aku dapat melihat wajah mereka dengan lebih jelas. Ah, mereka anak-anak yang sering nongkrong di kantin, tetapi tidak pernah bersama. Entahlah, aku tidak begitu yakin.
“Ting! Waktu habis, siapa yang menang?”
Kedua tanganku bergerak cepat menyingkirkan tangan mereka yang masih berada di kerah yang lain, menahan tangan mereka yang sudah menyentuh pundak masing-masing agar tidak lagi bergerak. Aku menatap mata satu persatu dari mereka. Mereka kompak melotot ke arahku. Refleks, aku melepaskan cengkeraman tanganku dari mereka.
“Siapa diantara kalian yang mencuri ponsel?” Syla menatap tajam dua orang di depannya.
Mereka berdua menundukkan wajah. Syla mengedarkan pandangan, menatap semua penonton di tepian lapangan. Lapangan menjadi hening, para penonton sibuk mengalihkan perhatian, bahkan ada yang secara cepat meninggalkan lapangan. Tak hanya menatap seluruh penonton, Syla juga menatapku tajam. Aku meneguk ludah.
Bagaimana bisa tatapan seseorang—perempuan—setajam ini. Jika tatapannya adalah pisau, maka sudah pasti lapangan ini penuh dengan darah. Aku menatap mata Syla datar, aku tidak bersalah, jadi santai saja. Salah satu dari dua orang itu mengangkat tangannya. Syla menatap orang itu, aku juga ikut mengamati. Apa yang akan dilakukannya? Aldi perlahan berdiri, membiarkan Aldo tetap terduduk—tidak mengajaknya.
“Tidak ada.” Aldi menjawab lirih namun mantap. Pandangannya menunduk, tangannya dibawa ke belakang. Aku menatapnya bingung. Tidak ada? Aku menatap Syla, seharusnya ia mengatakan sesuatu. Tetapi Syla tetap bergeming. Aku menghela napas, memutuskan ikut menunggu.
Setelah itu Aldi menceritakan semuanya dari awal. Aku menyimak dengan serius, siapa tahu nanti Syla akan bertanya satu-dua hal yang tidak ia mengerti padaku. Aldi menceritakannya satu menit penuh, tanpa ada jeda maupun gangguan dari pihak penonton. Setelah akhirnya Aldi menghembuskan napas, Syla segera berbalik, berjalan meninggalkan lapangan. Aku bergegas berjalan mengikutinya.
Baiklah, itu pengalaman yang seru, aku tidak akan bisa melupakannya. Dan kini, aku yang mengalaminya. Aldi bahkan menjawab pertanyaan Syla dalam waktu setengah menit—aku benar-benar menghitungnya. Dan kini, entah sudah berapa lama aku diam tidak menjawab.
“Kemarin terkena pisau,” jawabku.
Aku menatap Syla, menunjukkan wajah yang biasa saja. Aku tidak boleh terlalu berbohong. Syla menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengamati luka yang berada di leherku seperti sedang memikirkan jawabanku. Aku tidak ketakutan seperti tadi, toh aku bicara jujur. Syla menganggukkan kepalanya, kembali mencoretkan pena pada buku tulis.
“Lain kali hati-hati saat memasak.” Aku tertegun sejenak, lalu memutuskan menganggukkan kepala. Aku selamat.
“Udah? Gitu doang?” Slamet masih berada di bingkai pintu. Syla mengangkat kepalanya, melihat Slamet.
“Berisik! Kamu menggangguku tahu!” Slamet berjalan menuju mejanya, tidak ingin dimarahi Syla lebih lanjut. Aku melanjutkan membaca novel, sedang berada di bagian terserunya, benar-benar tidak ingin diganggu.
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata
Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert
Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah
Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in
“Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya
Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya
Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah
Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men