“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.
“Semangat!” teriakku.
Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.
Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.
Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m
Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah
Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya
Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert
Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah
Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in
“Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya
Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya
Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah
Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men