Share

Bab 3

Penulis: Tiyas Tuti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya.

“Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar.

Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah bau keringat. Jadi aku memanggilnya persis setelah melewati gerbang sekolah.

Tidak seperti biasanya, pagi ini mentari belum menunjukkan dirinya. Langit masih berwarna kemerahan dihiasi awan-awan berwarna putih yang memenuhi langit. Sekolah nampaknya belum ada penghuninya, begitu sepi dan senyap. Ada beberapa petugas kebersihan yang sibuk menyapu halaman dan mengepel lantai. Sepagi ini, teras-teras kelas dan lapangan sekolah sudah terlihat bersih, hanya satu-dua bagian saja yang belum dibersihkan.

Kami menyusuri teras-teras kelas untuk menuju kelas. Seperti biasa, aku menoleh dan melihat ke dalam kelas yang pintunya terbuka. Kami melewati paling tidak delapan kelas—aku tidak benar-benar menghitungnya—kelas kami lumayan di belakang, tapi masih ada dua kelas lagi setelah kelas kami. Kelas-kelas yang aku lewati benar-benar masih kosong. Aku tidak tahu apa yang mereka kerjakan di rumah, hingga sampai kini belum berada di sekolah.

Syla membanting tas ke meja—bukan benar-benar membanting, tapi dia meletakkannya dengan kasar—dan diikuti pantatnya yang dia dudukkan di kursi. Aku duduk di kursi sebelahnya, meletakkan tas di atas meja dengan lembut. Aku mengamati keadaan kelas. Di depan sana ada papan tulis besar yang bersih—sudah dibersihkan sepulang sekolah, di atas papan tulis ada foto presiden dan wakil presiden yang dipisahkan oleh foto garuda pancasila. Di Pojok dinding sebelah kanan kelas ada jam dinding yang jarumnya bergerak normal, tidak hanya pajangan.

Di belakang kelas secara urut, ada alat kebersihan, rak sepatu, dan rak buku. Sesuai kesepakatan teman-teman sekelas, kami harus melepas sepatu ketika berada di dalam kelas—tidak termasuk guru. Sejak sebelum aku bersekolah disini, rak buku sudak ada di semua kelas walau kosong melompong. Itu merupakan program sekolah untuk meningkatkan literasi siswa. Rak buku bisa diisi buku apapun yang dimiliki siswa agar bisa saling meminjam dan berbagi bacaan. Tidak hanya asal ambil, perpustakaan kelas kami memiliki struktur dan peraturan yang jelas, sama seperti perpustakaan pada umumnya. Pundakku dicolek oleh seseorang tiba-tiba, aku menoleh.

“PR?” tangan Syla menengadah, menjulur ke arahku.

Aku menyerngit, PR? Ah, dia meminta buku tugasku? Aku membuka resleting tas, merogoh apa yang ada di dalam sana. Aku mengeluarkan tanganku ketika menyentuh sesuatu yang dibutuhkan Syla. Buku tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan sampul coklat diterima Syla.

“Lupa atau malas?” Syla meletakkan buku coklat yang sudah terbuka di atas meja. Tangannya cekatan mengambil buku yang juga bersampul coklat dan sebuah pena dari tasnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera menulis apa yang seharusnya ia tulis.

“Malas” Syla menjawab dengan mantap walaupun tangan dan matanya sudah bekerja. Aku kembali mengambil sebuah buku dari dalam tas, sebuah novel yang populer akhir-akhir ini. Aku meminjamnya dari perpustakaan daerah, sudah tiga hari novel ini ada di tanganku, hanya tinggal puluhan lembar lagi aku akan menyelesaikannya. Aku menyangga novel itu dengan tanganku agar dapat membacanya dengan nyaman.

Ini merupakan salah satu novel serial fantasi dari seorang penulis terkenal yang karyanya banyak disukai oleh para remaja. Aku menyukai penulis ini sejak setahun yang lalu, karena baru tahu saja. Tidak ada yang memperkenalkanku dengan penulis ini, dan tidak ada novel seperti ini di perpustakaan sekolah. Aku tahu penulis ini dari salah satu penulis idolaku, dan aku bersyukur bisa mengenal penulis ini.

Jam dinding di depan kelas menunjukkan pukul 06.01 waktu setempat. Aku sudah hafal di luar kepala jadwal keberangkatan teman-teman sekelasku. Sering, aku menjadi yang pertama, diikuti dengan Syla yang datang beberapa menit kemudian. Tidak jarang pula Syla menjadi yang pertama, seakan-akan kami berebutan gelar orang yang datang paling pagi di kelas. Sungguh, itu benar-benar lelucon terburuk sejauh aku mendengar. Mana ada orang yang bangga menjadi orang pertama yang berada di sekolah? Yang lebih aneh adalah, bagaimana mereka bisa tahu orang yang pertama kali datang padahal mereka tidak melihatnya sendiri?

“Selamat pagi, semua!” Aku melihat ke arah pintu, lalu fokus kembali pada bacaanku.

Dia Slamet, sesuai namanya dia seorang laki-laki yang tidak memiliki ciri khas orang Jawa. Orang Jawa dikenal banyak orang karena sopan santunnya. Nah, dia? Tidak sama sekali! Dia bahkan tidak sadar bahwa suaranya mengganggu Syla yang sedang berkonsentrasi penuh, keningnya berkerut, pertanda ia sedang menahan emosinya. Walau begitu, dia bisa bergaul dengan siapa pun dan punya banyak teman.

Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.

“Lehermu kenapa?”

Bab terkait

  • SELUMBARI   Bab 4

    “Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla. Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang. “Lehermu kenapa?” Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti. Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan

  • SELUMBARI   Bab 5

    Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin

  • SELUMBARI   Bab 6

    Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem

  • SELUMBARI   Bab 7

    Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or

  • SELUMBARI   Bab 8

    “Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga

  • SELUMBARI   Bab 9

    “Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t

  • SELUMBARI   Bab 10

    Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.

  • SELUMBARI   Bab 11

    Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa

Bab terbaru

  • SELUMBARI   Bab 21

    Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert

  • SELUMBARI   Bab 20

    Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah

  • SELUMBARI   Bab 19

    Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in

  • SELUMBARI   Bab 18

    “Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya

  • SELUMBARI   Bab 17

    Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya

  • SELUMBARI   Bab 16

    Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah

  • SELUMBARI   Bab 15

    Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m

  • SELUMBARI   Bab 14

    Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.

  • SELUMBARI   Bab 13

    Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men

DMCA.com Protection Status