Dari semua hari di musim kemarau, Selasa ini langit tampak berwarna kelabu, berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya dengan matahari yang bersinar terik. Ibu-ibu yang tinggal di pemukiman kumuh segera berlari ke dalam rumah, membawa keluar benda apa pun yang dapat digunakan sebagai wadah, ada ember, bak mandi, panci, gentong air, bahkan botol air mineral pun dibuat untuk menampung air hujan. Sudah sejak tiga minggu yang lalu, sungai di belakang pemukiman mereka kering kerontang. Entah airnya menghilang kemana, membuat repot warga sekitar yang membutuhkan air.
Menyeberang laut, di sebuah pulau nun jauh disana, pohon-pohon saling merapat, nampak hijau tumbuh dengan subur seakan menandakan persediaan air tanah begitu melimpah. Namun, sama seperti mereka yang tinggal di pinggiran ibu kota, mereka yang berada di pulau-pulau tersebut juga mengalami krisis air. Bukan karena tidak ada air, tetapi kurangnya sarana dan prasarana penunjang untuk mendapatkan air dari dalam tanah.
Tes! Setetes air mulai turun menyentuh tanah. Teriakan-teriakan mulai terdengar, ekspresi bahagia terpampang jelas di wajah banyak orang, tarian sembarang mulai dilakukan seiring tetes air yang turun bertambah, anak laki-laki saling berlarian, mencoba mengambil alih bola yang terus menggelinding, sedangkan para anak perempuan kejar-kejaran ditengah hujan, diteriaki orang tua mereka untuk masuk kedalam rumah. Ah, pemandangan yang menyenangkan.
Langit semakin mendung, hujan semakin deras. Matahari yang semula bersinar terang di langit, menjadi tidak berbekas sekarang. Walaupun jam dinding di rumah-rumah penduduk masih menunjukkan pukul dua lebih dua puluh lima siang, suasana menunjukkan pukul dua dini hari. Semua orang yang berada diluar segera berlari masuk ke dalam rumah, hujan semakin lebat. Para anak laki-laki sebelum diteriaki orangtua mereka juga telah berlari ke halaman salah satu rumah penduduk. Mereka tidak akan pulang ke rumah, hanya menunggu hujan agak reda dan melanjutkan permainan.
Jauh di dalam hutan, suara napas yang terengah-engah terdengar jelas diantara suasana yang hening. Seorang wanita tengah berlari menyibak pepohonan, seorang diri tanpa membawa apa pun. Wanita itu berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, ekspresi di wajahnya sudah tidak bisa dideskripsikan lagi. Wajahnya penuh air–entah air mata atau air hujan, rambutnya yang disanggul tampak berantakan. Suara dedaunan kering yang terinjak terdengar keras di belakangnya, wanita itu semakin mempercepat langkah kakinya.
Sayangnya, hujan yang turun ke bumi telah membasahi tanah hingga becek. Langkah kaki wanita yang berusia paruh baya itu mulai memberat, napasnya sudah tersengal. Wanita itu semakin panik karena tidak bisa mendengar apa pun. Telinganya hanya bisa mendengar suara derasnya air hujan yang bergesekan dengan daun-daun kering.
Wanita itu menoleh ke belakang. Selintas, terlihat ada bayang-bayang orang di balik pepohonan. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, ia mencoba menambah kecepatan langkah kakinya. “Tidak, kumohon. Bertahanlah.” Wanita itu berbisik lirih, menyemangati diri sendiri.
Langit benar-benar menggelap. Cahaya yang hanya sisa selarik sudah hilang, tertutup oleh banyaknya awan gelap. Wanita itu sedikit oleng. Tangannya dengan sigap meraba apa pun yang ada di dekatnya mencoba menyeimbangkan badan. Tangan wanita itu tidak dapat meraih apa pun, namun wanita itu bisa menyeimbangkan diri lagi dengan segera.
Kecepatan wanita itu tidak berkurang bahkan saat hampir terjatuh tadi. Jalanan mulai terasa menanjak, kecepatan wanita itu menurun dengan sendirinya. Wanita itu seperti tidak menyadari kondisi jalanan yang dilaluinya ini karena sempat oleng tadi. Namun, mungkin juga karena tidak adanya selarik pun cahaya yang menerangi hutan, wanita itu asal berjalan. Bayangan yang tadi mengejar di belakang wanita itu terjatuh saat berada di jalan yang mulai naik. Tidak butuh waktu lama, dia segera berdiri dan kembali berlari.
Ctar! Tiba-tiba sekelebat cahaya menyinari hutan. Arahnya berlawanan arah dari yang dituju wanita paruh baya itu. Walau sekilas, penampakan di depannya terlihat jelas. Di mana posisi pohon, bagaimana bentuk jalan, hingga bayangan di belakangnya yang terlihat samar-samar. Wanita paruh baya itu berteriak, bayangan yang ada di belakangnya terasa begitu dekat. Beberapa tetes air hujan masuk ke mulut wanita itu, membuatnya tersedak. Ia kembali oleng ke depan, walau begitu langkah kakinya malah bertambah cepat. Wanita itu menambah lagi kecepatannya sambil tersedak. Matanya awas menatap ke depan.
Wanita paruh baya itu tampaknya sedang berpikir, apakah ada kemungkinan kilat akan menyambar lagi? Jeder! Suara guntur menggelegar memenuhi hutan memekakkan telinga. Jarak waktu saat kilat menyambar dan suara guntur lumayan jauh ternyata, sepertinya sebentar lagi kilat akan kembali menyambar. Napas wanita itu semakin terengah-engah, kakinya bergetar hebat menahan beban tubuhnya. Dia masih berlari hanya karena pikirannya masih bekerja, pikirannya memaksa wanita itu untuk terus berlari. Dia akan segera tertangkap jika masih terus berlari dengan kondisi seperti itu.
Ctar! Kilat menyambar lagi. Pepohonan di depan wanita itu sangat terlihat posisinya, bayangan yang ada di belakangnya berjarak kurang lebih lima meter–sebenarnya posisinya masih sama dengan saat kilat pertama menyambar. Sepertinya bayangan di belakangnya juga kesulitan berlari dengan kondisi hujan deras dan jalan menanjak. Jeder! Kali ini gunturnya terdengar lebih cepat, juga lebih keras. Wanita itu sedikit terperanjat, kaget karena suara gunturnya yang dekat dengan telinga.
Sejak hujan mengguyur, kali ini hutan terasa paling sepi, tidak ada satu pun binatang yang bersuara. Wanita tua itu menghitung situasi dengan cepat. Di depan sana, mungkin berkisar 300 meter, sepertinya jalan akan mulai menurun. Tidak jauh dari situ seharusnya ada padang semak-semak. Sekali lagi, wanita itu berusaha menambah kecepatan langkah kakinya, meneguhkan diri agar dapat bertahan dan selamat.
Selagi berlari, tangan kiri wanita itu ia rentangkan agar tahu letak pasti padang semak di depannya. Sungguh, dia saat ini berharap agar segera sampai di padang semak dan mengakhiri pelarian yang tak kunjung henti ini. Sret! Wanita itu menyentuh dedaunan yang tidak tinggi. Tidak hanya beberapa helai, tapi banyak dedaunan. Benar, ini semak-semak.
Wanita itu segera masuk ke semak-semak, tidak lagi berlari lurus. Dia menggunakan kedua tangannya untuk meraba sekeliling, mencoba melewati semak belukar yang tumbuh rapat.Wanita paruh baya itu masuk agak jauh ke semak-semak. Kebetulan, semak-semak disini sangat luas dengan tinggi rata-rata seratus meter. Setelah dirasa agak jauh, wanita itu segera menunduk, bersembunyi dari bayangan yang mengejarnya. Tempat bersembunyi wanita itu sangat tidak nyaman, seluruh tubuhnya dikelilingi semak berduri. Hanya karena pakaian panjang yang wanita itu kenakan, tidak ada lecet yang berarti ditubuhnya.
Ctar! Kilat kembali menyambar, menunjukkan keseluruhan hutan secara sekilas. Wanita paruh baya itu menatap awas sekitarnya, berjaga-jaga atas kemungkinan terburuk. Semak belukar di sekitarnya ternyata sangat padat, jadi tidak terlalu kelihatan. Kira-kira dimana posisi bayangan yang mengejarnya saat ini? Dengan harap-harap cemas, wanita itu mencoba menajamkan telinganya. Berusaha mengalahkan suara derasnya hujan.
Percobaan pertama, suara hujan sangat dominan. Sulit sekali mengabaikan nyaringnya suara air jatuh yang bertabrakan dengan dedaunan kering. Wanita itu menghafalkan dan merenungkan suara yang memenuhi gendang telinganya dengan teliti. Lalu wanita itu mencari suara lainnya yang tersembunyi, berusaha sekuat tenaga menyibak suara hujan. Wanita itu mulai mendengar suara nyamuk di sekitarnya. Awalnya tipis seperti sehelai benang, lambat laun suara nyamuk terasa jelas.
Wanita itu kembali menajamkan telinganya. Jeder! Suara guntur menggelegar, sedikit banyak mengganggu konsentrasi wanita paruh baya itu. Ia memulai lagi berkonsentrasi. Kali ini tidak terlalu butuh waktu, wanita itu kembali bisa mendengar suara nyamuk yang ada di sekelilingnya. Hujan masih terdengar, namun hanya sebatas musik latar. Tak lama, wanita itu mendengarkan suara daun kering yang terinjak-injak. Suara itu sepertinya agak jauh dari lokasiku sekarang. Mungkin bayangan yang mengejarnya terus berjalan kedepan. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas lega, bersyukur dia masih selamat.
Wanita paruh baya itu mendongak, menikmati air hujan yang menerpa wajahnya. Sudah berminggu-minggu hujan tidak datang, maka tak heran jika wanita itu juga menikmati hujan. Seharusnya saat ini, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan warga lainnya, memenuhi ember-ember di rumah dengan air hujan.
Srek srek! Tiba-tiba wanita itu menangkap suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering yang sudah basah. Wanita paruh baya itu kembali menajamkan telinganya, mungkinkah itu langkah kaki bayangan yang mengejarnya? Wanita itu harap-harap cemas, matanya mencoba menangkap bayangan apa pun yang bergerak. Tidak, mata wanita itu tidak bisa menangkap apa pun. Sedangkan bayangan yang mengejarnya terasa semakin mendekat. Wanita itu menahan napas, anggota tubuhnya ia pastikan tidak ada yang bergerak apalagi menimbulkan suara.
Perlahan-lahan, suara gesekan telapak kaki dengan dedaunan menghilang. Namun anehnya, suara itu tidak terasa menjauh dari tempat wanita itu sembunyi, suaranya menghilang begitu saja. Tunggu! Wanita itu mendengar samar-samar suara semak yang tersibak. Wanita itu memaksakan diri untuk tetap bersikap tenang.
Ctar! Kilat menyambar kembali. Wanita itu mendongak. Bayangan yang mengejarnya tadi ada didepannya. Wanita itu panik. Hutan kembali gelap, ia tidak bisa melihat apa pun lagi. Belum lima detik, kilat kembali muncul. Seseorang yang ada didepannya mengayunkan sebuah pisau. “TIDAK!”
“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya. “Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar. Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah
“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla. Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang. “Lehermu kenapa?” Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti. Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert
Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah
Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in
“Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya
Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya
Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah
Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men