"Sebelumnya saya minta maaf sama kalian berdua dan keluarga besar jika permintaan saya nanti terlalu berlebihan. Namun, sebagai seorang ayah, saya dan istri hanya ingin mengabulkan permintaan anak perempuan kami satu-satunya. Saya sangat menyayangi Tania dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya. Oleh karena itulah saya datang ke sini untuk membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini. Apapun hasilnya akan saya terima, yang penting saya sudah berusaha mengabulkan permintaannya," ujar Danang panjang lebar. Eros mengernyit. Dia benar-benar tak paham apa maksud Danang detik ini. Laki-laki itu pun menoleh pada Hanin yang hanya angkat bahu saat tatapan mereka bertemu. Bapak dan ibu juga saling tatap tak mengerti, sementara Eris dan Edo masih duduk bersisian di samping bapak. Mereka ngobrol entah apa dan tak terlalu fokus dengan kehadiran Danang di tengah-tengah mereka. "Hanin, tolong izinkan Tania menjadi madumu. Dia sangat mencintai Eros sedari dulu dan tak bisa melupakannya me
"Memangnya Tania sakit apa, Om?" tanya Hanin lirih setelah berhasil mengontrol emosinya. Perempuan dan laki-laki paruh baya itu pun saling tatap, lalu dengan berat hati Danang mengatakan apa yang sebenarnya terjadi tentang anak angkatnya itu. "Kanker otak stadium empat." Hanin tercekat, begitu pula Eros dan anggota keluarganya yang lain. Mereka saling tatap tak percaya dengan apa yang dikatakan Danang. Namun, laki-laki itu memberikan bukti hasil check up dan foto keadaan Tania sekarang. "Dia dirawat di rumah sakit Elisabeth. Om juga nggak tahu kapan Tania merasakan sakit itu karena dia selalu berusaha baik-baik saja di depan papa dan mamanya. Dia selalu ceria dan energik hingga kami tak tahu jika semua itu hanya caranya untuk menutupi rasa sakit yang dia derita." Danang kembali menjelaskan dengan mata berkaca. Hanin menghela napas panjang. Sebagai seorang perempuan, dia jelas tak terima jika dimadu dengan alasan apapun. Apalagi usia pernikahannya kali ini baru hitungan hari. Masi
Hanin dan Eros saling tatap beberapa saat. Seolah tahu keinginan Hanin, Eros pun terdiam. Dia membiarkan Hanin bicara dengan Tania tanpa pembelaan darinya."Kamu harus tahu, Tania. Buat apa aku bahagia jika usiamu tak lama lagi hidup di dunia? Lama ataupun tidak, tak terlalu berpengaruh pada hidupku. Aku akan tetap menjadi Hanin seperti dulu dan tak akan mengubah statusku sebagai istrinya Mas Eros. Ini takdirku. Bagaimana mungkin aku takut jika kamu merebutnya dariku? Allah yang akan menjaganya untukku jika memang dia adalah jodohku. Aku nggak pernah takut, Tania. Karena aku tahu, tak akan ada satu orang pun yang bisa mengubah takdir. Sekuat apapun dia." Hanin tersenyum tipis saat Tania membulatkan mata ke arahnya. Perempuan itu benar-benar tak menyangka jika Hanin akan membuatnya mati kutu seperti itu. Hanin yang dia pikir polos dan cenderung bo doh, ternyata tak sebo doh yang dia bayangkan. Hanin cukup lihai memainkan kosakata, membuatnya tak bisa berkata-kata. "Kehadiranku di sin
Hening. Rukmini melangkah tergesa meninggalkan kamar inap Tania setelah meluapkan segala rasa yang dipendamnya selama ini. Saat ini dia merasa lebih lega dan tenang. Setidaknya tak ada lagi hal yang mengganjal di dalam hatinya. Delima pun tak lagi bersimpuh di kaki Hanin setelah Danang membantunya berdiri. "Tunggu, Mbak!" Suara Delima menghentikan langkah Rukmini yang nyaris sampai di depan pintu. Delima buru-buru mendekati Rukmini karena tak ingin dia pergi begitu saja dan mengabaikan panggilannya. Wanita paruh baya itu tak menoleh. Rukmini hanya menghentikan langkah lalu menunggu suara selanjutnya. Dia bergeming saat mendengar langkah kaki mulai mendekatinya. Kini, dia dan Delima saling tatap dengan jarak satu langkah saja. "Kenapa? Mau merayuku untuk menyetujui permintaan anakmu? Maaf, Delima. Sampai matipun aku nggak akan setuju jika anak semata wayangku dimadu. Aku yakin betul tak ada kebahagiaan yang sempurna ketika suami memiliki istri dua atau tiga. Aku nggak akan rela anak
"Maaf jika selama ini aku sering membuatmu kecewa, Tan. Namun, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku sangat mencintai Hanin dan nggak mungkin menduakannya. Sekali lagi maafkan aku jika jawaban ini membuatmu kembali kecewa. Kita bersahabat sudah sangat lama. Aku tahu kamu bukanlah perempuan jahat. Aku yakin kelak akan ada lelaki baik dan spesial yang akan mencintaimu dengan tulus. Sekali lagi, apapun yg terjadi, aku nggak mau menyakiti Hanin. Jadi, aku minta berhentilah mengharapkanku karena sampai kapanpun aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabat, tak lebih dari itu." Eros berucap tegas sembari menatap Tania yang masih berbaring di ranjang sembari menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, Tania. Maaf jika aku tak bisa berbagi hati. Aku belum seikhlas itu." Kali ini Hanin ikut andil bicara. Mendadak Tania mendongak lalu tersenyum tipis meski kedua pipinya basah oleh air mata. Detik ini, dia benar-benar menyadari jika cinta tak bisa dipaksa. Dia sadar jika cinta butanya hanya akan
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k