Sepasang pengantin itu pun memasuki ruang kerja Eros yang tak terlalu lebar itu. Baru membuka pintu, Hanin cukup terkejut dengan pemandangan di dalam. Ruangan yang sederhana itu disulap menjadi indah, nyaris penuh dengan kelopak mawar di sana sini. "Apaan sih, Mas?" Hanin menggumam sembari menutup kedua mulutnya dengan telapak tangan. Tak ingin menjadi bahan tontonan beberapa karyawan, Eros buru-buru menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Melewati jalanan panjang seperti karpet merah dengan kelopak mawar, Eros menuntun Hanin duduk di kursi yang sudah disiapkan. Laki-laki itu memuji keterampilan Mala dan Susi yang menyusun ruang kerjanya sedemikian cantik sesuai dengan keinginannya. Dia berencana akan memberikan bonus untuk kedua karyawannya itu. "Apalagi ini, Mas?" tunjuk Hanin pada kotak kecil berwarna merah muda di tengah kelopak mawar yang berbentuk love itu. Hanin tersipu. Wajahnya merona melihat ruang kerja suaminya yang berubah drastis. Dia benar-benar tak menyangka men
Pagi ini Eros dan Hanin pamit pindah ke rumah baru mereka. Ibu dan bapak ikut bahagia melihat senyum dan raut wajah semringah anak dan menantunya. Begitu pula Rukmini, wanita itu menghela napas lega melihat anak semata wayangnya mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan selama ini. Kebahagiaan Eros dan Hanin membuat orang tua mereka sama-sama lega. Akhirnya setelah beragam ujian menerpa mereka, kini secercah bahagia menyapa. Tak hanya orang tua Eros yang bersyukur memiliki menantu seperti Hanin. Rukmini pun merasa beruntung memiliki menantu seperti Eros yang tak hanya menyayangi Hanin, tapi juga menyayanginya. Perhatian dan cinta Eros terasa tulus dan tak mengada-ada. Rukmini bisa membedakan bagaimana perhatian tulus Eros dan perhatian Eris yang nyatanya hanya sandiwara belaka. Rukmini sudah sibuk menyiapkan perlengkapan untuk syukuran kecil-kecilan di rumah baru Hanin. Yuningsih pun sama sibuknya. Ibu Hanin dan Eros itu memang tampak akur sedari dulu. Saling membantu satu sama lain
"Sebelumnya saya minta maaf sama kalian berdua dan keluarga besar jika permintaan saya nanti terlalu berlebihan. Namun, sebagai seorang ayah, saya dan istri hanya ingin mengabulkan permintaan anak perempuan kami satu-satunya. Saya sangat menyayangi Tania dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya. Oleh karena itulah saya datang ke sini untuk membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini. Apapun hasilnya akan saya terima, yang penting saya sudah berusaha mengabulkan permintaannya," ujar Danang panjang lebar. Eros mengernyit. Dia benar-benar tak paham apa maksud Danang detik ini. Laki-laki itu pun menoleh pada Hanin yang hanya angkat bahu saat tatapan mereka bertemu. Bapak dan ibu juga saling tatap tak mengerti, sementara Eris dan Edo masih duduk bersisian di samping bapak. Mereka ngobrol entah apa dan tak terlalu fokus dengan kehadiran Danang di tengah-tengah mereka. "Hanin, tolong izinkan Tania menjadi madumu. Dia sangat mencintai Eros sedari dulu dan tak bisa melupakannya me
"Memangnya Tania sakit apa, Om?" tanya Hanin lirih setelah berhasil mengontrol emosinya. Perempuan dan laki-laki paruh baya itu pun saling tatap, lalu dengan berat hati Danang mengatakan apa yang sebenarnya terjadi tentang anak angkatnya itu. "Kanker otak stadium empat." Hanin tercekat, begitu pula Eros dan anggota keluarganya yang lain. Mereka saling tatap tak percaya dengan apa yang dikatakan Danang. Namun, laki-laki itu memberikan bukti hasil check up dan foto keadaan Tania sekarang. "Dia dirawat di rumah sakit Elisabeth. Om juga nggak tahu kapan Tania merasakan sakit itu karena dia selalu berusaha baik-baik saja di depan papa dan mamanya. Dia selalu ceria dan energik hingga kami tak tahu jika semua itu hanya caranya untuk menutupi rasa sakit yang dia derita." Danang kembali menjelaskan dengan mata berkaca. Hanin menghela napas panjang. Sebagai seorang perempuan, dia jelas tak terima jika dimadu dengan alasan apapun. Apalagi usia pernikahannya kali ini baru hitungan hari. Masi
Hanin dan Eros saling tatap beberapa saat. Seolah tahu keinginan Hanin, Eros pun terdiam. Dia membiarkan Hanin bicara dengan Tania tanpa pembelaan darinya."Kamu harus tahu, Tania. Buat apa aku bahagia jika usiamu tak lama lagi hidup di dunia? Lama ataupun tidak, tak terlalu berpengaruh pada hidupku. Aku akan tetap menjadi Hanin seperti dulu dan tak akan mengubah statusku sebagai istrinya Mas Eros. Ini takdirku. Bagaimana mungkin aku takut jika kamu merebutnya dariku? Allah yang akan menjaganya untukku jika memang dia adalah jodohku. Aku nggak pernah takut, Tania. Karena aku tahu, tak akan ada satu orang pun yang bisa mengubah takdir. Sekuat apapun dia." Hanin tersenyum tipis saat Tania membulatkan mata ke arahnya. Perempuan itu benar-benar tak menyangka jika Hanin akan membuatnya mati kutu seperti itu. Hanin yang dia pikir polos dan cenderung bo doh, ternyata tak sebo doh yang dia bayangkan. Hanin cukup lihai memainkan kosakata, membuatnya tak bisa berkata-kata. "Kehadiranku di sin
Hening. Rukmini melangkah tergesa meninggalkan kamar inap Tania setelah meluapkan segala rasa yang dipendamnya selama ini. Saat ini dia merasa lebih lega dan tenang. Setidaknya tak ada lagi hal yang mengganjal di dalam hatinya. Delima pun tak lagi bersimpuh di kaki Hanin setelah Danang membantunya berdiri. "Tunggu, Mbak!" Suara Delima menghentikan langkah Rukmini yang nyaris sampai di depan pintu. Delima buru-buru mendekati Rukmini karena tak ingin dia pergi begitu saja dan mengabaikan panggilannya. Wanita paruh baya itu tak menoleh. Rukmini hanya menghentikan langkah lalu menunggu suara selanjutnya. Dia bergeming saat mendengar langkah kaki mulai mendekatinya. Kini, dia dan Delima saling tatap dengan jarak satu langkah saja. "Kenapa? Mau merayuku untuk menyetujui permintaan anakmu? Maaf, Delima. Sampai matipun aku nggak akan setuju jika anak semata wayangku dimadu. Aku yakin betul tak ada kebahagiaan yang sempurna ketika suami memiliki istri dua atau tiga. Aku nggak akan rela anak
"Maaf jika selama ini aku sering membuatmu kecewa, Tan. Namun, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku sangat mencintai Hanin dan nggak mungkin menduakannya. Sekali lagi maafkan aku jika jawaban ini membuatmu kembali kecewa. Kita bersahabat sudah sangat lama. Aku tahu kamu bukanlah perempuan jahat. Aku yakin kelak akan ada lelaki baik dan spesial yang akan mencintaimu dengan tulus. Sekali lagi, apapun yg terjadi, aku nggak mau menyakiti Hanin. Jadi, aku minta berhentilah mengharapkanku karena sampai kapanpun aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabat, tak lebih dari itu." Eros berucap tegas sembari menatap Tania yang masih berbaring di ranjang sembari menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, Tania. Maaf jika aku tak bisa berbagi hati. Aku belum seikhlas itu." Kali ini Hanin ikut andil bicara. Mendadak Tania mendongak lalu tersenyum tipis meski kedua pipinya basah oleh air mata. Detik ini, dia benar-benar menyadari jika cinta tak bisa dipaksa. Dia sadar jika cinta butanya hanya akan
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan