Tangan Eros mengepal dengan gigi bergemeletuk. Dia benar-benar emosi melihat istrinya diperlakukan seperti ini. Perlahan membuka lakban di mulut Hanin lalu melepaskan ikatan tangannya. Keduanya pun saling tatap penuh keharuan."Sayang, kamu nggak apa-apa kan? Apa mereka melukaimu? Mereka benar-benar kurang aj*r, aku pasti akan membalas perlakuan mereka padamu, Sayang." Hanin tak membalas sepatah katapun. Melihat ekspresi istrinya yang begitu shock, Eros memegang kedua pipi Hanin lalu mengusap pipi dan sudut matanya yang basah. Dengan penuh cinta, Eros merapikan rambut panjang Hanin yang berantakan. Setelah itu mengambil hijab berwarna coklat milik Hanin yang tergeletak di lantai. Hanin benar-benar ketakutan. Dia berulang kali mengucap istighfar tiap mengingat kejadian mengerikan yang nyaris merenggut harga dirinya barusan. Hanin terisak di dada Eros yang terus berusaha menenangkannya, mengusap rambutnya pelan dan mencium puncak kepalanya. Kedua matanya memerah menahan amarah. Dia be
Di tengah persembunyiannya, Fika mulai kalut. Dia benar-benar ketakutan dan tak menyangka jika rencananya untuk menyakiti Hanin gagal total. Fika sebelumnya hanya ingin membuat Eros merasa jijik pada istrinya, tapi ternyata justru dia yang terjebak pada rencana busuknya sendiri. Seperti senjata makan tuan, dua lelaki kekar yang dia percaya itu justru memerasnya. Fika dijadikan budak dan diancam oleh anak buahnya sendiri. Fika mulai frustasi. Ajang balas dendamnya pada Hanin yang akhir-akhir ini selalu disebut Eris dalam tidurnya ternyata justru membuatnya tersudut. Dia tak bisa mendapatkan kembali cinta dan perhatian suaminya, bahkan sekarang terlibat masalah besar karena ketahuan berdusta dan merencanakan sesuatu yang fatal. Sebagai seorang perempuan, tindakannya kali ini memang benar-benar keterlaluan. Dia terlalu kelewat batas. Fika mulai berpikir keras. Bersembunyi sehari dua hari mungkin tak jadi soal, tapi bagaimana jika tabungannya habis? Bagaimana pula dia meredam kerinduann
[Kabur kemana kamu, Fik? Sampai lubang semut pun aku bakal cari kamu dan nggak akan membiarkanmu bebas begitu saja, Fika!]Pesan dari Eros membuat Fika tercekat. Dia tahu jika saat ini saudara kembar suaminya itu sangat emosi. Terlihat dari kalimatnya yang penuh penekanan dan ancaman. Fika hanya bisa menggigit bibir bawahnya karena mulai cemas dan takut. Tak ada yang bisa diajak kompromi dan semua seolah menyudutkannya sampai dasar bumi. Fika mulai kehilangan kendali dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat awal merencanakan semua itu, dia memang terlalu tersulut emosi dan cemburu hingga tak bisa berpikir jernih. Dia tak mencoba menimbang segala sesuatunya, tak memikirkan akibat yang akan terjadi karena ulahnya. Fika hanya berpikir sesaat untuk balas dendam dan membuat Hanin ternoda. Itu saja. Sekarang, saat semua gagal, masalah demi masalah benar-benar mengejarnya. Dia tak bisa berpikir dengan tenang lagi karena selalu diliputi gelisah dan takut. Sebagai seorang istri dan ibu, Fika
Pulang dari rumah penyekapan itu, Eros mengajak Hanin ke rumah sakit untuk melakukan visum. Selain begitu mengkhawatirkan keadaan Hanin yang melihat sangat shock, Eros juga ingin memiliki bukti lain untuk menguatkan keputusannya menjebloskan Fika dan gerombolannya ke penjara. Laki-laki bercambang tipis itu tak rela melihat istri yang begitu dicintainya diperlakukan semena-menaa. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keadilan dan membuat pelakunya jera dan tak mengulangi keslaahan yang sama di kemudian hari, terutama Fika. Eros ingin menghentikan sepak terjang Fika yang sudah kelewat batas menurutnya. Eros tak mungkin membiarkan para pelaku itu bebas dan menerima hukuman apa kadarnya. Dia ingin memperjuangkan hak Hanin. Dia tak ikhlas melihat Hanin sampai tak berdaya dengan ikatan kuat di kedua tangan dan kakinya. Tak hanya itu saja, bahkan mulutnya disumpal dengan kain dan dilakban sampai memar. Baginya, tindakan mereka benar-benar tak berperikemanusiaan. Eros tak
Anak buah Fika sudah berada di kantor polisi. Kini giliran Eris yang masih berusaha menjebak Fika agar dia pulang, tapi rupanya perempuan itu banyak akalnya. Dia sudah bisa menebak dan mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya. Belasan kali panggilan dan pesan dari Eris, tak sekalipun ditanggapi Fika. Dia sengaja mengabaikan semua yang berhubungan dengan Eris dan keluarganya karena tak ingin mereka tahu dimana dia berada. Pesan-pesan terbaru dari Eris pun tak ada yang dibalas. Bahkan Fika sengaja mematikan handphonenya semalaman dan belum mengaktifkannya lagi sampai sekarang. "Apa rencanamu sekarang, Ros? Fika nggak bisa dihubungi sejak semalam. Nomornya nggak aktif. Pesan-pesanku pun cuma dibaca tanpa dibalas," ucap Eris sembari menghela napas panjang. Saat ini Eris memang memilih bekerja sama dengan Eros untuk menjebak istrinya sendiri. Dia sudah muak dengan sikap Fika yang benar-benar di luar batas nalarnya. Dia malas berdebat dengan perempuan itu. Eris berpikir, mungkin m
"Maaf kalau aku terus merepotkan ibu dan bapak. Mau nggak mau, saat ini aku terpaksa harus mengajak Edo untuk tinggal di sini lagi. Rasanya nggak mungkin tinggal di kontrakan sama Edo dan Mbak Sri saja. Takutnya malah ada fitnah di antara kami berdua karena nggak ada Fika di sana." Eris duduk di sofa ruang tengah sembari mengusap kepala anak lelakinya. Ibu manggut-manggut mengerti, begitu pula dengan bapak. "Sekarang Mbak Sri di mana? Kamu pecat dia?" tanya ibu kemudian. "Nggak dipecat, Bu. Sekarang Mbak Sri masih beberes di kontrakan. Besok biar kujemput. Jadi, bisa bantu-bantu ibu juga di sini. Maaf kalau keputusan ini terkesan cukup mendadak dan nggak berunding dengan ibu, bapak dulu." Eris menambahkan. "Keputusanmu sudah betul, Ris. Nggak elok juga cuma kalian yang tinggal di sana. Meski tak melakukan hal aneh-aneh, tapi bujukan syetan bisa datang kapan saja apalagi Mbak Sri masih lumayan muda." Ibu menimpali dengan senyum hangat seperti biasanya. Eris menghela napas lega. Set
"Paman, Bibi? Ngapain kalian ke sini?" tanya Eris setelah melihat tamu yang datang ke rumah orang tuanya itu. "Kami ada urusan sama Eros." Paman buru-buru membalas lalu menarik lengan Mas Eros kasar. Laki-laki itu nyaris memberi Eros sebuah bogem mentah tanpa alasan jelas, tapi Eros berhasil menangkisnya. "Paman ke sini buat bertamu atau memang sengaja mengajakku berantem? Kalau opsi kedua, jelas paman bukan lawan saya!" Eros sedikit meninggikan suaranya. Kedua laki-laki beda usia itu pun saling tatap."Kami ke sini karena nggak setuju kalian menjebloskan Fika ke penjara. Fika itu bagian dari keluarga kalian juga. Teganya kalian menjebloskan dia ke tahanan!" sentak Agus, paman Fika lagi. "Dia dijebloskan ke penjara karena melakukan kriminal, Paman. Kalau anteng aja juga nggak bakal di bui." Eros menatap lekat tamu di depannya. "Kriminal atau nggak, seharusnya kalian bisa menyelesaikannya secara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi seperti ini. Kami yakin Fika nggak sejahat itu kok
[Maaf, Mas Eris. Fika pingsan dan sekarang dibawa ke klinik. Sepertinya Fika sangat stres karena masalah ini. Apa nggak sebaiknya Mas Eris jenguk dia sebentar saja? Mungkin dengan kedatangan Mas Eris bisa membuatnya sedikit membaik dan lebih bersemangat lagi] Belum sempat membalas pesan dari Vivian, pesan kedua muncul di layar. [Aku barusan jenguk Fika. Kasihan sekali, Mas. Rasanya nggak tega lihat Fika yang sebelumnya selalu ceria berubah murung dan frustasi seperti itu. Dia butuh support dari orang-orang terdekatnya, khususnya kamu. Datanglah, Mas. Aku yakin dia menunggu kedatanganmu. Setidaknya dengan kedatanganmu dia memiliki semangat baru yang mungkin saat ini nyaris padam] Pesan dari Vivian kembali muncul di layar. Eris malas membalas panjang lebar. Dia hanya mengirimkan kata "ok" sebagai balasan. Eris paham jika apapun yang terjadi Vivian tentu akan membela sahabatnya dengan dalih apapun, karena Fika pasti menceritakan hal yang berbeda pada Vivian untuk mendapatkan simpatiny
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan