[Kabur kemana kamu, Fik? Sampai lubang semut pun aku bakal cari kamu dan nggak akan membiarkanmu bebas begitu saja, Fika!]Pesan dari Eros membuat Fika tercekat. Dia tahu jika saat ini saudara kembar suaminya itu sangat emosi. Terlihat dari kalimatnya yang penuh penekanan dan ancaman. Fika hanya bisa menggigit bibir bawahnya karena mulai cemas dan takut. Tak ada yang bisa diajak kompromi dan semua seolah menyudutkannya sampai dasar bumi. Fika mulai kehilangan kendali dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat awal merencanakan semua itu, dia memang terlalu tersulut emosi dan cemburu hingga tak bisa berpikir jernih. Dia tak mencoba menimbang segala sesuatunya, tak memikirkan akibat yang akan terjadi karena ulahnya. Fika hanya berpikir sesaat untuk balas dendam dan membuat Hanin ternoda. Itu saja. Sekarang, saat semua gagal, masalah demi masalah benar-benar mengejarnya. Dia tak bisa berpikir dengan tenang lagi karena selalu diliputi gelisah dan takut. Sebagai seorang istri dan ibu, Fika
Pulang dari rumah penyekapan itu, Eros mengajak Hanin ke rumah sakit untuk melakukan visum. Selain begitu mengkhawatirkan keadaan Hanin yang melihat sangat shock, Eros juga ingin memiliki bukti lain untuk menguatkan keputusannya menjebloskan Fika dan gerombolannya ke penjara. Laki-laki bercambang tipis itu tak rela melihat istri yang begitu dicintainya diperlakukan semena-menaa. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keadilan dan membuat pelakunya jera dan tak mengulangi keslaahan yang sama di kemudian hari, terutama Fika. Eros ingin menghentikan sepak terjang Fika yang sudah kelewat batas menurutnya. Eros tak mungkin membiarkan para pelaku itu bebas dan menerima hukuman apa kadarnya. Dia ingin memperjuangkan hak Hanin. Dia tak ikhlas melihat Hanin sampai tak berdaya dengan ikatan kuat di kedua tangan dan kakinya. Tak hanya itu saja, bahkan mulutnya disumpal dengan kain dan dilakban sampai memar. Baginya, tindakan mereka benar-benar tak berperikemanusiaan. Eros tak
Anak buah Fika sudah berada di kantor polisi. Kini giliran Eris yang masih berusaha menjebak Fika agar dia pulang, tapi rupanya perempuan itu banyak akalnya. Dia sudah bisa menebak dan mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya. Belasan kali panggilan dan pesan dari Eris, tak sekalipun ditanggapi Fika. Dia sengaja mengabaikan semua yang berhubungan dengan Eris dan keluarganya karena tak ingin mereka tahu dimana dia berada. Pesan-pesan terbaru dari Eris pun tak ada yang dibalas. Bahkan Fika sengaja mematikan handphonenya semalaman dan belum mengaktifkannya lagi sampai sekarang. "Apa rencanamu sekarang, Ros? Fika nggak bisa dihubungi sejak semalam. Nomornya nggak aktif. Pesan-pesanku pun cuma dibaca tanpa dibalas," ucap Eris sembari menghela napas panjang. Saat ini Eris memang memilih bekerja sama dengan Eros untuk menjebak istrinya sendiri. Dia sudah muak dengan sikap Fika yang benar-benar di luar batas nalarnya. Dia malas berdebat dengan perempuan itu. Eris berpikir, mungkin m
"Maaf kalau aku terus merepotkan ibu dan bapak. Mau nggak mau, saat ini aku terpaksa harus mengajak Edo untuk tinggal di sini lagi. Rasanya nggak mungkin tinggal di kontrakan sama Edo dan Mbak Sri saja. Takutnya malah ada fitnah di antara kami berdua karena nggak ada Fika di sana." Eris duduk di sofa ruang tengah sembari mengusap kepala anak lelakinya. Ibu manggut-manggut mengerti, begitu pula dengan bapak. "Sekarang Mbak Sri di mana? Kamu pecat dia?" tanya ibu kemudian. "Nggak dipecat, Bu. Sekarang Mbak Sri masih beberes di kontrakan. Besok biar kujemput. Jadi, bisa bantu-bantu ibu juga di sini. Maaf kalau keputusan ini terkesan cukup mendadak dan nggak berunding dengan ibu, bapak dulu." Eris menambahkan. "Keputusanmu sudah betul, Ris. Nggak elok juga cuma kalian yang tinggal di sana. Meski tak melakukan hal aneh-aneh, tapi bujukan syetan bisa datang kapan saja apalagi Mbak Sri masih lumayan muda." Ibu menimpali dengan senyum hangat seperti biasanya. Eris menghela napas lega. Set
"Paman, Bibi? Ngapain kalian ke sini?" tanya Eris setelah melihat tamu yang datang ke rumah orang tuanya itu. "Kami ada urusan sama Eros." Paman buru-buru membalas lalu menarik lengan Mas Eros kasar. Laki-laki itu nyaris memberi Eros sebuah bogem mentah tanpa alasan jelas, tapi Eros berhasil menangkisnya. "Paman ke sini buat bertamu atau memang sengaja mengajakku berantem? Kalau opsi kedua, jelas paman bukan lawan saya!" Eros sedikit meninggikan suaranya. Kedua laki-laki beda usia itu pun saling tatap."Kami ke sini karena nggak setuju kalian menjebloskan Fika ke penjara. Fika itu bagian dari keluarga kalian juga. Teganya kalian menjebloskan dia ke tahanan!" sentak Agus, paman Fika lagi. "Dia dijebloskan ke penjara karena melakukan kriminal, Paman. Kalau anteng aja juga nggak bakal di bui." Eros menatap lekat tamu di depannya. "Kriminal atau nggak, seharusnya kalian bisa menyelesaikannya secara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi seperti ini. Kami yakin Fika nggak sejahat itu kok
[Maaf, Mas Eris. Fika pingsan dan sekarang dibawa ke klinik. Sepertinya Fika sangat stres karena masalah ini. Apa nggak sebaiknya Mas Eris jenguk dia sebentar saja? Mungkin dengan kedatangan Mas Eris bisa membuatnya sedikit membaik dan lebih bersemangat lagi] Belum sempat membalas pesan dari Vivian, pesan kedua muncul di layar. [Aku barusan jenguk Fika. Kasihan sekali, Mas. Rasanya nggak tega lihat Fika yang sebelumnya selalu ceria berubah murung dan frustasi seperti itu. Dia butuh support dari orang-orang terdekatnya, khususnya kamu. Datanglah, Mas. Aku yakin dia menunggu kedatanganmu. Setidaknya dengan kedatanganmu dia memiliki semangat baru yang mungkin saat ini nyaris padam] Pesan dari Vivian kembali muncul di layar. Eris malas membalas panjang lebar. Dia hanya mengirimkan kata "ok" sebagai balasan. Eris paham jika apapun yang terjadi Vivian tentu akan membela sahabatnya dengan dalih apapun, karena Fika pasti menceritakan hal yang berbeda pada Vivian untuk mendapatkan simpatiny
"Pa! Kenapa papa nggak mau bantu aku untuk dapatkan Eros? Apakah ada hubungan khusus antara papa dengan Hanin atau ibunya Hanin?" tanya Tania saat melihat papanya duduk santai di sofa ruang tengah. Danang menoleh lalu lirik kanan kiri takut jika istrinya mendengar pertanyaan Tania tentang Hanin dan ibunya. Selama ini Delima terlalu cemburu jika Danang masih mengingat mantan istrinya itu. Delima mengira semenjak menikah dengannya, Danang tak pernah bertemu dengan Rukmini. Padahal dua bulan terakhir Danang justru sering menemuinya tanpa sepengetahuan Delima. "Kenapa wajah papa mendadak pias begitu? Apa kecurigaanku selama ini benar? Papa punya hubungan khusus dengan ibunya Hanin?" tanya Tania lagi. Dia tahu jika Danang memiliki hubungan spesial dengan keluarga Hanin di masa lalu. Namun, dia belum tahu jika Rukmini pernah menjadi istri papanya. Tania pikir mereka sekadar menjalin hubungan cinta lalu putus begitu saja setelah papanya memilih Delima sebagai pasangan hidupnya. "Jangan bi
Delima masih membisu tak membalas sepatah katapun pertanyaan suaminya. Dia mulai menyadari jika apa yang dijelaskan suaminya tadi ada benarnya juga. Teringat kembali dengan kisahnya di masa lalu. Delima juga sempat dituding sebagai pelakor karena sudah memisahkan Danang dengan Rukmini. Kini, Delima tak ingin Tania mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Dituding sebagai pelakor dan dikucilkan banyak orang akan membuat dunianya suram. "Gimana, Ma? Menurut mama, sikap papa sudah benar kan?" tanya Danang kemudian. Pertanyaan dari suaminya itu membuat Delima sedikit salah tingkah. Tanpa menatap suami dan anak perempuannya, Delima mengiyakan ucapan Danang. Melihat dukungan sang mama pada papanya, Tania meradang. Dia mendengkus kesal. "Mama! Kenapa mama sekarang mendukung papa juga? Apa karena aku bukan anak kandung mama, jadi mama tak terlalu peduli dengan kebahagiaan dan masa depanku?" ucap Tania tergugu. Dia tahu asal usulnya itu setelah mengikuti Danang diam-diam dan mendengarkan