"Kenapa bisa separah itu? Apakah Hilmi terjatuh atau ketabrak atau apa?""Tidak, Bu. Tadi pagi kan Hilmi membantu saya masak untuk acara pengajian mingguan. mbak Hilmi sudah tak mengerjakan yang berat-berat, karena semua ibu-ibu melarang. Tiba-tiba siang tadi mbak Hilmi keringetan parah dan wajahnya pucat sekali, lalu pingsan. Saat pingsan kami berusaha menyadarkan mbak Hilmi dengan mengolesi minyak kayu putih, tapi sejam lebih gak sadarkan diri, membuat kami panik hingga akhirnya memutuskan membawa mbak Hilmi ke rumah sakit. Tiba-tiba di perjalanan ada darah merembes dari jalan lahirnya," jelas Umi Zakia kepada mama Agni yang menghembuskan nafas dengan berat."Tuhan, selamatkan cucuku." gumamnya."Ma, tolong jelaskan semua ini!" pinta Arfan dengan menatap dalam kedua netra mama Agni."Apa yang perlu mama jelaskan Arfan, bukankah sudah jelas kalau anak yang di kandung Hilmi itu cucu mama yang membuat mama berada disini saat ini.""Apakah itu artinya, bayi yang di kandung Hilmi anakku?
Ada rasa tak terima di hati Zidan saat mendengar kalau Hilmi mencari Arfan, lelaki yang menurutnya sudah mencampakkan Hilmi. Namun, dia juga tak berharap kalau dirinya yang di cari oleh wanita yang tengah terbaring lemah di ruang ICU sana."Umi, sebaiknya kita pulang dulu saja, Abah pasti sudah menunggu dari tadi," ajaknya kepada sang ibu."Bagaimana dengan Hilmi, Zidan?""Umi, sudah ada mereka yang menjaga dan menunggui Hilmi. Besok Zidan antarkan umi ke sini lagi," ujarnya sambil menunjuk Rian dan mama Agni yang menunggu di depan ruang ICU."Baiklah, umi mau pamitan dulu sama mereka.""Zidan keluarin mobil dulu dari parkiran,""Iya."Pemuda yang usianya hampir tiga puluh tahun itu pun berlalu meninggalkan ruang tunggu. Meskipun hatinya menolak keras untuk pergi, karena rasa khawatir yang begitu besar akan wanita yang bukan siapa-siapa bagi dirinya, akan wanita yang sempat di bencinya karena sudah dianggap merebut semua perhatian uminya dari dirinya. Moodnya sedang tidak baik-baik sa
"Ya, aku ada di sini, untukmu dan calon anak kita." Jawab Arfan dengan senyum yang mengembang di wajahnya.Hilmi terbelalak mendengan penuturan Arfan, "Kamu sudah tahu tentangnya?" Tanyanya dengan ragu."Ya aku tahu. Kamu tenang saja, jangan berpikir yang macam-macam dulu. Kamu harus fokus pada kesembuhan kamu agar anak kita bisa berkembang dengan baik di rahim kamu." Kata Arfan yang mengerti akan ketakutan Hilmi. Dokter datang dan mulai memeriksa kondisi Hilmi. Alhamdulillah, kondisinya sudah lebih baik dari siang tadi dan itu berkat kedatangan Arfan meskipun ketika Arfan datang dan menggenggam tangan Hilmi saat di ruang ICU, wanita itu tetap tak sadarkan diri, tapi Hilmi sudah tak memanggil nama Arfan lagi seolah merasakan kehadiran lelaki yang merupakan ayah kandung dari janin yang ada di perutnya. Selesai memeriksa Hilmi, dokter kembali ke ruangannya, sedangkan Arfan ia sibuk menanyakan Hilmi ingin makan apa dan menanyakan apa yang dirasakan oleh wanita itu.Hilmi senang Arfan ad
Di lain tempat, tepatnya di sebuah rumah mewah yang ada di kawasan perumahan elit tampak seorang perempuan sedang berkutat di dapur ditemani seorang art dan seorang anak laki-laki yang duduk anteng di kursi dekat bar dapur."Selesai!!" serunya senang setelah berhasil memindahkan masakan yang ada di wajan ke dalam kotak tupperware dan meletakkan di atas meja."Hoyeee! Mama, kita jadi 'kan yang au ke kantoy papa?" Rico, dengan suara cadelnya berbicara dengan begitu antusias saat melihat masakan yang di masak sang mama sudah masak. Bocah itu begitu bersemangat karena akan bertemu dengan sang papa. Arfan yang beberapa hari ini begitu sibuk bahkan Taka dan waktu bermain dengan Rico, membuat bocah itu begitu merindukan Arfan."Jadi dong, Sayang. Sekarang Rico mandi dulu biar wangi nanti saat papa cium Rico. Oke?""Oce, Mamaaa!" Seru Rico dengan penuh semangatKini Rico tampak semakin tampan dengan setelannya yang cassual. Celana jeans selutut di padukan dengan Hem kotak-kotak berwana merah
"Ngelamunin apa toh, Le?"Zidan terperanjat saat sebuah tepukan hinggap di bahunya. Dia yang sejak tadi duduk di teras depan rumah. Kopi dan bakwan yang semula masih mengepulkan asap, kini sudah tak lagi. Dingin dan berampas adalah kondisi gorengan serta kopi yang tak disentuh sama sekali oleh Zidan."Eh, Ummi. Ngagetin ajah tahu nggak!""Ah, kamu ini. Padahal Ummi hanya menepuk pelan loh punggung kamu. Kamunya ajah yang melamun hingga tak menyadari kehadiran Ummi. Bahkan kopi dan bakwan rasanya juga tidak kamu sadari kalau sudah pada dingin." ujar Ummi Zakia seraya duduk di kursi yang ada di seberang tempat duduk Zidan."Ih, siapa yang melamun sih, Ummi. Aku hanya melihat burung yang beterbangan itu. Andai aku bisa terbang, tentu aku sudah membawa Ummi ....""Halah kamu ini, ada ajah buat ngelesnya!"Zidan hanya menggaruk dahinya yang tak gatal. Kemudian dia meraih cangkir yang berisi kopi dan meneguknya, Zidan terkejut karena kopinya sudah sangat dingin tak ada hangat-hangatnya sama
"Stop! Perutku kram, Mas!" pinta Hilmi yang kini sudah meringis memegangi perut bagian bawahnya.Seketika Arfan menghentikan tarikannya pada tangan Hilmi. Beruntung mereka sudah keluar dari dari mall. Lelaki itu menatap khawatir pada Hilmi. Celingukan Arfan mencari tempat duduk yang tak jauh darinya, setelah dapat gegas ia membawa Hilmi untuk duduk di kursi tersebut.Hilmi menyenderkan tubuhnya dan berusaha mengatur nafas hingga kram yang dirasakannya sudah mulai mereda."Maaf, maafkan aku. Apakah masih terasa sakit?" tanya Arfan menatap cemas pada Hilmi."Sudah mendingan. Lebih baik sekarang kita pulang saja, Mas. Aku takut Fika mendapati kita di sini," ajak Hilmi yang memejamkan matanya."Baiklah, sekali lagi aku minta maaf. Semoga tak terjadi apa-apa pada anak kita,""Insyaallah nggak. Kram sudah biasa terjadi pada orang hamil."Arfan menuntun Hilmi menuju mobil, dia membuka pintu mobil, setelah memastikan Hilmi duduk dengan nyaman, Arfan menutup kembali pintu mobilnya dan berlari
."Wah, lagi pada ngumpul toh. Boleh saya ikutan ngumpul-ngumpulnya?" tanya umi Zakia pura-pura gak tahu akan pembahasan mereka sebelumnya."Hehe, ini lagi nanya-nanya saja ke Hilmi perihal lelaki yang sering berkunjung ke kontrakannya beberapa bulan terakhir ini." seseibu dengan gamblangnya memberitahukan maksud kedatangan mereka pagi ini ke rumah Hilmi."Walah, emangnya kenapa toh?""Ya, ya kan ... kan kesannya mereka ini kayak pasangan kumpul kebo gitu loh, Umi. Soalnya si lelaki pulangnya sering larut malam.""Memangnya mereka cuma berdua di dalam rumah?""Ya nggak sih. Sama itu siapa itu ibu-ibu yang juga sering datang ke sini,""Nah, kalau ada orang lain selain mereka berdua kenapa berpikiran yang negatif? Toh mbak Hilmi juga ada Rian kan di rumah?""Iya sih, Umi. Tapi meresahkan saja kepada kami para tetangganya,""Ya sudah. Nanti tak nasihati mbak Hilminya biar nggak terlalu sering menerima tamu laki-laki yang bukan keluarganya.""Nah iya, Umi, setuju. Kalau Umi yang ngomong p
Ummi Zakia tetap terlihat gelisah, setiap kata demi kata yang Zidan lontarkan tak mampu menenangkan hatinya. Ia masih sangat takut, takut sang anak tak bahagia, takut sang anak menyakiti istrinya."Zidan, jangan membuat Abah bahagia dengan menghancurkan kebahagiaanmu. Abah tak memaksamu menikah dengan Aina, Nak. Tolong, carilah kebahagiaanmu sendiri. Jika kau sedang patah hati, tatalah dulu hatimu. Jika kau berniat menikahi wanita lain, pastikan dulu hatimu tidak terikat pada satu pun wanita. Lepaskan dulu perasaanmu, baru mencari yang lain yang bisa membahagiakanmu."Hal yang wajar ketika seorang anak apalagi anak lelaki memutuskan menikah hanya karena terpaksa. Hanya sebuah pelarian. Sebagai seorang ibu, Ummi Zakia takut Zidan dzolim pada istrinya dan mengabaikan hak dan kewajibannya. Dan berpikir sebagai sesama wanita, tentu wanita manapun akan sakit hati ketika memiliki suami yang mencintai wanita lain. Memiliki suami yang tak bisa membahagiakannya. Memiliki suami yang tak menghar
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t
Tiba-tiba Rian keluar dari kamar Hilmi dan meminta tolong pada Zidan membuat Zidan berhenti merenung. Penampilan Rian sudah acak-acakan, bocah remaja itu tampak berpenampilan semarawut dengan wajah yang terlihat begitu kusut."Sama ibu saja, ibu akan mengantarkan kalian ke rumah sakit." tawar mama Agni yang memang sejak tadi tidak pulang.Jangankan menjawab, menoleh saja Rian enggan pada wanita paruh baya yang matanya terlihat begitu sembab itu.Zidan dan Ummi Zakia menoleh ke arah mama Agni, lalu bergantian pada Rian yang masih menatap Zidan seolah keberadaan mama Agni tak kasat mata bagi Rian."Ayo!" Jawab Zidan menyetujui ajakan Rian.Setelahnya, mereka berangkat ke rumah sakit dengan Zidan yang mengemudi motor, dan Rian berada di jok belakang dengan menggendong Hilmi. Rian benar-benar mengabaikan tawaran mama Agni untuk menggunakan mobil milik mantan mertua Hilmi tersebut.Meskipun mendapat penolakan dan mendapati sikap dingin dari Rian,mam Agni tetap mengikuti mereka menuju rumah
"Fan, kenapa kamu diam? Jawab pertanyaan Mama!" Bentak mama Agni pada putranya tersebut."Maaf, Ma. Arfan minta maaf." Arfan menjeda ucapannya, "Awalnya Arfan tak menyetujui niatan Fika, tapi mendengar usulan Mama waktu di restoran tadi pagi membuat Arfan yakin untuk menyetujui permintaan Fika. Ini demi kebaikan kita bersama, Ma." penjelasan Arfan membuat Hilmi mematung."Ja-jadi, kamu sudah tahu maksud kedatangan Fika, Mas? Kamu mau misahin aku dari Naila?" Tanya Hilmi dengan suara yang gemetar.Arfan duduk berjongkok di hadapan Hilmi, kemudian ia memegang kedua tangan Hilmi sambil menatap lekat pada manik mata yang kembali mengeluarkan cairannya itu, "Dengerin aku dulu, percayalah padaku, Naila akan lebih baik bersamaku dan Fika. Naila akan terjamin kebahagiaannya dengan di asuh oleh orang tua yang lengkap sebagaimana saran mama. Aku akan ... ""Arfan! Orang tua yang lengkap maksud mama itu kamu dan Hilmi, orang tua Naila, bukan kamu dan Fika!" Bentak mama Agni memotong ucapan Arfan
Kemudian pandangan Fika berpusat pada Hilmi, "Ini adalah kompensasi yang akan di terima olehmu sebagai ganti dari bayi itu. Jumlah keseluruhan uang yang ada di dalam koper ini senilai 1 Miliar sesuai yang tertera dalam lembaran perjanjian itu. Jadi, dengan uang ini kamu akan hidup lebih layak lagi dan kamu pasti bisa membeli rumah yang jauh lebih bagus dari rumah yang bagaikan kandang kambing ini." ujarnya dengan kalimat ejekan di akhirnya membuat ibu pemilik kontrakan yang juga ada disana menahan geram akan ucapan Fika yang sangat merendahkan rumah kontrakan miliknya."Cih!" Hilmi meludah ke hadapan Fika, "Sekalipun seluruh isi dunia ini kamu berikan sebagai pengganti bayiku, jangan harap aku akan memberikannya!""Sebaiknya lekas berikan bayi itu, atau aku telepon polisi sekarang, tak hanya dirimu, mereka semua," tunjuk Fika pada orang-orang selain para pengikutnya, "Akan ikut terseret ke dalam penjara!" Lanjutnya menakuti Hilmi.Braakkk!!!Suara pintu yang di dobrak oleh salah satu