"Stop! Perutku kram, Mas!" pinta Hilmi yang kini sudah meringis memegangi perut bagian bawahnya.Seketika Arfan menghentikan tarikannya pada tangan Hilmi. Beruntung mereka sudah keluar dari dari mall. Lelaki itu menatap khawatir pada Hilmi. Celingukan Arfan mencari tempat duduk yang tak jauh darinya, setelah dapat gegas ia membawa Hilmi untuk duduk di kursi tersebut.Hilmi menyenderkan tubuhnya dan berusaha mengatur nafas hingga kram yang dirasakannya sudah mulai mereda."Maaf, maafkan aku. Apakah masih terasa sakit?" tanya Arfan menatap cemas pada Hilmi."Sudah mendingan. Lebih baik sekarang kita pulang saja, Mas. Aku takut Fika mendapati kita di sini," ajak Hilmi yang memejamkan matanya."Baiklah, sekali lagi aku minta maaf. Semoga tak terjadi apa-apa pada anak kita,""Insyaallah nggak. Kram sudah biasa terjadi pada orang hamil."Arfan menuntun Hilmi menuju mobil, dia membuka pintu mobil, setelah memastikan Hilmi duduk dengan nyaman, Arfan menutup kembali pintu mobilnya dan berlari
."Wah, lagi pada ngumpul toh. Boleh saya ikutan ngumpul-ngumpulnya?" tanya umi Zakia pura-pura gak tahu akan pembahasan mereka sebelumnya."Hehe, ini lagi nanya-nanya saja ke Hilmi perihal lelaki yang sering berkunjung ke kontrakannya beberapa bulan terakhir ini." seseibu dengan gamblangnya memberitahukan maksud kedatangan mereka pagi ini ke rumah Hilmi."Walah, emangnya kenapa toh?""Ya, ya kan ... kan kesannya mereka ini kayak pasangan kumpul kebo gitu loh, Umi. Soalnya si lelaki pulangnya sering larut malam.""Memangnya mereka cuma berdua di dalam rumah?""Ya nggak sih. Sama itu siapa itu ibu-ibu yang juga sering datang ke sini,""Nah, kalau ada orang lain selain mereka berdua kenapa berpikiran yang negatif? Toh mbak Hilmi juga ada Rian kan di rumah?""Iya sih, Umi. Tapi meresahkan saja kepada kami para tetangganya,""Ya sudah. Nanti tak nasihati mbak Hilminya biar nggak terlalu sering menerima tamu laki-laki yang bukan keluarganya.""Nah iya, Umi, setuju. Kalau Umi yang ngomong p
Ummi Zakia tetap terlihat gelisah, setiap kata demi kata yang Zidan lontarkan tak mampu menenangkan hatinya. Ia masih sangat takut, takut sang anak tak bahagia, takut sang anak menyakiti istrinya."Zidan, jangan membuat Abah bahagia dengan menghancurkan kebahagiaanmu. Abah tak memaksamu menikah dengan Aina, Nak. Tolong, carilah kebahagiaanmu sendiri. Jika kau sedang patah hati, tatalah dulu hatimu. Jika kau berniat menikahi wanita lain, pastikan dulu hatimu tidak terikat pada satu pun wanita. Lepaskan dulu perasaanmu, baru mencari yang lain yang bisa membahagiakanmu."Hal yang wajar ketika seorang anak apalagi anak lelaki memutuskan menikah hanya karena terpaksa. Hanya sebuah pelarian. Sebagai seorang ibu, Ummi Zakia takut Zidan dzolim pada istrinya dan mengabaikan hak dan kewajibannya. Dan berpikir sebagai sesama wanita, tentu wanita manapun akan sakit hati ketika memiliki suami yang mencintai wanita lain. Memiliki suami yang tak bisa membahagiakannya. Memiliki suami yang tak menghar
Senyum tak pernah luntur dari bibir wanita paruh baya yang sebentar lagi akan sah menjadi seorang nenek tersebut. Dia sudah tak sabar untuk bertemu cucunya yang selama ini begitu diimpikannya. Apalagi setelah melihat rupa sang cucu ketika di USG 4D. Hatinya semakin kebat-kebit begitu tak sabar untuk melihat langsung rupa sang cucu perempuannya."Apa ada yang mau di tanyakan?""Tidak ada dokter, semuanya sudah jelas.""Baiklah, ini resep obat yang bisa di tebus di apotek depan."Selembar nota kecil berisi catatan obat yang entah apa tulisannya hanya tim dokter dan farmasi yang paham tulisan tersebut."Terimakasih, Dokter. Kalau begitu kami permisi," Hilmi dan mama Agni berpamitan setelah menerima nota resep obat tersebut."Iya, Silahkan.""Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Hilmi dan mama Agni keluar dari ruang dokter lalu menuju apotek untuk menebus obat. Keduanya berjalan beriringan layaknya seorang menantu dan mertua yang begitu akrab. Tak henti-hentinya mama Agni mengatakan tentan
"Kakak mau melahirkan!" Tanpa basa basi Rian langsung mengatakan alasannya menelpon membuat Arfan seketika terbelalak.Belum juga Arfan menjawab, panggilan sudah diakhiri oleh Rian.Gegas Arfan menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil, di kamar Arfan, ia melangkah dengan sangat pelan pelan agar tak membangunkan Fika yang sudah tertidur terlebih dahulu. Setelah mendapatkan kunci mobil serta dompetnya, Arfan segera keluar dan dengan sedikit berlari menuju mobilnya.Dalam perjalanan menuju ke kontrakan Hilmi, tak lupa Arfan menghubungi mama Agni untuk memberitahukan kondisi Hilmi.Setibanya di kontrakan Hilmi, Arfan membunyikan klakson mobilnya untuk memberitahukan yang di dalam kalau dirinya sudah datang. Benar saja, Rian langsung membukakan pintu untuk Arfan."Cepetan, Kak!" Seru Rian saat Arfan baru saja turun dari mobil."Iya-iya. Perlengkapan bayinya apa sudah disiapkan?" Tanya Arfan seraya melangkahkan kakinya memasuki kontrakan kecil yang ditinggali oleh mantan istrinya tersebu
****"Arfan, kenapa kamu berkaca-kaca seperti itu? Cucu mama baik-baik saja 'kan? Hilmi selamat 'kan?"Mama Agni tampak begitu khawatir melihat Arfan yang keluar dari ruang bersalin dengan wajah yang berkaca-kaca. Rian pun tak kalah khawatirnya takut terjadi apa-apa pada kakak dan keponakannya."Nggak, Ma. Mereka berdua selamat. Bayiku perempuan dan sangat cantik. Aku terharu akhirnya aku sudah menjadi seorang ayah. Aku sudah punya anak, Ma. Keinginan mama pun sudah kesampaian untuk punya cucu.""Alhamdulillah, mama sangat bersyukur mendengarnya." Mama Agni mengusap kedua sudut matanya, "Ah, mama jadi gak sabar pengen gendong cucu mama.""Sebentar lagi mereka akan dipindahkan ke ruang rawat, Ma."Sudah jam tiga dini hari, tapi terlihat tak ada yang mengantuk dari ke tiga orang yang menjaga Hilmi yang sudah dipindahkan ke ruang rawat sekitar dua jam yang lalu. Mereka bertiga begitu asyik menemani bayi Hilmi yang masih terjaga, sedangkan Hilmi sudah tertidur pulas karena kelelahan."Duh
Ma, mama juga butuh istirahat. Kalau mama sakit karena kurang istirahat siapa yang akan menemani Naila?" Hilmi berusaha membujuk mama Agni agar pulang untuk istirahat. Karena tak mungkin bagi Hilmi menawarkan mama Agni untuk menginap, karena kamar di rumahnya hanya ada dua, dan itu pun kasurnya tak seempuk kasur di rumah mantan mertuanya tersebut."Benar yang dikatakan Hilmi, Bu. Ibu sebaiknya istirahat dulu di rumah, tenang saja warga sini pada kompak kok, mereka tak akan membiarkan salah satu tetangganya kesusahan. Saya pun akan membantu Hilmi menjaga bayinya." Ummi Zakia turut membujuk mama Agni.Mama Agni menghela napas berat, dia menyerahkan baby Naila kepada Hilmi, "Ah, baiklah, mama akan pulang. Besok pagi mama akan balik lagi ke sini. Kalau ada apa-apa, langsung kabari mama jam berapapun itu!" Pesan mama Agni sebelum meninggalkan kediaman Hilmi."Iya, Ma. Terimakasih sudah begitu perhatian pada kami.""Tentu, kamu adalah ibu dari cucuku, jadi sudah seharusnya aku mencurahkan k
"Hilmi semakin awas menatap Fika. Ia takut kedatangan wanita itu akan mengambil putrinya. Kakinya semakin melangkah menjauh dengan perlahan hingga ia tiba di depan pintu kamar sang adik. Ia mengetuk pintu kamar Rian dengan tergesa, membuat Rian yang tengah tertidur terkejut dan gegas bangun membukakan pintu untuk sang kakak."Ada apa, Kak?" Tanya Rian sambil mengucek matanya. Lelaki itu masih belum menyadari seorang tamu yang ada di ruang tamunya."Bawa Naila ke dalam, dan jangan di buka kalau bukan kakak yang nyuruh!"Hilmi segera menyerahkan Naila kepada Rian yang terkejut dan tampak belum siap menerima bayi itu, tapi beruntung bayi itu tak jatuh. Setelah bayinya berpindah pada Rian, Hilmi segera mendorong Rian agar masuk kembali ke kamarnya dan menutup pintunya dengan rapat."Dikunci pintunya!" Titahnya yang langsung dituruti oleh Rian.Sekalipun pemuda itu kebingungan akan tingkah sang kakak, tapi tak ayal kalau Rian mengikuti perintah Hilmi."Ekhm, langsung ajah ya pada intinya,
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t
Tiba-tiba Rian keluar dari kamar Hilmi dan meminta tolong pada Zidan membuat Zidan berhenti merenung. Penampilan Rian sudah acak-acakan, bocah remaja itu tampak berpenampilan semarawut dengan wajah yang terlihat begitu kusut."Sama ibu saja, ibu akan mengantarkan kalian ke rumah sakit." tawar mama Agni yang memang sejak tadi tidak pulang.Jangankan menjawab, menoleh saja Rian enggan pada wanita paruh baya yang matanya terlihat begitu sembab itu.Zidan dan Ummi Zakia menoleh ke arah mama Agni, lalu bergantian pada Rian yang masih menatap Zidan seolah keberadaan mama Agni tak kasat mata bagi Rian."Ayo!" Jawab Zidan menyetujui ajakan Rian.Setelahnya, mereka berangkat ke rumah sakit dengan Zidan yang mengemudi motor, dan Rian berada di jok belakang dengan menggendong Hilmi. Rian benar-benar mengabaikan tawaran mama Agni untuk menggunakan mobil milik mantan mertua Hilmi tersebut.Meskipun mendapat penolakan dan mendapati sikap dingin dari Rian,mam Agni tetap mengikuti mereka menuju rumah
"Fan, kenapa kamu diam? Jawab pertanyaan Mama!" Bentak mama Agni pada putranya tersebut."Maaf, Ma. Arfan minta maaf." Arfan menjeda ucapannya, "Awalnya Arfan tak menyetujui niatan Fika, tapi mendengar usulan Mama waktu di restoran tadi pagi membuat Arfan yakin untuk menyetujui permintaan Fika. Ini demi kebaikan kita bersama, Ma." penjelasan Arfan membuat Hilmi mematung."Ja-jadi, kamu sudah tahu maksud kedatangan Fika, Mas? Kamu mau misahin aku dari Naila?" Tanya Hilmi dengan suara yang gemetar.Arfan duduk berjongkok di hadapan Hilmi, kemudian ia memegang kedua tangan Hilmi sambil menatap lekat pada manik mata yang kembali mengeluarkan cairannya itu, "Dengerin aku dulu, percayalah padaku, Naila akan lebih baik bersamaku dan Fika. Naila akan terjamin kebahagiaannya dengan di asuh oleh orang tua yang lengkap sebagaimana saran mama. Aku akan ... ""Arfan! Orang tua yang lengkap maksud mama itu kamu dan Hilmi, orang tua Naila, bukan kamu dan Fika!" Bentak mama Agni memotong ucapan Arfan
Kemudian pandangan Fika berpusat pada Hilmi, "Ini adalah kompensasi yang akan di terima olehmu sebagai ganti dari bayi itu. Jumlah keseluruhan uang yang ada di dalam koper ini senilai 1 Miliar sesuai yang tertera dalam lembaran perjanjian itu. Jadi, dengan uang ini kamu akan hidup lebih layak lagi dan kamu pasti bisa membeli rumah yang jauh lebih bagus dari rumah yang bagaikan kandang kambing ini." ujarnya dengan kalimat ejekan di akhirnya membuat ibu pemilik kontrakan yang juga ada disana menahan geram akan ucapan Fika yang sangat merendahkan rumah kontrakan miliknya."Cih!" Hilmi meludah ke hadapan Fika, "Sekalipun seluruh isi dunia ini kamu berikan sebagai pengganti bayiku, jangan harap aku akan memberikannya!""Sebaiknya lekas berikan bayi itu, atau aku telepon polisi sekarang, tak hanya dirimu, mereka semua," tunjuk Fika pada orang-orang selain para pengikutnya, "Akan ikut terseret ke dalam penjara!" Lanjutnya menakuti Hilmi.Braakkk!!!Suara pintu yang di dobrak oleh salah satu