Budi mendudukkan bayi mungil yang baru saja menginjak hampir tujuh bulan pangkuannya. Badannya sedikit deman karena perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya. Terhitung hampir lebih dari seminggu ia dan Budi habiskan dalam perjalanan pulang baik jalur laut ataupun darat. Setelah lama menunggu Budi akhirnya mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah. Dengan menumpang perahu pembawa kayu milik kenalannya akhirnya ia sampai di kampung halamannya dua hari yang lalu.Memandang hiruk pikuk kampung yang sudah lama ia tinggalkan membuat Budi kembali mengingat kenangan masa lalunya saat ia masih berkeluarga dengan Rini. Sekelebat bayangan betapa menderitanya hidup Rini dan keluarganya terlintas saat ia melihat rumah yang dulu ia tempati yang sekarang dibiarkan tak terurus.“Mas, sini Rio biar aku yang pegang, katanya mau bersihkan rumah. Enggak enak kalo terus menumpang di rumah Mbak Farida,” ucap Ningsih mengambil alih bayinya.Tanpa menjawab Budi segera beranjak berjalan ke rumah lama ya
“Apa kabar, Rin?” tanya Budi gemetar.“Ba-baik, Mas,” jawab Rini ragu. Sejenak mereka hanya terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Kenangan indah juga kejadian buruk yang telah mereka lalui seolah melintas di depan mereka. Kejadian demi kejadian dimulai dari awal bertemu, menjadi sepasang kekasih, menikah hingga kandasnya keluarga mereka seolah di putar kembali.“Boleh aku mau ketemu Ari dan Bagus, Rin?” Suara Budi memecahkan lamunan Rini.“Silakan, Mas. Nanti aku panggilkan. Silakan duduk dulu, Mas.” Rini berbalik meninggalkan Budi dan Bapak di teras.Walaupun ada banyak kata yang telah Rini persiapkan jika bertemu Budi, namun tak ada satupun yang bisa keluar dari mulutnya. Rasa sakit yang selama ini ia pendam untuk dilampiaskan pada lelaki yang telah tega menyakitinya itu perlahan hilang seiring dengan rasa bahagia yang didapatkan dari Tanto. Rini malah ingin berterima kasih pada Budi karena dengan ia selingkuh, kini Rini mendapatkan lelaki yang benar-benar membuatnya bahagia.
“Hay, teman enggak ada akhlak, kamu beneran enggak mau main ke rumahku? Kebangetan banget kamu, ya? Pokoknya hari ini kamu harus ke rumahku, aku udah masak banyak, udah nyiapin jajan juga, kalo kamu enggak datang hari ini, kita putus!”Rini tertawa mendengarkan ocehan Wulan di telepon yang panjang bak kereta api. Awalnya ia menelepon untuk mengabarkan jika ia akan datang hari ini, eh belum sempat ngomong udah kena semprot duluan.“Iya, iya tuan putri, nanti aku ke situ kok. Siapin makanan yang enak-enak, soalnya aku sampai sore di situ,” jawab Rini santai.“Wah, bagus, dong! Kita nanti bisa ke kang mie ayam langganan kiya yang di pasar dulu.”“Iya, iya, ya udah aku siap-siap dulu, ya?” Rini menutup teleponnya.Sejak semalam, Rini memang sudah berniat mengunjungi rumah Wulan hari ini. Ia harus menyempatkan diri berkunjung sebelum kembali ke kota beberapa hari lagi. “Ayok, Rin! Nanti kita kesiangan. Temanku udah nunggu soalnya,” ajak Tanto yang melihat istrinya sudah rapi.“Iya, Mas.”
Sudah hampir satu jam seorang pemuda belasan tahun duduk gelisah di teras rumah bercat biru langit itu. Sesekali ia melirik ke arah jalan, berharap teman perempuan yang ia tunggu segera datang. Tiga hari lagi libur sekolah telah usai, dan ia harus kembali ke kota esok hari.Berulang kali Ari melihat jam di ponselnya. Sudah hampir tengah hari tapi Juwita tak kunjung pulang. Jika saja ini bukan hari terakhirnya di kampung kakeknya, sudah pasti ia memilih pulang dan kembali lagi esok hari. Namun ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menemui teman wanita yang selama ini dirindukannya. Hampir sepuluh hari mudik, ia sama sekali belum menemui Juwita. Bukan tak ingin, tapi ia terlalu malu menampakkan batang hidung di hadapan wanita bergigi kelinci itu.“Cari siapa, ya?” Ari mendongak mendengar suara yang sudah lama ia ingin dengar. Terlalu fokus bermain game membuatnya tak sadar akan kedatangan anak perempuan berjilbab hitam yang baru saja turun dari sepedanya.“Wita...” lirih Ari sembari b
Rini memindai tubuhnya yang semakin melebar di depan cermin. Ia tersenyum melihat perut buncitnya dibalik daster pink bermotif bunga yang ia kenakan. Kehamilannya yang sudah menginjak sembilan bulan membuat semakin payah dalam bergerak yang membuat wajahnya terlihat pucat karena kelelahan. Ia terkadang heran mengapa sering merasa lelah padahal pekerjaannya sehari-hari tak begitu banyak. Rini setiap hari hanya bertugas memasak karena Tanto memperkerjakan orang untuk mencuci dan bersih-bersih rumah yang akan datang dua hari sekali.Pandangan Rini beralih pada jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas. Ia terus mondar-mandir di dalam rumah karena ia sama sekali belum mengantuk. Seharusnya tubuhnya yang lelah membuatnya cepat memejamkan mata, namun semua itu tak bisa Rini lakukan karena suaminya belum pulang. Ini memang bukan pertama kalinya Tanto pulang larut malam, tapi kali ini Rini merasa sedikit khawatir karena suaminya tak membalas pesan juga tak mengangkat teleponnya sejak emp
Tanto terus memandang bayi merah yang terbaring lemah dalam bok kaca. Hatinya yang tadi dipenuhi rasa bahagia seketika berubah nelangsa saat dokter mengabarkan jika anak yang baru saja di lahirkan memerlukan penanganan khusus karena ada organ dalam yang belum sempurna yang diakibatkan oleh usia kandungan yang belum cukup bulan. Hatinya benar-benar hancur saat melihat beberapa alat yang dipasang pada tubuh bayinya. Tangannya terulur menyentuh dan menempelkan dahinya ke jendela kaca dan tak lagi memedulikan rasa sakit dan perih di wajahnya saat bergesekan dengan benda bening di depannya.“Kuat ya, Sayang. Ayah di sini, Nak,” gumam Tanto dengan bibir bergetar.Orang tua mana yang tak hancur melihat buah hatinya yang baru saja di lahirkan harus berjuang sendiri di tempat berukuran kurang dari satu meter itu. “Mana anak kita, Mas? Kenapa enggak langsung dibawa ke sini?” Pekik Rini saat melihat Tanto datang dengan wajah kacau. Semua kekhawatiran Rini pada suaminya seakan hilang berganti d
"Kalo kamu yang hamil, aku oke saja. Lagian kamu juga enggak nemenin aku lahiran, ayah macam apa kamu?” Rini memandang tajam pada lelaki yang memasang wajah tak berdosa di sampingnya. Sejak semalam pembahasan mereka tentang menambah anak belum juga selesai.Wajah Tanto yang tadinya semringah sembari memandang wajah bayi yang sama persis dengannya seketika berubah menciut. Rasa bersalah kembali muncul dihatinya karena membiarkan istrinya berjuang sendiri. Ia bahkan sama sekali tak tahu kondisi Rini sebelum memasuki ruang operasi. “Maaf ....”“Tak apa, Mas. Berjanjilah untuk tidak bertindak gegabah lagi. Semua permasalahan pasti mempunyai jalan keluar tanpa harus menggunakan kekerasan.”“Iya, Sayang ...” Tanto mengecup lembut bibir Rini. Ia selalu gemas saat Rini berbicara sok bijak.“Heh, Tahan! Istri baru seminggu lahiran udah nyosor aja,” pekik salah seorang lelaki yang baru saja masuk diikuti beberapa orang di belakangnya.“Siapa yang nyuruh kalian masuk?” Tanto menghampiri beberap
Langit masih gelap dan udara benar-benar terasa menusuk tulang saat Rini beserta suami dan anaknya tengah sibuk bersiap pulang kampung. Tengah malam tadi Dwi menelepon jika kondisi Bu Riyati semakin melemah yang membuat mereka berinisiatif pulang saat itu juga. Masih dalam keadaan setengah sadar Ari dan Bagus mengemas pakaian masing-masing ke dalam tas. Begitu juga Rini dan Tanto yang sedang mengemas segala keperluan Rafif. Bepergian membawa bayi memanglah hal yang sangat merepotkan dan nahasnya mereka harus mempersiapkan secara mendadak. Sejak kepulangan Ibu bersama Dwi lebih dari enam bulan yang lalu, Rini memang belum pernah sama sekali membawa Rafif mengunjungi neneknya. Selain karena cuti tahunan Tanto habis, kedua anaknya yang bersekolah juga tak memungkinkan mereka untuk sering bepergian. Apalagi dengan jarak tempuh yang lumayan jauh membuat Rini berpikir ribuan kali untuk membawa bayi yang belum genap berumur setahun itu.Sebenarnya mereka sudah berniat pulang kampung saat l
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men