"Naren!" panggil Marissa. "Bangun, Naren!" ulangnya dengan kemarahan yang sudah diambang batas. Perintah yang terdengar biasa itu memecah keheningan sebuah ruangan yang memiliki dinding begitu dingin. Entah apa yang membuat ruangan yang begitu luas itu terasa menghimpit dada Marissa.
Beberapa menit lalu, Marissa terbangun dengan keterkejutan yang tak terbayangkan. Dia membuka mata dan mendapati tubuhnya tengah bersanding dengan pria yang jelas bukan suaminya. Tentu saja itu mengguncang jiwanya dan menciptakan kepanikan yang luar biasa. Marissa yakin benar jika Tristan yang menyentuhnya semalam, tapi aroma alkohol yang samar masih terhirup oleh indera penciumannya membuat Marissa segera sadar jika yang tidur dengannya semalam adalah pria yang kini masih lelap tertidur dalam keadaan telanjang itu."Naren Baruna!" panggilnya dengan penuh penekanan. Walau sedang sangat marah, Marissa masih bisa menahan diri untuk mengontrol volume suaranya agar tak sampai terdengar keluar kamar.Naren terpaksa membuka matanya dan langsung terperanjat karena ternyata sang adik iparlah yang memaksanya bangun. Keterkejutan itu menjadi berlipat ganda saat dia menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya sendiri."Marissa, apa yang ...." Naren tak mampu menyelesaikan kalimat tanya yang ada di benaknya. Bayangan sebuah peristiwa lewat begitu saja dan menjawab apa yang menjadi pertanyaan besar dalam hatinya."Bagaimana ini semua bisa terjadi?" tanya Marissa dengan nada bergetar. Tak bisa dipungkiri jika wanita itu benar-benar kaget dan bingung. Walau sebenarnya tanpa dijelaskan dengan kalimat pun Marissa sudah tahu apa yang terjadi."Riss, aku ...," jawab Naren tak selesai."Kamu apa, Naren?" potong Marissa ketus. "Kamu mau bilang kalau kamu nggak tau apa-apa?" lanjut wanita itu.Naren merasakan dadanya sesak, dia sudah mengerti apa yang membuat Marissa mencecarnya penuh dengan kemarahan. Namun di tengah kebingungan yang masih melanda, Marissa tidak memberi kesempatan Naren untuk bicara."Kita tidur bersama, Naren. Jelas sekali itu yang terjadi." Marissa memperjelas apa yang terjadi di antara keduanya. Suaranya semakin melirih, wanita itu jelas sekali merasa jijik dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak ipar."Kita sama-sama tidak sadar, Riss." Naren membantah.Marissa membuang muka, dia merasa alasan yang Naren katakan hanya sebuah kalimat yang dia gunakan untuk membela diri.Kamar itu terasa sangat sunyi, Marissa kehabisan kata sedangkan Naren mulai bergerak turun ranjang untuk memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai."Kamu tahu apa yang akan terjadi jika sampai Tristan tahu semua ini?" tanya Marissa."Tentu saja aku tahu," balas Naren.Marissa merasa masalah yang ada sekarang bukan hal yang enteng. Hubungannya dengan Tristan—suami Marissa—sedang tak baik-baik saja. Mereka berdua sedang terlibat konflik sengit yang bisa dikatakan begitu rumit."Tristan tidak perlu tahu tentang ini semua, Rissa." Naren memberi solusi."Apa bisa?" tanya Marissa ragu dengan apa yang Naren usulkan."Riss, apa kamu merasa yang terjadi semalam ada unsur sengaja? Apa kamu sadar jika aku yang tidur denganmu?" ujar Naren berusaha membuat Marissa mengerti. "Aku akui kalau aku mabuk berat dan aku salah masuk kamar, Rissa, tapi semua ini sampai terjadi karena kamu juga mabuk." Naren melanjutkan.Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan sangat lemah. Marissa memang melakukan semuanya dengan tanpa sadar. Yang dia ingat hanya seseorang yang dia pikir adalah Tristan, tiba-tiba tidur di sebelahnya dan semua terjadi secara alami."Apa yang terjadi antara kita berdua benar-benar di luar kendali kita masing-masing karena mabuk dan tidak ada unsur kesengajaan, Riss." Naren menambah kalimatnya.Marissa mencoba membuat hatinya puas dengan apa yang coba Naren sampaikan. Dia berusaha untuk percaya dengan apa yang pria itu sampaikan."Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Marissa dengan nada yang cukup tenang."Lupakan semuanya," balas Naren dengan entengnya.Tentu saja Marissa kaget dengan jawaban pria itu. Mudah sekali pria itu mengatakan jika dia hanya perlu melupakan apa yang terjadi. Sementara perasaan yang Marissa rasakan saat ini masih kacau balau."Enteng sekali bicaramu," hardik Marissa kesal."Ini bukan hal yang sulit, Rissa. Aku akan keluar dan semua selesai," balas Naren.Melihat reaksi yang Naren tunjukkan, tentu saja Marissa merasa ini semua ternyata bukan apa-apa untuk kakak iparnya itu. Marissa pikir kejadian ini juga akan melukai harga diri sang kakak ipar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Satu-satunya kekhawatiran yang Marissa rasakan saat ini hanya Tristan, dia takut suaminya tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan Naren."Kamu sulit sekali mengerti, Rissa. Apa yang membuatmu merasa ini semua sulit?" desak Naren yang sudah jauh lebih tenang dan merasa biasa.Marissa memicingkan matanya dengan cukup sadis. Wanita itu merasa sedang diremehkan, sedangkan ketakutan yang dia rasakan sama sekali bukan masalah kecil, apalagi mudah untuk dihadapi."Naren, kamu bisa bilang kalau ini hal mudah. Kamu mengatakan jika kita hanya perlu diam dan pura-pura tak terjadi apa pun. Sedangkan apa yang semalam terjadi itu bukan hal kecil yang bisa kita buang tanpa dipikirkan." Marissa menjelaskan."Ayolah, Marissa. Kita sama-sama sudah dewasa, ini bukan perselingkuhan, ini cuma kecelakaan yang tidak disengaja." Naren masih terus meremehkan.Melihat reaksi Naren yang santai dan seperti meremehkan, Marissa mencoba menghancurkan ketakutannya sendiri. Dia meluruskan kakinya dan berdiri dengan sangat mantap."Kamu yakin tak ada yang melihatmu masuk kamarku semalam?" tanya Marissa ketus. "Kamu bisa menjamin jika hanya kita berdua yang mengetahui ini semua?" lanjutnya menantang.Naren terkena sihir mata Marissa saat itu. Otot lehernya sepertinya terserang sindrom susah bergerak hingga membuat lidahnya menjadi kelu dan begitu sulit untuk bicara. Garis wajah Marissa yang begitu sempurna membuat Naren menjadi ingat sebuah adegan panas yang terjadi semalam antara dirinya dengan sang adik ipar."A ... aku akan lakukan apa pun jika sampai ada yang melihat aku masuk kamarmu, aku jamin hanya kita berdua yang tahu apa yang terjadi semalam," jawab Naren setelah puluhan detik mulutnya terkunci rapat. "Akh, sial. Mata Marissa benar-benar membunuhku," lanjutnya dalam hati.Mendengar jawaban dan kesanggupan Naren untuk memastikan jika kejadian yang terjadi semalam tak akan pernah bocor kepada siapapun, Marissa mundur selangkah. Dia mencoba meyakini dan percaya pada apa yang Naren katakan. Wanita itu memilih setuju dan sebuah kesepakatan akhirnya mereka berdua sepakati. Melupakan dan berpura-pura tak terjadi apa pun adalah jalan yang keduanya pilih setelah debat panjang selama lebih dari 30 menit."Aku akan percaya padamu. Aku pegang janjimu jika tak akan ada yang tahu tentang ini semua sampai akhir," jelas Marissa. "Keluar sekarang," usir Marissa sembari berjalan menuju kamar mandi."Rissa!" Suara seorang lelaki yang dibarengi dengan gerakan gagang pintu kamar membuat langkah kaki wanita itu terhenti. Marissa dan Naren kompak sekali mengarahkan pandangan ke arah gagang pintu yang sedang coba dibuka oleh seseorang.Suara itu membuat suasana menjadi kembali rumit. Raut wajah khawatir Marissa dan Naren tak terhindarkan. Baru saja mereka memutuskan untuk melupakan semua dan berpura-pura tak terjadi apa-apa, justru kini mereka dihadapkan dengan seseorang yang bisa saja memergoki apa yang terjadi sesungguhnya di kamar itu."Buka pintunya, Marissa!" panggil Tristan lagi sembari meraih gagang pintu. Dengan sikap tak sabar, Tristan mengedor dan menggerakkan gagang pintu itu dengan sangat kasar. Melihat daun pintu yang sama sekali tak bergeser, Marissa tahu jika itu terkunci. "Akh, terkunci." Marissa sedikit lega. Kepanikan yang terjadi di dalam kamar perlahan mulai memudar. Marissa dan Naren yang mengetahui jika pintu kamar itu terkunci merasa aman. Mereka menarik napas lega walau masih dalam keadaan terhimpit. Kebiasaan Naren mengunci pintu kamar menyelamatkan mereka berdua dari situasi sulit. Marissa mendorong Naren untuk bersembunyi di dalam lemari besar miliknya tanpa pikir panjang. "Diam di sini dan penuhi sumpahmu untuk merahasiakan ini semua dari Tristan," ancam Marissa. Naren tak bisa menolak dan hanya menuruti apa yang Marissa inginkan. "Buka, Marissa! Apa kamu sudah tuli? Teriakan sekeras ini tak kamu pedulikan," sentak Tristan geram. Wanita itu segera menutup kembali pintu lemarinya setelah
"Tuan Muda." Pembantu rumah itu mendapati Naren pingsan di bawah tangga. Rupanya Naren tak bisa sampai kamarnya karena kehabisan tenaga. Berada di dalam lemari Marissa untuk beberapa saat, membuat pria itu kekurangan oksigen sehingga tubuhnya terasa sangat lemah. "Apa yang terjadi, Tuan? Tuan Muda dari mana?" tanya pembantu itu panik sembari cepat-cepat turun dari lantai atas. Dia baru saja selesai membereskan kamar Naren dan tangannya masih membawa kain sprei ranjang putra sulung Keluarga Baruna. Mendengar suara gaduh yang pembantu timbulkan, Tuan Baruna ikut menghampiri. Pria yang sudah menyelesaikan sarapannya itu segera melihat sangat putra yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu. "Ada apa, Bi? Kenapa dia?" tanya Tuan Baruna. "Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya hendak turun, Tuan Muda sudah tergeletak di sini," balas sang pembantu. "Minta bantuan ke penjaga, biar mereka yang bawa Naren naik," perintah Tuan Baruna dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Bibi pembantu men
"Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya. Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek."Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. "Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri
Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya."Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terden
"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,