"Tuan Muda." Pembantu rumah itu mendapati Naren pingsan di bawah tangga.
Rupanya Naren tak bisa sampai kamarnya karena kehabisan tenaga. Berada di dalam lemari Marissa untuk beberapa saat, membuat pria itu kekurangan oksigen sehingga tubuhnya terasa sangat lemah. "Apa yang terjadi, Tuan? Tuan Muda dari mana?" tanya pembantu itu panik sembari cepat-cepat turun dari lantai atas. Dia baru saja selesai membereskan kamar Naren dan tangannya masih membawa kain sprei ranjang putra sulung Keluarga Baruna. Mendengar suara gaduh yang pembantu timbulkan, Tuan Baruna ikut menghampiri. Pria yang sudah menyelesaikan sarapannya itu segera melihat sangat putra yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu. "Ada apa, Bi? Kenapa dia?" tanya Tuan Baruna. "Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya hendak turun, Tuan Muda sudah tergeletak di sini," balas sang pembantu. "Minta bantuan ke penjaga, biar mereka yang bawa Naren naik," perintah Tuan Baruna dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Bibi pembantu menghampiri beberapa penjaga rumah dan memberikan komando seperti yang Tuan Baruna titahkan. Dengan segera mereka membawa Naren ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Tak lama setelah itu, Naren nampak membuka kedua matanya. Dia mulai sadarkan diri dan segera menyadari jika ada ayah dan beberapa orang rumah yang berkerumun di sekitar rajangnya. Mata pria itu segera mengamati seisi ruangan, dia seperti seseorang yang sedang memastikan sesuatu. Baru selang beberapa saat setelah Naren yakin dia berada di kamarnya sendiri, pria itu menghembuskan napas lega. Rupanya Naren takut salah masuk kamar seperti semalam lagi. "Naren, apa yang terjadi?" tanya Tuan Baruna sembari melepaskan kancing kemeja putranya agar tak menghalangi jalan napasnya. "Haruskah kita periksa semua kamera pengawas di rumah ini, Tuan?" tawar penjaga rumah. Usulan itu nampaknya adalah satu-satunya hal yang bisa menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi pada Naren. Tubuh lemas Naren, tiba-tiba saja menjadi segar tatkala dia mendengar usulan sang penjaga. Tentunya jika itu dilakukan semua akan terbongkar. "Ah, tidak perlu." Naren buru-buru mencegah. "Aku baik-baik aja, Pa. Aku mabuk berat semalam, ini cuma efek dari mabuk saja," dusta Naren menutupi semuanya. "Kamu mabuk semalam?" tanya Tuan Baruna. Naren menganggukkan kepala mengiyakan apa yang ayahnya pertanyakan."Kamu mabuk dan baru kembali pagi ini?" desak sang ayah. "Bukankah Tuan Muda sudah pulang sejak semalam? Saya yang membukakan pintu gerbangnya," sela si penjaga. Fakta-fakta yang terkuak semakin janggal. Belum lagi si pembantu yang baru saja selesai membereskan ranjang Naren, wanita baya itu berpikir jika semalam tuannya itu pulang, kenapa ranjangnya masih rapi. "Tuan Muda ti ... tidak tidur di ka ...," tanya si pembantu terpotong oleh Naren. "Aku mabuk dan tertidur di perpustakaan, iya, aku tertidur di perpustakaan," dusta pria itu lagi. "Kebiasaan sekali kamu, Naren. Untung saja perpustakaan, bukan kamar Marissa." Tuan Baruna mengomel. Seketika Naren tak berkutik, dia diam mematung setelah mendengar apa yang ayahnya ucapkan. Sepertinya kalimat candaan yang Tuan Baruna katakan mengenai tepat pada fakta yang terjadi. "Tidak, Tuan. Perpustakaan kosong pagi ini," batin pembantu yang tahu persis saat pagi-pagi tadi dia membersihkan ruang itu, tak ada siapapun di sana. "Kenapa, Naren? Kok bengong begitu? Benar, kan?" ledek Tuan Baruna lagi. "Kamar Marissa dan perpustakaan bersebelahan, beruntung kamu tidak sampai salah masuk kamar." Lagi-lagi Tuan Baruna mengulang kalimat itu. "Ah, Papa. Sudah." Naren memutus pembicaraan. "Tinggalkan aku untuk istirahat, jangan ganggu aku dulu," pesannya dan segera menarik selimutnya. Naren tenggelam dalam selimut dan menenangkan diri di sana untuk beberapa saat. Dia tak benar-benar ingin istirahat saat itu. Dia hanya ingin mengakhiri pandangan-pandangan aneh semua orang padanya. Entah apa yang membuat Naren merasa seperti orang yang ketahuan berbuat dosa saat mereka membicarakan fakta-fakta kecil yang sebenarnya mengarah ke fakta besar yang sebenarnya terjadi. * * *"Kaos kaki siapa ini, Riss?" tanya Tristan sembari melempar kaos kaki yang dia temukan ke ranjang.Marissa sedikit terkejut, dia yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendapat pertanyaan yang membuatnya ketakutan. "Naren." Nama itu adalah satu-satunya yang terbesit di hati Marissa. "Apa itu miliknya?" batin Marissa. "Aku tahu benar kalau itu bukan milikku," jelas Tristan. "Tak mungkin juga itu milikmu, jelas ini kaos kaki pria," lanjut Tristan. "Mungkin ini milik salah satu penghuni rumah ini," balas Marissa mencoba menjelaskan tapi sudah dipotong oleh Tristan. "Apa maksudmu? Artinya ada yang masuk ke kamar ini selain aku?" desak Tristan. Tristan terlihat kesal, bagaimana juga ada rasa cemburu di dalam hatinya. Cinta itu tak benar-benar mati oleh rasa iri dan dengkinya pada Marissa. Hanya saja cara Tristan mencoba menunjukkan selalu saja salah dan tercampur aduk dengan rasa yang salah itu.Lagi-lagi Tristan menarik lengan Marissa dengan kasar. Pria itu mencengkeram lengan istrinya cukup kuat, sampai terlihat wajah meringis kesakitan Marissa saat itu. Tristan mendekatkan wajahnya pada Marissa dan menatap dalam-dalam mata sang istri dengan sinis. "Awas kalau sampai kamu macam-macam," ancam Tristan. Marissa tak gentar, dia melawan tatapan itu dengan sinar mata penuh keberanian. Dia memang tertindas, tapi bukan berarti dia terus menerus lemah. Saat ada kesempatan, Marissa akan melawan dan menunjukkan kekuatannya walau pada akhirnya dialah yang harus mengalah untuk menghindari konflik yang semakin panjang. "Bagaimana jika kamu yang macam-macam? Aku berada di rumah saja kamu curigai macam-macam, apalagi kamu yang bahkan sering keluar rumah saat hubungan kita buruk. Bukankah kamu lebih berpeluang?" ujar Marissa menghardik suaminya. "Rissa," bentak Tristan. "Apa, Tan? Kenapa kamu terus saja memojokkan aku? Tidak bisakah kamu berpikir jika bisa saja Bibi menjatuhkan kaos kaki itu saat dia mengambil pakaian kotor ke kamar?" jelas Marissa. Tristan melepaskan cengkeraman tangannya dan memundurkan wajahnya, Tristan menyadari jika semua yang Marissa katakan sangat masuk akal. "Kenapa diam? Kenapa tidak memukulku saja jika marah? Atau tampar aku kalau kamu tidak suka dengan apa yang aku katakan!" Marissa seperti orang yang menyerahkan diri. "Pipi sebelah sini masih belum bengkak kok kalau mau dipukul, sudut bibirku juga baru sebelah yang sobek, sebelahnya lagi masih utuh," tantang Marissa. "Arghhhh, tak tahu diuntung," umpat Tristan.Usaha Marissa begitu keras untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi semalam. Dia mengerahkan segala kemampuannya untuk selamat. "Naren, kamu ceroboh sekali. Kaos kaki itu hampir saja membongkar semuanya," batin Marissa kesal. Tristan keluar kamar dengan membawa segala kemarahan yang ada di hatinya. Namun dia sangat terkejut saat tiba-tiba Tuan Baruna muncul di hadapannya. "Minta Marissa menemuiku di perpustakaan," kata Tuan Baruna pada Tristan."Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya. Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek."Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. "Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri
Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya."Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terden
"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,