Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat semakin kehilangan tenaga. Tapi ia masih bisa mengenali baju yang di maksud oleh putrinya. Indah benar-benar telah mempersiapkan semua dengan sangat matang termasuk baju terakhir yang digunakan oleh Faiz saat ...
"M-maaf ..." Danang berusaha mengeluarkan suaranya.
"Maaf? Ayah bilang maaf? Apa dengan kata maaf Kang Faiz bisa hidup kembali?"
"Ayah jahat! Gara-gara janda murahan itu Ayah tega menjual ginjal menantu sendiri."
"Ayah heran mengapa Indah tahu semuanya?"
Indah mengguncang bahu Danang yang semakin lemah. Andai belati itu menikam tepat di bagian jantungnya mungkin ia tak akan merasakan rasa sakit yang menyiksa. Putrinya itu seperti sengaja ingin membuat ia mati perlahan dengan rasa sakit.
"Ayah tahu, gara-gara sejak kecil aku dipaksa minum obat pencegah kehamilan, kini rahimku kering. Padahal Ibu ingin sekali punya cucu," bisik Indah di telinga ayahnya.
"Mengapa Ayah jahat sama Indah? Apa Indah ini bukan anak Ayah?" tanya Indah berteriak di telinga Danang.
"Setelah Ayah merenggut kesucian ku, Ayah juga merenggut nyawa suamiku."
"Apa salah Kang Faiz? Dia itu sama seperti Indah, diam walau tahu kelakuan Ayah. Tapi mengapa Ayah tega membunuhnya, hah!" Jawab Ayah, jawab!"
"Lihat ini, noda darah di baju Kang Faiz. Itu tanda berapa banyak darah yang keluar dari ginjalnya yang dirobek paksa. Kasihan sekali Akang." Indah memeluk baju yang penuh noda darah sambil sesekali menciuminya.
Melihat Indah begitu terpukul, air mata di sudut mata Danang semakin deras. Penyesalan itu seakan baru datang di saat hidupnya berada di tangan putrinya.
Danang yang merasa punggungnya semakin kaku menatap langit-langit kamar yang terlihat semakin kabur. Ingatannya kembali pada peristiwa satu tahun yang lalu.
"Bro, ada job kakap, nih!" Wawan menepuk bahu Danang yang sedang berada di warkop.
"Job apaan? Jangan bilang nyuruh antar barang lagi? Patroli lagi ketat, gue kapok."
"Ini lain, Bos. Ada orang lagi cari ginjal. Lumayan komisinya." Wawan nyomot goreng pisang yang masih panas. Matanya terus menatap wanita pemilik Warkop.
"Eh, itu mata jangan ngeliatin Lilis seperti itu!" Danang mengusap wajah Wawan.
"Emang kagak boleh? Kan Ceu Lilis belum ada yang punya, bebas dong. Beuhhh, itu body Ceu Lilis bikin ngiler." Wawan malah semakin sengaja.
"Lilis itu punya gue!"
"Emang Bos punya duit buat ngawin itu janda? Semua buaya di sini pada mundur setelah tahu mahar yang Ceu Lilis tawarkan."
"Berapa gitu maharnya?"
"Seratus juta. Emang Bos mampu?"
"Ahh, segitu mah kecil. Terus gimana soal job tadi?"
"Kalau Bos tertarik, nanti malam kita temui orangnya. Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Ini kerjaan ilegal."
"Justru gue demen yang ilegal. Soal ginjal nanti gue kasih yang spesial."
"Ginjal siapa? Jangan bilang Bos mau jual ginjal sendiri. Mana laku, ginjal kotor begitu."
"Husss, kalau gue jual ginjal sendiri. Gue kaga bisa ngawin si Lilis?"
"Iye juga. Terus ginjal siapa, Bos?"
Sore itu, saat Faiz sedang mengantar Indah menemui Bu Aminah yang kurang enak badan. Danang menarik menantunya ke teras rumah.
"Iz, Bapak bisa minta tolong, nggak?"
"Minta tolong apa, Pak?"
"Antar ke rumah teman. Bapak mau ambil barang pesanan orang. Ngga ada yang pegangin soalnya barang anti pecah."
"Boleh Pak. Kebetulan kami juga mau menginap di sini."
"Kalau begitu sekarang saja. Mumpung belum keburu hujan. Ngga usah pamit sama Indah. Sebentar ini."
Tanpa curiga Faiz pun mengikuti mertuanya. Duduk di belakang boncengan Danang.
"Ayah, mengapa diam saja? Apa Ayah sedang mengingat bagaimana terakhir Kang Faiz meregang nyawa?" Indah mengarahkan ujung golok ke leher ayahnya.
"Ceritakan pada Indah, Yah, bagaimana cara kalian mengambil ginjal kang Faiz? Apa dengan cara seperti ini?" Indah menarik ujung golok dari leher turun ke bawah.
Mata Danang mengikuti kemana ujung golok itu. Ingin rasanya ia bangun dan memohon ampun pada Indah. Namun seluruh tubuhnya semakin kaku. Beberapa jam di atas lantai tanpa sehelai benang yang menutupi tubuhnya membuat pria bertato itu semakin putus asa.
"Mungkin seperti ini, ya, Yah?" Tangan Indah berhenti di bagian kiri perut Danang. Sedikit menekan ujung golok yang lancip itu hingga permukaan kulitnya berdarah.
"Indah tandai dulu, ya." Sambil tersenyum, Indah membentuk garis panjang di permukaan sebelah kiri perut Danang.
Terbayang saat kantong jenazah itu dibuka petugas rumah sakit. Tubuh Indah langsung limbung di pelukkan ibunya. Wajah pias dengan bagian perut yang terluka itu masih terus berdarah. Kaos putih yang terakhir kali dipakai suaminya itu sudah berubah warna.
"Sebulan setelah Kang Faiz meninggal, Ayah menikah dengan janda gatal itu. Ayah punya uang dari mana? Jawab, Yah, jawab!"
"Apa Ayah kurang cukup dengan wanita-wanita yang sebelumnya? Termasuk aku?" teriak Indah.
"Berapa Ayah menjual ginjal Kang Faiz? Pasti mahal?"
"Kalau Ayah dibiarkan hidup, Indah takut ginjal Ibu juga lama-lama akan Ayah jual."
Indah berdiri, mundur beberapa langkah sambil matanya menatap sosok yang tergeletak di lantai. Genangan darah yang sebagian sudah mengering membuat hati Indah pedih. Bagi sebagian anak perempuan, ayah adalah cinta pertama yang tak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Tapi tidak dengan dirinya.
Hidup di pinggiran kota yang di kelilingi gunung membuat Indah tak banyak tahu tentang dunia luar. Sejak kecil setiap pulang sekolah dirinya harus membantu ibunya mencari rumput untuk pakan ternak. Bahkan hingga tamat SMA dia yang seharusnya mengisi masa remaja dengan cinta. Atau seperti teman-temannya yang lain lulus sekolah pergi ke kota sekedar menjadi buruh pabrik.
"Ndah, ikut aku kerja di pabrik, yuk." Ajak Dewi teman sekolahnya yang sudah bekerja di kota.
"Wi, aku sih pengen banget kaya kamu. Kerja di kota, bisa punya uang sendiri. Tapi--,"
"Ayahmu aneh, orang lain pengen punya anak yang bisa cari duit, ini malah melarang." Dewi menatap sahabatnya.
Begitulah masa remaja Indah. Danang bukan hanya melarang putrinya bekerja tapi setiap ada pemuda yang yang mendekatinya selalu berakhir dengan ancaman.
Setelah lulus sekolah, Indah menghabiskan hari-harinya di kebun untuk mencari rumput. Ketika ternaknya sudah besar seenaknya Danang menjual tanpa membagi hasil yang setimpal pada anak dan istrinya.
"Pak, itu kambing kenapa dijual tanpa bilang dulu sama Indah. Rencananya kambing yang Bapak jual mau dipakai Qurban."
"Halahhh, bilang sama anakmu itu, Qurban tidak akan membuat kita masuk surga."
Walau Indah merasa tubuhnya berlumur dosa, ia tak pernah putus asa untuk selalu berdoa. Di setiap sujudnya selalu memohon agar terlepas dari cengkraman Ayahnya.
BERSAMBUNG
Tepat di usia dua puluh dua tahun, Indah berkenalan dengan seorang pemuda yang berasal dari kampung sebelah."Sendirian saja, Neng?" Indah yang sedang duduk melepaskan penat dikejutkan oleh kedatangan seorang pria."Jangan takut. Saya bukan orang jahat," ucap pria itu saat melihat Indah hendak beranjak dari duduknya."Kenalkan, namaku Faiz. Aku dari kampung sebelah. Neng Indah sendirian saja?"Mata Indah menatap dua ikat jerami yang dibawa pria tersebut. Ia heran mengapa dia tahu namanya."Aku tahu nama kamu dari teman-teman. Kita juga pernah satu sekolah cuman aku lebih dulu lulus." Kamu haus ngga, Neng?" "Kalau haus kita minum air kelapa muda, yuk!" Indah menggelengkan kepala. Sejak tadi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ini kali pertama dirinya berhadapan langsung dengan orang asing.Faiz mengambil dua buah kelapa yang masih berwana hijau dari kolong gubuk. Dengan cekatan ia memotong bagian ujung kelapa."Satu buat kamu dan satu buat aku." Faiz menyodorkan kelapa mud
"Yang namanya judi itu ngga ada untungnya, Nak. Baik itu judi biasa atau judi online. Nama dan caranya saja yang berbeda tapi tetap tujuannya sama dan dampaknya juga sama.""Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?""Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah."Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras.""Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?""Total? Maksudnya?""Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya."Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu.""Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya."Ibu semakin miris
"Nak, kenapa setiap kamu bikin sate buat Bu Lilis, dagingnya harus yang di dalam freezer?" Bu Aminah menatap Indah yang sedang meracik daging sate untuk istri muda ayahnya. "Sengaja, Bu. Daging sate untuk Ceu Lilis aku pisahkan. Ibu tahu sendiri dia itu bawel. Indah sengaja pilih dading yang empuk. Pokoknya spesial.""Ibu di depan saja, jangan cape-cape. Biar para pegawai yang ngerjain ini semua. Ibu tinggal duduk manis sambil berdoa, semoga kedai sate Indah semakin ramai pembeli." Indah menatap ibunya yang kini terlihat lebih muda."Setiap sujud, Ibu selalu berdoa agar semua cita-citamu tercapai." Bu Aminah balik menatap putrinya yang kini memakai hijab panjang."Teh, di depan kewalahan. Hari ini banyak sekali pembeli. Kasihan yang sudah antri berjam-jam," ucap seorang pegawai Indah."Ya, sudah. Biar saya bantu di depan." Indah bergegas ke depan.Indah sangat bersyukur, walau baru seminggu berjualan. Kedai satenya mulai banyak pembeli. Ada yang makan di tempat ada juga yang dibaw
Psikopat, sebutan orang yang tega menghabisi nyawa manusia seperti Indah apa lagi yang jadi korban ayahnya sendiri.Sadis, entah di mana hati wanita yang terlihat lugu ini saat tangannya memotong-motong tubuh ayah kandunya dan memasaknya dengan berbagai olahan untuk istri muda ayahnya.Indah selalu menjaga agar ibunya tak sampai makan daging yang ia masak khusus untuk Lilis. Bahkan Indah selalu mengunci kulkas tersebut dengan alasan daging mahal khusus untuk pesanan orang tertentu walau faktanya daging itu hanya di peruntukkan buat istri muda ayahnya.Seperti hari ini, Indah sengaja bikin sambal kentang goreng ati secara terpisah. Ia membuat dua macam sambal ati. Ati sapi biasa dan ati ayahnya. "Loh, kok, Ibu ngga boleh makan sambal kentang yang itu?" Bu Aminah menunjuk mangkok yang berisi sambal kentang. "Sambal yang buat Ceu Lilis pakai Pete. Ibu kan ngga suka makan Pete." Indah yang sedang memindahkan sambal kentang buat Lilis memberi penjelasan.Ini hari kesepuluh ayahnya mengh
Bu Aminah yang merasa sudah lebih baik mengajak Indah untuk segera ke kantor polisi. Walaupun Indah males, apalagi ia tahu ayahnya tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup. Tapi demi membuat ibunya tenang, ia tak punya pilihan lain. "Sebentar, ya, Bu, seperti ada orang yang mengucap salam." Indah bergegas untuk melihat siapa yang bertamu ke rumahnya."Maaf, Ibu mau bertemu dengan siapa, ya?" Tiga orang wanita yang sedang berdiri di teras rumah saling pandang satu sama lain. "Maaf apa ini masih rumah Kang Danang?" jawab wanita paruh baya yang mungkin usianya tak beda jauh dengan Bu Aminah."Betul, Bu. Tapi pak Danang sedang tidak ada di rumah." Indah memperhatikan wanita yang seperti pernah ia kenal."Saya ke sini ingin bertemu dengan Bu Aminah.""Siapa, Nak? Loh, kenapa tamunya ngga diajak masuk?" Bu Aminah berdiri di samping Indah yang belum sempat pempersilahkan tamunya masuk."Teteh!""Ayi Asih!"Indah melongo saat melihat ibunya sudah saling kenal. Seperti saudara atau
"Apa maksud Tante?" Indah menangkap kayu yang hampir mengenai tubuh Euis. Di depan Bu Aminah dan tiga tamunya, Indah dan Lilis saling tarik menarik kayu. Sampai pada satu kesempatan Indah berhasil merebut kayu di tangan Lilis. Wanita yang hanya mengenakan daster itu memegangi bokongnya saat jatuh ke lantai karena hilang keseimbangan. "Lilis, jangan bikin masalah di sini. Hargai tamu saya!" Bu Aminah membentak Lilis. "Kamu jangan ikut campur urusan saya dengan anak sialan ini!" Lilis mendelik ke arah Bu Aminah. "Jelas ini urusan saya, karena kamu bikin keributan di rumah saya!" Bu Aminah yang biasanya lemah lembut, hari ini tak bisa mengontrol suaranya. "Euis, ayo kita pulang!" Lilis berdiri, kembali tangannya berusaha menarik putrinya yang semakin ketakutan di belakang punggung Indah. "Sebentar, tadi Tante bilang kalau ..."Indah tidak meneruskan ucapannya. Reflex tangannya menyangga tubuh Euis yang hampir saja ambruk ke lantai. "Ya Allah, darah!" Indah yang memangku tubuh E
"Bu Indah tenang dulu. Kami akan melakukan yang terbaik buat saudari Euis." Bidan Ella mengangkat pundak Indah yang masih berlutut. "T-terima kasih, Dok. Kasihan anak ini, masa depannya masih panjang. Saya tidak perduli dengan apa yang telah menimpanya.""Satu lagi, Dok. Tolong jangan kasih izin siapapun selain saya yang menjaga Euis.""T-tapi ..." Bidan Ella menatap wajah Indah yang terlihat sangat kacau."Lihat, Dok, lihat! Bekas luka di tubuh anak malang itu. Hanya Ibu yang berhati binatang tega melakukan itu. Bahkan harimau sekalipun tak tega memakan anaknya sendiri." Indah menatap Euis yang terbaring dengan selang infus di tangan kiri dan selang kantong darah sebelah kanan."Itulah yang ingin saya tanyakan tadi. Selain menemukan luka di beberapa bagian tubuh saya juga melihat Euis mengalami trauma hebat. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit, telat sedikit saja," ucap Dokter Ella."Saya yakin penyebab Euis keguguran karena anak itu habis mendapatkan siksaan oleh ibunya. Dan buk
Indah menyisir hampir semua area kebun yang sengaja ditanami pohon pisang dan singkong. Namun hasilnya nihil. Sambil duduk di bawah saung penyimpanan kayu bakar, Indah mengusap peluh yang membasahi keningnya.Sekali lagi pandangan Indah tertuju pada bekas galian tanah. Indah terus berpikir dan menduga-duga kemana hilangnya bagian tubuh ayahnya yang dikubur sekitar dua minggu lalu. Rasanya tak mungkin digondol anjing atau binatang lain. Selain dalam bagian atasnya sengaja di tutupi bebatuan.Kesibukannya mengurus kedai sate membuat Indah tak pernah lagi ke belakang rumah. Ia benar-benar tak bisa memperkirakan kapan pelastik yang berisi kepala dan bagian tubuh ayahnya hilang. Indah merasa kepalanya berdenyut. Semalaman hampir tak memejamkan mata membuat rasa kantuk yang sangat berat. Dengan lesu Indah kembali ke dalam rumah. Memejamkan mata beberapa jam mungkin bisa membuat tubuhnya kembali vit.***"Ibu tenang dulu, ya." "Tapi, Nak, kalau apa yang dikatakan polisi itu benar? Bahwa A
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men
"Cieee .... yang dilamar Ayang!" Euis menggoda Indah yang memperlihatkan cincin di jari manisnya."Ini cincin dapat dari makanan tadi waktu di kampung bambu," jawab Indah sambil mencubit pipi adiknya."Mana ada cincin di makanan?" Euis mengeringkan matanya."Beneran, Is. Kalau ngga percaya tanya saja sama Kang Milan!""Euis ngga percaya. Teteh itu di kerjain sama Kang Milan!""Yee, Euis ngga percaya. Kata Kang Milan, ada temanya yang makan di sana terus dapat hadiah cincin.""Coba Euis lihat cincinnya." Euis menatap Indah yang langsung melepaskan cincin dari jari manisnya.Dengan seksama Euis memperhatikan cincin milik kakaknya. "Tuh, kan, Teteh ngga percaya sama Euis!""Maksud Euis?" Indah, Bu Diah dan Pak Indra menatap Euis yang sedang senyum-senyum."Tuh, masa iya cincin hadiah ada namanya." Euis memperlihatkan tulisan yang berada di bagian dalam cincin."Iya, Sayang. Tuh ada tulisan Indah & Milan." Bu Diah mendekatkan cincin pada Indah."Berarti Indah dikerjain Kang Milan, ya, Bu
Begitulah awal mula kedekatan Vanya dan Milan. Seorang ayah tentu saja ingin melihat putrinya menikah dengan orang yang baik dan itu ada pada diri Milan. Namun pada akhirnya ia tidak bisa memaksakan kehendak. Masalah pun datang dan semakin rumit ketika bisnisnya mulai tercium pihak kepolisian karena salah satu anak buahnya yang bernama Danang ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di belakang rumah istri mudanya. Satu-satunya orang yang memegang rahasiahnya adalah Lilis yang berhasil ditangkap polisi. Sekali saja wanita itu membuka mulut maka semua kejahatannya akan terbongkar. Lukman beberapa kali mengunjungi Lilis di penjara. Namun hanya ancaman yang ia dapatkan."Sumpah! Bukan saya pelakunya. Tolong keluarkan saya dari sini atau kejahatan Bapak akan terbongkar di persidangan nanti!" Lilis menatap tajam wajah Lukman."Kamu jangan coba-coba mengancam saya tanpa bukti!" Lukman menekan suaranya."Justru bukti kuatnya ada pada wanita penjual sate itu. Dialah yang telah memut
"Maksud Akang, yes kita makan," jawab Milan sambil menatap tangan Indah yang melingkar di pinggangnya.Indah mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang terletak di pinggir danau. Saung-saung kecil yang unik mengelilingi danau kecil sehingga sangat indah. "Kamu ternyata romantis juga, ya. Pinter memilih tempat," ucap Milan begitu mereka duduk sambil menunggu pesanan datang."Sssttt, makanan sudah datang. Ngegombalnya nanti lagi." Indah menyilang kan telunjuk di bibirnya."Bener, ya, nanti lagi." Milan tersenyum jail.Gurame bakar, ulukutek leunca, sambal terasi, lalapan, nasi liwet dan beberapa makan khas kuliner sunda begitu menggugah selera. Namun saat Indah sedang asik menikmati makan ...."Kenapa, Ndah?" Milan menatap Indah yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya."Kok, di makanan Indah ada cincinnya?" Indah mengamati benda mengkilap berupa cincin."Wahh, kamu beruntung." Milan seolah tak perduli dengan keheranan Indah. Ia asik dengan makanannya."Jangan