"Sendirian saja, Neng?" Indah yang sedang duduk melepaskan penat dikejutkan oleh kedatangan seorang pria.
"Jangan takut. Saya bukan orang jahat," ucap pria itu saat melihat Indah hendak beranjak dari duduknya.
"Kenalkan, namaku Faiz. Aku dari kampung sebelah. Neng Indah sendirian saja?"
Mata Indah menatap dua ikat jerami yang dibawa pria tersebut. Ia heran mengapa dia tahu namanya.
"Aku tahu nama kamu dari teman-teman. Kita juga pernah satu sekolah cuman aku lebih dulu lulus."
Kamu haus ngga, Neng?"
"Kalau haus kita minum air kelapa muda, yuk!"
Indah menggelengkan kepala. Sejak tadi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ini kali pertama dirinya berhadapan langsung dengan orang asing.
Faiz mengambil dua buah kelapa yang masih berwana hijau dari kolong gubuk. Dengan cekatan ia memotong bagian ujung kelapa.
"Satu buat kamu dan satu buat aku." Faiz menyodorkan kelapa muda yang airnya sudah siap diteguk.
Sejak tadi Indah membayangkan segernya minum air kelapa muda. Apa lagi di udara panas seperti ini.
"Minumlah. Jangan takut, ngga aku masukin racun, kok. Tenang, ini kelapa muda milik keluargaku."
Indah terperanjat, berarti ia dari tadi berteduh di gubuk milik keluarga Faiz. Dia juga tadi ngarit rumput dari kebun ini. Wajah Indah pun langsung merona merah.
"T-terima kasih, ya, Kang." ucap Indah dengan perasaan tak enak."Terima kasihnya nanti saja kalau sudah minum air kelapa." Faiz tersenyum.
"Maaf, saya numpang berteduh di saung dan mengambil rumput di sekitar kebun ini." Indah menunduk.
"Tidak perlu minta maaf. Saung ini diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin berteduh. Begitu juga dengan rumputnya."
"Terima kasih, Kang." Indah meraih kelapa pemberian Faiz.
"Eh, besok Akang juga mau ambil jerami lagi buat pakan sapi. Kita ketemuan di sini, ya? Nanti Akang kasih tahu tempat yang banyak rumputnya."Indah mengangguk. Entah mengapa ia merasa nyaman walaupun baru bertemu dengan Faiz.
***
Malam semakin larut. Indah yang sedang terhanyut pada kenangan indah saat bersama Faiz mengambil kaos milik Almarhum suaminya.
"Maafkan Indah, Yah. Melihat Ayah seperti ini rasanya tak tega. Biar anakmu yang malang ini mengantar Ayah bertemu dengan Kang Faiz. Sampaikan salam untuknya katakan juga Indah sama Ibu baik-baik saja sekarang. Apa lagi setelah kepergian ayah. Ibu dan aku terbebas."
Tangan Indah merobek kaos yang penuh dengan noda darah itu hingga menjadi dua bagian. Setelah itu dengan berlinang air mata, Indah menyumpalkan kain tersebut pada mulut Danang. Sementara robekan satunya dipakai untuk mengikat tangan ayahnya.
Mata Danang mendelik sambil kakinya berusaha digerakkan. Air mata terus keluar dari kedua sudut matanya.
Indah mengambil golok yang tergeletak di samping ayahnya. Sekali lagi benda pipih yang berujung lancip itu ditarik dari leher turun ke dada. Sampai di sana, senyum Indah menyeringai. Tangannya kembali menggeser golok terus ke bawah.Tepat di bagian daging tak bertulang.
Danang hanya bisa memejamkan mata. Di saat seperti ini ia baru mengingat nama Allah. Namun terlambat, benda tajam itu lebih dulu memangkas organ tubuhnya yang paling utama.
Darah keluar diantara paha Danang yang sedang kelonjotan seperti hewan yang baru disembelih. Indah yang tahu betul letak kelemahan pria menjatuhkan golok ke lantai. Wajah yang penuh cipratan darah itu menunduk dingin.
***
Suara orang adu mulut membangunkan Indah yang sedang terlelap. Entah sudah berapa lama ia tidur, yang pasti gorden dan jendela kamar yang tadi terbuka kini sudah tertutup rapat. Sambil duduk di tepi tempat tidur Indah menajamkan pendengarannya. Setelah mengenali suara tersebut ia segera beranjak.
"Heh, wanita penyakitan. Kemana kamu sembunyikan Kang Danang, hah?"
"Demi Allah saya tidak tahu kemana Kang Danang. Dua hari yang lalu Kang Danang pamit ke rumah Ceu Lilis."
"Halahhh, bohong. Buktinya saya mencari Kang Danang sampai ke sini." Wanita Bertubuh sintal itu berjalan ke arah meja makan.
Begitu membuka tudung saji, wanita bernama Lilis itu membulatkan matanya.
"Kamu bilang Kang Danang tidak ada di sini? Ini buktinya, kalian baru saja makan-makan enak." Lilis mendelik ke arah Bu Aminah.
"Itu sate, saya yang belikan buat Ibu." Indah yang merasa telinganya panas menghampiri dua wanita yang sedang berhadap-hadapan.
"Kalau Tante mau, rendang sama sotonya masih utuh. Tadi Ibu cuman makan sate."
"Kebetulan saya sedang lapar." Lilis memegangi perutnya yang tiba-tiba keroncongan.
Dengan telaten, Indah mengambil piring dan sendok untuk istri muda ayahnya. Hal ini tentu saja membuat Bu Aminah heran. Biasanya Indah paling males kalau berhadapan dengan Lilis.
Indah duduk di seberang meja makan. Menatap wanita yang baru beberapa bulan dinikahi ayahnya. Lilis makan begitu lahap.
"Gimana, enak tidak masakkan Indah?"
"Soto sama rendangnya enak banget. Kamu memang pintar masak. Tapi satenya kaya yang dijual Kang Nono?"
"Kalau sate memang beli di kedai Kang Nono. Indah cuman masak rendang sama soto."
"Pantas rasanya beda. Rendang sama soto dagingnya terasa lembut dan empuk." Lilis terus memuji masakan Indah.
"Besok rencananya Indah mau dagang sate, Tante bisa makan sate setiap hari dengan gratis."
"Serius, Ndah?"
"Iya, Tante. Pokoknya kalau Tante mau makan sate tinggal datang ke kedai Indah." jawab Indah.
***
"Nak, Ibu, kok, khawatir sama ayahmu. Kalau ngga ada di rumah Ceu Lilis kira-kira ke mana, ya?"
"Paling juga diculik janda, Bu. Udah ngga heran." Indah dengan cuek nyomot goreng tempe di meja makan.
"Husss, kamu ini kalau ngomong suka ngasal. Ada juga ayahmu yang nyulik janda. "Bu Aminah terkekeh.
"Habis ke mana lagi Ayah perginya kalau bukan ke tempat perempuan atau ngga ke rumah judi."
"Kalau ke rumah janda atau perempuan Ibu udah biasa. Takutnya ayahmu terlibat judi slot yang lagi marak itu."
"Judi slot? Apa lagi itu, Bu?" Indah mengerutkan keningnya.
"Judi slot atau judi online itu semacam permainan tingkat atau sering dikenal dengan bertaruh yang dimainkan di dalam sebuah mesin dengan berbagai fitur menarik di dalamnya."
"Loh, kok kamu malah bengong, jangan-jangan keselek goreng tempe. Nih, buruan minum!" Bu Aminah menyodorkan segelas air putih.
"Indah ngga nyangka ternyata Ibu pintar juga."
"Jangan salah, gini-gini Ibu juga pernah kuliah."
"Apa?" Indah menautkan alisnya.
"Udah, ah. Ibu bahas lagi soal judi slot. Ini penting buat wawasan kamu, biar ngga keblinger."
"Apa ada keuntungannya dari judi online slot?" Indah menarik kursi dan duduk di samping ibunya yang sedang memotong wortel.
BERSAMBUNG
"Yang namanya judi itu ngga ada untungnya, Nak. Baik itu judi biasa atau judi online. Nama dan caranya saja yang berbeda tapi tetap tujuannya sama dan dampaknya juga sama.""Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?""Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah."Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras.""Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?""Total? Maksudnya?""Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya."Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu.""Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya."Ibu semakin miris
"Nak, kenapa setiap kamu bikin sate buat Bu Lilis, dagingnya harus yang di dalam freezer?" Bu Aminah menatap Indah yang sedang meracik daging sate untuk istri muda ayahnya. "Sengaja, Bu. Daging sate untuk Ceu Lilis aku pisahkan. Ibu tahu sendiri dia itu bawel. Indah sengaja pilih dading yang empuk. Pokoknya spesial.""Ibu di depan saja, jangan cape-cape. Biar para pegawai yang ngerjain ini semua. Ibu tinggal duduk manis sambil berdoa, semoga kedai sate Indah semakin ramai pembeli." Indah menatap ibunya yang kini terlihat lebih muda."Setiap sujud, Ibu selalu berdoa agar semua cita-citamu tercapai." Bu Aminah balik menatap putrinya yang kini memakai hijab panjang."Teh, di depan kewalahan. Hari ini banyak sekali pembeli. Kasihan yang sudah antri berjam-jam," ucap seorang pegawai Indah."Ya, sudah. Biar saya bantu di depan." Indah bergegas ke depan.Indah sangat bersyukur, walau baru seminggu berjualan. Kedai satenya mulai banyak pembeli. Ada yang makan di tempat ada juga yang dibaw
Psikopat, sebutan orang yang tega menghabisi nyawa manusia seperti Indah apa lagi yang jadi korban ayahnya sendiri.Sadis, entah di mana hati wanita yang terlihat lugu ini saat tangannya memotong-motong tubuh ayah kandunya dan memasaknya dengan berbagai olahan untuk istri muda ayahnya.Indah selalu menjaga agar ibunya tak sampai makan daging yang ia masak khusus untuk Lilis. Bahkan Indah selalu mengunci kulkas tersebut dengan alasan daging mahal khusus untuk pesanan orang tertentu walau faktanya daging itu hanya di peruntukkan buat istri muda ayahnya.Seperti hari ini, Indah sengaja bikin sambal kentang goreng ati secara terpisah. Ia membuat dua macam sambal ati. Ati sapi biasa dan ati ayahnya. "Loh, kok, Ibu ngga boleh makan sambal kentang yang itu?" Bu Aminah menunjuk mangkok yang berisi sambal kentang. "Sambal yang buat Ceu Lilis pakai Pete. Ibu kan ngga suka makan Pete." Indah yang sedang memindahkan sambal kentang buat Lilis memberi penjelasan.Ini hari kesepuluh ayahnya mengh
Bu Aminah yang merasa sudah lebih baik mengajak Indah untuk segera ke kantor polisi. Walaupun Indah males, apalagi ia tahu ayahnya tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup. Tapi demi membuat ibunya tenang, ia tak punya pilihan lain. "Sebentar, ya, Bu, seperti ada orang yang mengucap salam." Indah bergegas untuk melihat siapa yang bertamu ke rumahnya."Maaf, Ibu mau bertemu dengan siapa, ya?" Tiga orang wanita yang sedang berdiri di teras rumah saling pandang satu sama lain. "Maaf apa ini masih rumah Kang Danang?" jawab wanita paruh baya yang mungkin usianya tak beda jauh dengan Bu Aminah."Betul, Bu. Tapi pak Danang sedang tidak ada di rumah." Indah memperhatikan wanita yang seperti pernah ia kenal."Saya ke sini ingin bertemu dengan Bu Aminah.""Siapa, Nak? Loh, kenapa tamunya ngga diajak masuk?" Bu Aminah berdiri di samping Indah yang belum sempat pempersilahkan tamunya masuk."Teteh!""Ayi Asih!"Indah melongo saat melihat ibunya sudah saling kenal. Seperti saudara atau
"Apa maksud Tante?" Indah menangkap kayu yang hampir mengenai tubuh Euis. Di depan Bu Aminah dan tiga tamunya, Indah dan Lilis saling tarik menarik kayu. Sampai pada satu kesempatan Indah berhasil merebut kayu di tangan Lilis. Wanita yang hanya mengenakan daster itu memegangi bokongnya saat jatuh ke lantai karena hilang keseimbangan. "Lilis, jangan bikin masalah di sini. Hargai tamu saya!" Bu Aminah membentak Lilis. "Kamu jangan ikut campur urusan saya dengan anak sialan ini!" Lilis mendelik ke arah Bu Aminah. "Jelas ini urusan saya, karena kamu bikin keributan di rumah saya!" Bu Aminah yang biasanya lemah lembut, hari ini tak bisa mengontrol suaranya. "Euis, ayo kita pulang!" Lilis berdiri, kembali tangannya berusaha menarik putrinya yang semakin ketakutan di belakang punggung Indah. "Sebentar, tadi Tante bilang kalau ..."Indah tidak meneruskan ucapannya. Reflex tangannya menyangga tubuh Euis yang hampir saja ambruk ke lantai. "Ya Allah, darah!" Indah yang memangku tubuh E
"Bu Indah tenang dulu. Kami akan melakukan yang terbaik buat saudari Euis." Bidan Ella mengangkat pundak Indah yang masih berlutut. "T-terima kasih, Dok. Kasihan anak ini, masa depannya masih panjang. Saya tidak perduli dengan apa yang telah menimpanya.""Satu lagi, Dok. Tolong jangan kasih izin siapapun selain saya yang menjaga Euis.""T-tapi ..." Bidan Ella menatap wajah Indah yang terlihat sangat kacau."Lihat, Dok, lihat! Bekas luka di tubuh anak malang itu. Hanya Ibu yang berhati binatang tega melakukan itu. Bahkan harimau sekalipun tak tega memakan anaknya sendiri." Indah menatap Euis yang terbaring dengan selang infus di tangan kiri dan selang kantong darah sebelah kanan."Itulah yang ingin saya tanyakan tadi. Selain menemukan luka di beberapa bagian tubuh saya juga melihat Euis mengalami trauma hebat. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit, telat sedikit saja," ucap Dokter Ella."Saya yakin penyebab Euis keguguran karena anak itu habis mendapatkan siksaan oleh ibunya. Dan buk
Indah menyisir hampir semua area kebun yang sengaja ditanami pohon pisang dan singkong. Namun hasilnya nihil. Sambil duduk di bawah saung penyimpanan kayu bakar, Indah mengusap peluh yang membasahi keningnya.Sekali lagi pandangan Indah tertuju pada bekas galian tanah. Indah terus berpikir dan menduga-duga kemana hilangnya bagian tubuh ayahnya yang dikubur sekitar dua minggu lalu. Rasanya tak mungkin digondol anjing atau binatang lain. Selain dalam bagian atasnya sengaja di tutupi bebatuan.Kesibukannya mengurus kedai sate membuat Indah tak pernah lagi ke belakang rumah. Ia benar-benar tak bisa memperkirakan kapan pelastik yang berisi kepala dan bagian tubuh ayahnya hilang. Indah merasa kepalanya berdenyut. Semalaman hampir tak memejamkan mata membuat rasa kantuk yang sangat berat. Dengan lesu Indah kembali ke dalam rumah. Memejamkan mata beberapa jam mungkin bisa membuat tubuhnya kembali vit.***"Ibu tenang dulu, ya." "Tapi, Nak, kalau apa yang dikatakan polisi itu benar? Bahwa A
"Sudahlah, Bu. Untuk apa terus menangisi Ayah!" Indah mencoba menghentikan tangis ibunya."Ibu heran, sepertinya kamu tak sedikitpun merasa sedih atas meninggalnya ayahmu?" "Ibu ingin tahu mengapa aku tidak sedih,? Tidak menangis? Pertama karena belum pasti apakah benar itu kepala Ayah atau kepala orang lain? Yang kedua, apa bedanya bagiku ada Ayah dan tak ada Ayah. Terus terang aku merasa lebih tenang seperti ini."Astaghfirullah, kamu ngomong apa. Ingat sejahat apapun dia adalah ayahmu!""Indah heran, terbuat dari apa hati ibu ini? Dari kecil Indah melihat Ibu selalu disiksa lahir batin. Sekarang setelah Ayah pergi begitu banyak masalah yang mencuat ke permukaan.""Terus Ibu harus bagaimana?" Bu Aminah terlihat frustasi. "Ibu cukup tenang dan buka mata hati ibu. Lihat Tante Asih dan keponakannya yang jadi korban ayah. Belum lagi nasib anak tiri Ayah dari istri-istrinya yang lain. Atau Euis yang sekarang berada di rumah sakit?'" "Maksudmu, Euis ...?" "Makanya tadi Indah menyuru
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men
"Cieee .... yang dilamar Ayang!" Euis menggoda Indah yang memperlihatkan cincin di jari manisnya."Ini cincin dapat dari makanan tadi waktu di kampung bambu," jawab Indah sambil mencubit pipi adiknya."Mana ada cincin di makanan?" Euis mengeringkan matanya."Beneran, Is. Kalau ngga percaya tanya saja sama Kang Milan!""Euis ngga percaya. Teteh itu di kerjain sama Kang Milan!""Yee, Euis ngga percaya. Kata Kang Milan, ada temanya yang makan di sana terus dapat hadiah cincin.""Coba Euis lihat cincinnya." Euis menatap Indah yang langsung melepaskan cincin dari jari manisnya.Dengan seksama Euis memperhatikan cincin milik kakaknya. "Tuh, kan, Teteh ngga percaya sama Euis!""Maksud Euis?" Indah, Bu Diah dan Pak Indra menatap Euis yang sedang senyum-senyum."Tuh, masa iya cincin hadiah ada namanya." Euis memperlihatkan tulisan yang berada di bagian dalam cincin."Iya, Sayang. Tuh ada tulisan Indah & Milan." Bu Diah mendekatkan cincin pada Indah."Berarti Indah dikerjain Kang Milan, ya, Bu
Begitulah awal mula kedekatan Vanya dan Milan. Seorang ayah tentu saja ingin melihat putrinya menikah dengan orang yang baik dan itu ada pada diri Milan. Namun pada akhirnya ia tidak bisa memaksakan kehendak. Masalah pun datang dan semakin rumit ketika bisnisnya mulai tercium pihak kepolisian karena salah satu anak buahnya yang bernama Danang ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di belakang rumah istri mudanya. Satu-satunya orang yang memegang rahasiahnya adalah Lilis yang berhasil ditangkap polisi. Sekali saja wanita itu membuka mulut maka semua kejahatannya akan terbongkar. Lukman beberapa kali mengunjungi Lilis di penjara. Namun hanya ancaman yang ia dapatkan."Sumpah! Bukan saya pelakunya. Tolong keluarkan saya dari sini atau kejahatan Bapak akan terbongkar di persidangan nanti!" Lilis menatap tajam wajah Lukman."Kamu jangan coba-coba mengancam saya tanpa bukti!" Lukman menekan suaranya."Justru bukti kuatnya ada pada wanita penjual sate itu. Dialah yang telah memut
"Maksud Akang, yes kita makan," jawab Milan sambil menatap tangan Indah yang melingkar di pinggangnya.Indah mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang terletak di pinggir danau. Saung-saung kecil yang unik mengelilingi danau kecil sehingga sangat indah. "Kamu ternyata romantis juga, ya. Pinter memilih tempat," ucap Milan begitu mereka duduk sambil menunggu pesanan datang."Sssttt, makanan sudah datang. Ngegombalnya nanti lagi." Indah menyilang kan telunjuk di bibirnya."Bener, ya, nanti lagi." Milan tersenyum jail.Gurame bakar, ulukutek leunca, sambal terasi, lalapan, nasi liwet dan beberapa makan khas kuliner sunda begitu menggugah selera. Namun saat Indah sedang asik menikmati makan ...."Kenapa, Ndah?" Milan menatap Indah yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya."Kok, di makanan Indah ada cincinnya?" Indah mengamati benda mengkilap berupa cincin."Wahh, kamu beruntung." Milan seolah tak perduli dengan keheranan Indah. Ia asik dengan makanannya."Jangan