Setelah makan malam, Adib mengajakku berkeliling seperti yang dia janjikan. Di rumah ini ada kolam renang dalam ruangan (mungkin digunakan ketika udara terlalu dingin untuk berenang di luar), gym, sejumlah kamar, perpustakaan, ruang bioskop mini, dan begitu banyak ruangan lain yang sepertinya kosong. Ketika kami sampai di tempat tinggal para pelayan, suasana menjadi lebih ‘rumah’. Pada dasarnya, ruang pelayan seperti sebuah rumah di dalam sebuah rumah. Ada lorong terpisah di belakang dapur yang mengarah ke sani, dan seperti rumah, tempat ini memiliki ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di ujung aula ada empat kamar tidur dan dua kamar mandi.
“Selain pelayan yang tadi aku lihat dan Asih, ada lagi, kah, pelayan lainnya?” aku bertanya kepada Adib.
Adib mengangguk. “Pengasuh anaknya Aqmal, Risma.”
“Pengasuh anaknya Aqmal?”
Adib menjawab dengan mengangguk. "Aqmal memiliki seorang putri, namanya Tara."
“Tunggu, kau ingin mengajak Ibu makan malam dengan siapa?”Aneh rasanya mencoba menjelaskan hal ini kepada Ibu, tetapi karena aku harus segera pergi untuk makan malam di rumah Bramantyo (dan aku berasumsi Aqmal sedang menunggu kedatanganku), aku harus menjelaskannya dengan cepat.“Dengan sepupu Adib. Dia wali Adib, kurasa. Adib tidak tinggal bersama orang tuanya. "“Siapa yang membesarkannya?” Ibu bertanya heran.Sebenarnya itu pertanyaan yang bagus. Namun mengingat kembali sepertinya Adib tidak pernah diperlakukan seperti orang seusianya oleh Aqmal, aku sedikit keberatan untuk mengakuinya. “Oleh keluarga sepupunya,” jawabku. Ya, aku dalam misi berbeda kali ini—merayu Ibu agar mau memenuhi undangan Aqmal.“Sepupunya lebih tua darinya?”“Ya. Aku pikir usianya sekitar tiga puluh lebih.”Ibuku mengangguk-angguk menanggapi itu.“Ngomong-ngomong, I
Untuk beberapa alasan, alih-alih mengirim Adib, mereka mengirim seorang Sopir untuk mengemudikan mobil yang menjemputku. Aku pikir itu dilakukan Aqmal untuk membuat ibuku terkesan—apakah itu berhasil? Supir itu berdiri di depan pagar. Wajahnya berusaha dia tekan agar memunculkan kesan ramah padahal tetap saja garang—aku yakin dia salah satu anak buah Aqmal—bahkan hampir mengeluarkan air liur saat aku naik ke kursi belakang dengan gaun baru yang cantik.Aku merasa sangat bersemangat dalam perjalanan, dan pada saat sampai di sana, aku merasa seperti Cinderella. Sopir bahkan membukakan pintu untukku.Andika yang menunggu di depan pintu masuk rumah, membuka pintu. Adel berdiri di belakangnya.“Aku datang!’ kataku bersemangat—sebenarnya aku bicara pada Adel, tetapi Andika yang tersenyum.Adel menghampiriku dan, sambil tersenyum penuh kasih sayang, dia berkata, "Kamu sangat ... " Dia menghentikan ucapannya lalu pend
Aqmal mengirim mobil—beserta supirnya, tentu saja—untuk menjemputku dan Ibu ke sebuah restoran mewah di kota.Om Anton bersedia mengawasi adik-adikku untuk pertama kalinya, dan aku membayangkan mereka semua duduk di sofa, menonton sepak bola, dan minum bir. Ibu meyakinkanku bahwa dia sudah menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk mereka makan malam sebelum pergi, jadi tidak ada kemungkinan adik-adikku akan kelaparan."Ini sangat mengasyikkan," kata Ibu kepadaku, begitu kami sampai di restoran. Tentu saja baginya; ini malam yang menyenangkan. Kapan lagi bisa makan di restoran semewah ini.Sepanjang perjalanan ke sini, Ibu banyak menanyaiku tentang keluarga Adib—apa yang mereka suka? Apakah mereka tampak seperti keluarga kriminal? Seberapa kaya, sih, mereka?Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan budaya aneh keluarga Bramantyo, jadi aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan ibuku sesingkat dan sewajar mungkin
Tangan Adib bergerak di sepanjang lekuk punggungku yang telanjang, sentuhannya ringan, hampir seperti menggelitikAku tengkurap di tempat tidur, kepalaku bertumpu pada lenganku di atas bantal lembut dan empuk. Aku suka saat dia menyentuhku. Aku suka akan fakta; aku berbagi tempat tidur dengannya.“Kau akan membuatku tertidur,” kataku padanya sambil tersenyum santai.Sambil tersenyum, dia berkata, "Ini sudah lewat tengah malam; itu mungkin hal yang baik. ”Aku menghela napas saat tangannya berpindah mengusap seluruh punggungku, dan aku memalingkan wajah untuk melihatnya. Itu mengingatkanku pada malam saat dia menyelinap untuk memelukku. Aneh sekali, saat mengetahui dia tidak perlu menyelinap lagi.Dua minggu sudah berlalu dan aku merasa cukup mampu beradaptasi dengan keluarga iniAqmal sudah tidak terlalu mengawasi pergerakan Adib dan aku sekarang, membiarkan kami tenang. Aku t
“Siapa yang akan kau nikahi?”Mutiara mendongak, kaget, saat aku duduk di kursi di depannya. Melihat aku yang bertanya, dia tertawa kecil, membalik halaman berikutnya dari majalah Panduan Pengantin. “Tidak ada. Tapi akan. Aku tidak mau mati tanpa anak dan sendirian. ""Punya anak ... kedengarannya menyenangkan," kataku, lalu mengambil stroberi dan memasukkannya ke dalam mulutku.“Semua menyenangkan, sepanjang waktu, itulah hidupku.”Setelah beberapa menit, dia menutup majalah dan mendoronganya ke seberang meja ke arahku. “Kau bisa memilikinya jika kau mau.”Aku berkedip saat majalah itu sampai di depanku. "Aku?"“Kau akan menikah sebelum aku menikah,” katanya, lalu berdiri dan mengumpulkan piring sarapannya.“Apakah semua orang di rumah ini tahu bahwa aku baru berusia 20 tahun?” aku bertanya, dengan nada bercanda. “Siapa yang menikah semuda itu? Juga, sementara Adib
Meskipun Mutiara meyakinkanku bahwa aku bukan tahanan dalam bentuk apa pun, Aqmal masih tidak mengizinkan aku pergi keluar rumah tanpa pengawasan. Adib biasanya memberiku tumpangan ke dan dari sekolah, tetapi sekarang aku punya pekerjaan, aku tidak tahu apakah dia akan selalu ada untuk mengantarku. Aku tidak tahu bagaimana nantinya, tetapi untuk hari pertamaku, Adib mengantarku ke toko roti.Saat kami memasuki toko roti dan melihat seorang pria yang cukup menarik di belakang meja depan, aku melihat lengan Adib dengan posesif merangkul pinggangku.Pria di belakang meja kasir tersenyum padaku. “Kau pasti Irina. Mutiara bilang kau akan datang hari ini.”“Apakah dia tidak datang hari ini?” tanyaku bingung.“Dia harus pergi karena ada urusan di luar. Tapi akan segera kembali. Aku akan melatihmu hari ini, jadi jika kau ingin, kita bisa mulai sekarang.”Aku pergi untuk menjauh dari Adib, tetapi dia menarik
“Kau bisa mengeluarkan rotinya.”Aku mengambil kedua keranjang roti dan pergi ke ruang makan. Ini hari Minggu, jadi meja makan malam ini penuh dengan anggota keluarga yang akan aku temui—masih banyak yang belum aku kenal. Setidaknya setengah dari waktu makan malam aku tidak terlibat dengan percakapan, jadi itu tidak masalah. Seperti yang dikatakan Adel kepadaku, aku khawatir keluarga itu akan menjadi lebih chauvinistik, tetapi sebagaimana adanya, makan malam Minggu malam tampak seperti panggilan kembali ke tradisi lama. Aku tidak akan menyalahkan mereka.Saat aku kembali ke dapur, aku mengambil salad Adib. Sebelum aku keluar, Adel memanggil, "Na, Aqmal sudah memberitahumu, kan?”“Beritahu apa?”Adel mengernyit. “Kapan terakhir kau bicara dengannya?”Sedikit terkejut, "Oh", aku berbalik. "Terakhir kali dua minggu lalu," kataku.“Dia tidak membicarakan tentang makan malam?”
Adib sedang melepas pakaiannya ketika aku masuk ke dalam kamar.Naluri pertamaku adalah mundur dari kamar untuk memberinya privasi, tetapi kurasa itu bodoh. Kami sudah berhubungan seks, dan sekarang kami tinggal di kamar yang sama—kami sudah melewati itu.Aku secara halus berdehem, supaya Adib tahu aku di sini. Dia melirik ke belakang dari balik bahunya cukup lama untuk manatapku, lalu melangkah menuju lemari, meraih kaus dan memakainya."Kita harus nonton film yang bagus malam ini," kataku padanya. "Aku terlalu kenyang untuk berondong jagung, tapi menurutku ... nonton film bisa sesuai dengan yang diperintahkan dokter: baik untuk kesehatan mental."Keheningannya yang membatu terus berlanjut, menandakan dia tidak akan menjawabku.Aku melepas sepatuku, lalu menggunakan kakiku untuk menggesernya ke samping meja samping tempat tidur. "Atau kita bisa melakukan sesuatu yang lain, jika kau mau.
Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi—sudah lama se
Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannya—dia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkan—tetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b
Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebek—dan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkap—ini benar-benar bencana.Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal … aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.Polisi akan menangkapnya.Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?"Itu dia, kau bajingan pe
Adib duduk di tepi tempat tidur, mengamati Adel menggulung rambutku.Tidak ada yang berbicara. Terkadang Adel, ketika dia harus menyuruhku memiringkan atau tidak menggerakkan kepalaku, tetapi Adib dan aku sama-sama diam.Akhirnya selesai, dia mengambil hair spray dan menyemprot rambutku.“Apakah kau perlu ada di pertandingan itu?" tanya Adib, dengan perasaan kesal.Aku agak menyesal tidak menerima tawaran Aqmal untuk membuat Adib sibuk. Mungkin seharusnya aku memintanya, meskipun aku tetap akan memberi tahu Adib tentang ini. Tidak membantu siapa pun untuk membuatnya duduk di sini, menonton Adel mendandaniku atas perintah Aqmal, tidak ada dari kami yang tahu persis apa yang akan aku alami nanti, karena kami semua sadar apa pun bisa terjadi.Adel mengerti situasi di kamar ini, jadi dia tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan.“Ayo ambil pakaiannya. Di mana kau meletakkannya?
Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.“Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?” Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar
Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmal—setidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat denganku—semalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng
Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"“Ini hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.”"Aku harus ikut?”Dia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba
Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang … ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t
Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.” Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. “Tahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m