Salah seorang anak buah Bargowi yang pada saat itu tengah berada di beranda rumah tersebut, tampak kaget melihat kedatangan Ramandika.
"Siapa pemuda itu?" desis pria tersebut, sama sekali dia tidak mengenal tamu tak diundang itu.
Pria itu adalah Wikara yang kebetulan sedang bertugas menjaga perkebunan milik majikannya. Wikara sudah paham bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu sedang dalam kondisi marah, sehingga dirinya lekas bangkit dan langsung menghampiri Ramandika.
"Siapa kau, Anak muda? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini ?" tanya Wikara bernada tinggi.
"Di mana pimpinanmu?" jawab Ramandika balas melontar pertanyaan. Suaranya terdengar keras menyulut amarah Wikara.
"Untuk apa kau mencari pemimpinku?"
"Jangan banyak tanya! Katakan saja, di mana Bargowi?" bentak Ramandika.
Entah apa yang merasuk dalam jiwa Ramandika? Pada saat itu sikapnya benar-benar berubah, ia tampak garang dan sangat berani sekali. Ramandika benar-benar siap mengambil risiko bertandang ke markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang terkenal kasar dan kejam.
"Berani sekali kau membentakku, apakah kau sudah bosan hidup?" bentak Wikara. "Jangan mencari pemimpinku. Jika kau merasa hebat hadapi saja aku!" sambungnya penuh amarah.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ada urusan dengan pemimpinmu, Ki Sanak."
"Hahaha ... kau bilang tidak ada urusan denganku?" tanya Wikara bersikap angkuh, dua bola matanya menatap tajam wajah Ramandika sambil tersenyum sinis.
"Bedebah! Katakan di mana Bargowi?"
"Sudah aku katakan lawan saja aku dulu. Kalau aku kalau, kau bisa bertemu dengan pemimpinku."
"Bedebah!" geram Ramandika.
Tanpa banyak bicara lagi, Ramandika langsung maju dua langkah dan langsung menyerang Wikara dengan menggunakan tangan kosong. Namun naas baginya, karena Wikara bukanlah orang sembarangan, sehingga Ramandika mendapatkan kesulitan saat bertarung dengan pria tersebut.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Wikara menangkap tangan Ramandika seraya menggerakkan kaki kanannya dengan lihai, kemudian menendang perut Ramandika. Tendangan keras tersebut, membuat Ramandika kesakitan hingga jatuh bergelimpangan.
"Bangkitlah! Hadapi aku, Anak muda!" tantang Wikara sambil tertawa lepas.
"Kurang ajar!" bentak Ramandika.
Seiring demikian, datanglah beberapa orang pria yang tiada lain adalah orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang baru saja kembali dari kediaman sang kuwu.
Melihat Wikara tengah berhadapan dengan Ramandika, sontak mereka langsung menghampiri. Tanpa diperintah mereka langsung melakukan tindakan keji terhadap Ramandika.
"Habisi saja pemuda ini!" seru Wikara kepada kawan-kawannya yang baru datang.
Demikianlah, mereka kembali menyerang Ramandika dengan menggunakan senjata tajam.
Seketika itu, Ramandika menjadi bulan-bulanan orang-orang tersebut. Ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan, wajahnya sudah penuh darah, tubuhnya pun sudah lemah tak berdaya.
"Aku tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan dengan mereka. Jika aku terus bertahan, maka aku akan mati di tempat ini," gumam Ramandika— mencari celah untuk melarikan diri.
Sekuat tenaga, ia berusaha menahan gempuran orang-orang tersebut. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun kembali jatuh. Tangan kirinya mengalami luka terkena sabetan golok salah seorang yang mengeroyoknya.
"Hahaha ...!" Wikara tertawa lepas saat melihat Ramandika mengalami luka. "Bunuh saja dia!" serunya.
Dalam keadaan semakin terdesak, Ramandika memutuskan untuk menyelamatkan diri. Ia bangkit dan langsung berlari kencang menembus kegelapan malam.
"Kurang ajar, jangan lari kau!" teriak Wikara. "Kejar pemuda itu!" seru Wikara kepada kawan-kawannya.
Dengan demikian, orang-orang itu langsung berlarian. Mereka terus mengejar Ramandika hingga tiba di ujung desa tersebut.
"Ke mana larinya anak muda itu?" tanya salah seorang dari mereka.
"Entahlah, mungkin dia sudah memasuki hutan ini. Sebaiknya kita kembali, kita harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Bargowi dan kepada Ki Kuwu," sahut Wikara.
"Apakah kau kenal dengan pemuda tadi?"
"Aku tidak mengenalnya, tapi pemuda itu mengenal Ki Bargowi. Tiba-tiba dia datang dan berteriak-teriak memanggil Ki Bargowi," jawab Wikara.
"Apakah kau tidak bertanya kepada pemuda itu tentang tujuan kedatangannya?"
"Tidak. Tapi aku yakin, kedatangannya membawa dendam tersendiri kepada Ki Bargowi," jawab Wikara.
Setelah berkata demikian, dia bersama kawan-kawannya langsung kembali ke markas mereka.
Sedangkan Ramandika langsung menuju kediaman Ramudya yang berada di tepi hutan. Ramandika mengalami luka yang sangat parah akibat sabetan golok dari salah seorang pendekar yang bertarung dengannya.
Setibanya di depan gubuk sederhana yang berdiri kokoh di tengah-tengah perkebunan jagung, Ramandika langsung mengetuk pintu gubuk tersebut.
"Tok! Tok! Tok! Paman, tolong buka pintunya!"
Mendengar suara Ramandika, Ramudya bergegas bangun dari tidurnya. "Iya, tunggu sebentar!" sahut Ramudya bangkit dan langsung membuka pintu.
"Apa yang terjadi denganmu, Ramandika?" tanya Ramudya menatap wajah pemuda yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri.
"Aku baru saja bertarung dengan orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan, Paman."
"Nekat sekali kau ini," desis pria paruh baya itu. "Ayo, masuk!"
"Iya, Paman." Ramandika langsung melangkah masuk ke dalam gubuk.
Setelah berada di dalam gubuk, Ramudya tidak banyak bertanya lagi, ia langsung mengambil kain halus dan air hangat untuk membersihkan luka sabetan golok di tangan Ramandika.
"Mengapa kau nekat berurusan dengan mereka?" tanya Ramudya sambil membersihkan luka di tangan Ramandika.
Ramandika mengatur napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan pria paruh baya itu.
"Aku mendatangi mereka, karena aku sudah tahu bahwa mereka adalah para pelaku yang sudah membinasakan keluargaku."
Mendengar jawaban Ramandika, Ramudya tampak kaget dan langsung bertanya lagi, "Kau mengetahui hal itu dari siapa?"
"Dari Rawinta, Paman," jawab Ramandika lirih. "Rawinta mengetahui itu semua dari keterangan Sintani sebelum meninggal, bahkan para penduduk desa lainnya pun mengetahui hal itu. Tapi mereka tidak ada yang mau buka mulut ketika aku bertanya kepada mereka," sambungnya menjelaskan.
"Kurang ajar sekali!" geram Ramudya. "Paman tidak menyangka Kuwu Sangkan bisa sekejam itu," sambung pria paruh baya itu tampak menyesalkan perbuatan sang kuwu.
Di tempat terpisah ....
Malam itu Wikara dan kawan-kawannya sudah berkumpul di rumah yang menjadi markas mereka. Mereka tengah melakukan pembicaraan penting dengan Bargowi yang baru saja tiba di rumah tersebut.
"Kira-kira, siapakah pemuda itu?" tanya Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain.
"Entahlah, di antara kami tidak ada mengenal anak muda itu, Ki," jawab Wikara.
Bargowi terdiam sejenak, pandangannya menerawang jauh menembus kegelapan malam. Pikirannya mulai terarah kepada kasus pembantaian yang dilakukan oleh anak buahnya terhadap keluarga Dupara. Sehingga, ia berkesimpulan bahwa pemuda yang baru saja bertarung dengan anak buahnya adalah Ramandika.
"Apakah pemuda itu memiliki rambut pirang dan memakai kalung Sanca?" tanya Bargowi mengarah kepada Wikara dan kawan-kawannya.
"Benar, Ki. Pemuda itu berambut pirang dan mengenakan kalung Sanca," jawab Wikara.
'Sudah jelas, pemuda itu adalah Ramandika,' kata Bargowi dalam hati.
Sejenak ia menarik napasnya dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Sudah jelas bahwa pemuda itu adalah Ramandika putra Ki Dupara, kemungkinan besar dia datang untuk menuntut balas kepada kita karena kematian kedua orang tuanya dan juga adiknya," desis Bargowi tampak yakin sekali.
Wikara mengerutkan kening memandang wajah Bargowi. Lalu bertanya lagi, "Apakah Aki yakin kalau pemuda itu adalah Ramandika?"
"Ya, aku yakin. Karena tidak ada orang yang memiliki kalung Sanca selain Ramandika dan Dupara," jawab Bargowi.
"Jika memang pemuda itu adalah putra Ki Dupara, lantas apa yang harus kita lakukan, Ki?" Wikara kembali bertanya kepada Bargowi.
"Besok kita cari dia, kita harus segera membunuhnya!" jawab Bargowi langsung memberi perintah.
"Ke mana kita harus mencarinya?" timpal salah seorang anak buahnya.
"Dalam kondisi terluka, tidak mungkin Ramandika pergi jauh dari desa ini. Besok kita harus mendatangi rumah orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya," jawab Bargowi.
"Apakah Aki tahu siapa saja orang-orang yang dekat dengan Ramandika?"
Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika."Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain."Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.Keesokan harinya ....Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut."Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.Ra
Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?""Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika."Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.Setelah
"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus
Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer
Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba
Jayamanik merangkapkan kedua telapak tangannya seraya berkata, "Baik, Guru. Apa yang Guru perintahkan akan aku laksanakan dengan baik."Tanpa berlama-lama lagi, Jayamanik langsung pamit kepada Ki Ageng Penggir, saat itu juga dirinya langsung menemui Bisama, Sena, dan kedua kawan baiknya yakni Braja dan Kolada.Mereka langsung mengadakan pembicaraan penting terkait rencana mereka yang akan segera mengusir Dendaka dan juga Somala."Bedebah! Ternyata, merekalah yang menjadi dalang di balik hilangnya Ramandika," geram Bisama."Sedari awal, aku sudah merasa curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Dendaka dan Somala terhadap Ramandika. Ternyata memang benar, dugaanku tidak meleset," desis Braja."Kita harus segera meminta keterangan lebih jelas dari Dendaka dan Somala terkait kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap Ramandika. Aku ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka, sehingga mereka tega membuat Ramandika menderita," ujar Bisama dengan raut wajah penuh amarah.H
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu