Beranda / Pendekar / SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA / 2. Ramandika Nekat Mendatangi Markas Anak Buah Kuwu Sangkan

Share

2. Ramandika Nekat Mendatangi Markas Anak Buah Kuwu Sangkan

Penulis: CahyaGumilar79
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Maaf, Ramandika. Kami tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua pria itu.

Sejatinya, mereka mengetahui para pelaku yang sudah membinasakan orang tua dan adiknya Ramandika. Informasi tentang pelaku, mereka dapatkan dari keterangan Sintani—adik Ramandika sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, mereka tidak berani mengatakan apa yang sudah mereka ketahui kepada Ramandika karena mereka takut terlibat dalam kasus tersebut.

Pasalnya, para pelaku itu bukanlah orang sembarangan, tentu mereka takut mendapatkan ancaman jika berani buka mulut di hadapan Ramandika.

“Jadi, kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” tanya Ramandika lagi.

“Tidak Ramandika, kami sungguh tidak mengetahui siapa pelakunya.”

Ramandika terdiam sejenak, ia tampak bingung sekali harus mencari informasi kepada siapa agar dirinya segera mengetahui para pelaku yang sudah membunuh kedua orang tua dan adiknya.

Ramandika menghela napas dalam-dalam, pandangannya terarah pada dua orang pria yang ada di hadapannya.

“Lantas, di mana jasad keluargaku dimakamkan?”

“Mereka dimakamkan di kebun milikmu.”

Setelah menjawab pertanyaan Ramandika, dua orang tersebut langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramandika.

Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintas, tampak tidak peduli melihat Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Para penduduk itu justru mengabaikannya, mereka tidak mau mendekati Ramandika.

Beberapa saat kemudian ....

Ramandika bangkit, ia melangkah mendekat ke arah rumah yang sudah hancur berantakan. Sejenak ia memandangi reruntuhan rumahnya. Setelah itu langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ramandika berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju ke arah ladang tempat dimakamkan jasad ayah dan adiknya.

Di makam kedua orang tua dan adiknya, Ramandika menangis sambil berdoa.

“Jika saja aku tidak ikut dengan Paman Sonda, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi menimpa keluargaku. Aku pasti mampu melawan para penjahat itu," kata Ramandika setelah selesai berdoa.

Tanpa ia sadari, seorang pria paruh baya yang selama ini dekat dengannya sudah berdiri di belakangnya.

“Ramandika,” kata pria paruh baya itu lirih.

Mendengar suara tersebut, Ramandika langsung menyeka air matanya. Kemudian berpaling ke arah belakang.

"Paman Ramudya."

Ramandika bangkit dan langsung memeluk erat tubuh pria paruh baya itu sambil terisak.

“Aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai Paman,” kata Ramandika sambil menangis pilu di pelukan Ramudya.

“Ini adalah bagian takdir kehidupan yang harus kau jalani. Maafkan Paman, karena pada saat kejadian, Paman tidak ada di desa ini,” ucap Ramudya mengelus lembut pundak Ramandika. "Paman tidak bisa menolong mereka."

Ramandika terus menangis, ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dadanya terasa sesak, pandangannya sudah redup terhalang bulir bening yang terus mengalir dari kelopak matanya.

“Tak ada seorang pun penduduk yang berani buka mulut, Paman sudah bertanya kepada orang-orang yang ada di desa ini, tapi tak ada seorang pun yang mau memberitahu tentang pelakunya.”

“Ia Paman, aku pun sudah bertanya kepada para penduduk, tapi mereka tidak ada yang mau memberitahuku tentang pelakunya.”

"Maafkan Paman, Ramandika."

Perlahan, Ramandika melepaskan pelukannya. Ia menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap tajam wajah pria paruh baya yang selama ini sangat menyayanginya.

“Tidak apa-apa, Paman. Aku akan mencaritahu sendiri siapa pelakunya,” desis Ramandika.

"Apakah kau sudah bertemu dengan Rawinta?"

"Belum Paman."

"Cobalah kau datangi dia, barangkali dia mau tahu semuanya!"

“Baik, Paman. Aku akan langsung menemui Rawinta. Semoga saja Rawinta mengetahui para pelakunya."

“Iya, Ramandika. Tapi ingat, kau harus kembali ke sini!” kata Ramudya.

“Iya, Paman. Aku pasti kembali ke sini setelah bertemu dengan Rawinta.”

Setelah berkata demikian, Ramandika langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramudya.

Setibanya di kediaman Rawinta, Ramandika langsung mengetuk pintu, "Tok! Tok! Tok!"

“Rawinta! Apakah kau ada di dalam?” kata Ramandika berdiri di depan pintu rumah sederhana milik sahabatnya.

Rawinta yang kebetulan baru pulang dan sedang beristirahat di ruang tengah kediamannya, langsung menyahut, “Iya, Tunggu sebentar!"

Rawinta bangkit dari duduknya dan langsung melangkah ke arah pintu. Kemudian langsung membuka pintu kediamannya.

"Ramandika!" Dua bola matanya melebar ketika melihat Ramandika sudah berada di hadapannya. "Sejak kapan kau kembali?”

Ramandika tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya tersenyum tipis dengan dua bola mata yang berkaca-kaca.

Rawinta paham dengan kondisi yang tengah dialami sahabatnya itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mempersilakan Ramandika duduk, “Silakan duduk, Ramandika!”

Ramandika mengangguk dan langsung melangkah menuju sebuah kursi yang ada di beranda rumah tersebut. Setelah duduk, tanpa banyak basa-basi lagi, Ramandika langsung bertanya kepada Rawinta tentang pelaku pembunuhan kedua orang tuanya dan juga Sintani—adik kandungnya.

“Sebenarnya aku tidak berani mengatakan hal ini. Tapi ... ini semua harus aku katakan kepadamu, Ramandika,” kata Rawinta dengan suara rendah. “Kau adalah sahabat baikku, tidak mungkin aku merahasiakan ini semua,” sambungnya.

“Katakan saja, Rawinta! Siapa pelakunya?”

Rawinta terdiam sejenak, dua bola matanya memandang ke sekitar halaman rumahnya. Seakan-akan dirinya tengah memastikan bahwa tidak ada orang lain di tempat itu selain dirinya dan Ramandika. Rawinta khawatir jika ada orang lain yang akan menguping pembicaraannya dengan Ramandika.

Setelah merasa aman, barulah ia menjawab, "Pelakunya adalah Ki Bargowi dan beberapa orang anak buahnya. Aku tahu semua dari keterangan Sintani sebelum dia meninggal, bahkan sebagian warga pun mengetahuinya," bisik Rawinta.

Ramandika tampak kaget, dirinya tercengang ketika mendengar keterangan dari sahabatnya itu.

"Ki Bargowi?" tanya Ramandika menatap tajam wajah Rawinta.

"Ya, Ki Bargowi. Dia dan anak buahnya diperintahkan langsung oleh Kuwu Sangkan untuk membinasakan keluargamu," jawab Rawinta.

Ramandika menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan telapak tangannya, kemudian memukul meja yang ada di hadapannya.

"Bedebah! Aku harus membalas dendam kepada mereka malam ini juga," kata Ramandika penuh kegusaran.

"Jangan, Ramandika!" cegah Rawinta. "Mereka bukan orang-orang sembarangan, mereka adalah para pendekar yang memiliki ilmu kanuragan tinggi," sambungnya.

Rawinta tampak khawatir jika terjadi sesuatu pada diri Ramandika jika nekat melakukan tindakan balas dendam terhadap pihak Kuwu Sangkan.

"Kau jangan khawatir, Rawinta! Aku pasti bisa menghadapi mereka!" tegas Ramandika penuh keyakinan, meskipun pada kenyataannya dia tidak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.

Rawinta menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Kalau memang seperti itu, aku ikut."

"Tidak perlu, Rawinta! Biarkan aku sendiri saja, aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan ini," kata Ramandika langsung bangkit. "Aku harus menemui Ki Bargowi saat ini juga," sambungnya.

"Besok saja, Ramandika. Kau harus istirahat, sebentar lagi malam."

"Tidak apa-apa, justru malam hari adalah langkah yang tepat untuk menemui mereka," pungkas Ramandika langsung berlalu dari hadapan Rawinta.

Melihat sikap sahabatnya tengah dalam kegusaran, Rawinta tidak banyak bicara lagi, dia paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Ramandika. Tentu akan menimbulkan masalah jika dirinya memaksa untuk ikut atau berusaha mencegahnya.

"Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ramandika," desis Rawinta, kemudian menghela napas dalam-dalam.

Dengan penuh kegusaran, Ramandika terus melangkah menyusuri jalan setapak hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal Bargowi dan beberapa orang anak buahnya.

Saat tiba di tempat tujuan, hari pun sudah mulai gelap. Karena perjalanan dari kediaman Rawinta ke tempat tersebut jaraknya lumayan jauh. Tempat tersebut berada di ujung desa yang jauh dari pemukiman penduduk.

Ramandika langsung menghentikan langkahnya, ia berdiri tegak di depan rumah yang merupakan markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan. Rumah tersebut berada di pinggir perkebunan tebu milik Kuwu Sangkan.

"Bargowi, keluar kau!" teriak Ramandika.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
Mohon maaf Kak, terima kasih informasinya. Cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kisah sejarah nyata, ini hanya fiktif karangan belaka, jika ada kemiripan nama dan karakter itu hanya kebetulan saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    3. Ramandika Menjadi Buruan Kelompok Bargowi

    Salah seorang anak buah Bargowi yang pada saat itu tengah berada di beranda rumah tersebut, tampak kaget melihat kedatangan Ramandika."Siapa pemuda itu?" desis pria tersebut, sama sekali dia tidak mengenal tamu tak diundang itu.Pria itu adalah Wikara yang kebetulan sedang bertugas menjaga perkebunan milik majikannya. Wikara sudah paham bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu sedang dalam kondisi marah, sehingga dirinya lekas bangkit dan langsung menghampiri Ramandika."Siapa kau, Anak muda? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini ?" tanya Wikara bernada tinggi."Di mana pimpinanmu?" jawab Ramandika balas melontar pertanyaan. Suaranya terdengar keras menyulut amarah Wikara."Untuk apa kau mencari pemimpinku?""Jangan banyak tanya! Katakan saja, di mana Bargowi?" bentak Ramandika.Entah apa yang merasuk dalam jiwa Ramandika? Pada saat itu sikapnya benar-benar berubah, ia tampak garang dan sangat berani sekali. Ramandika benar-benar siap mengambil risiko bertandang ke markas oran

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    4. Pertarungan Ramudya dengan Bargowi

    Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika."Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain."Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.Keesokan harinya ....Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut."Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.Ra

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    5. Ramandika Pergi Meninggalkan Desa Kelahirannya

    Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?""Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika."Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.Setelah

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    6. Perjalanan Menuju ke Selatan

    "Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    7. Ramandika Tiba di Padepokan Lembah Naga

    Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    8. Dendaka dan Somala Membuat Siasat Jahat untuk Ramandika

    Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    9. Ramandika Dianiaya Oleh Dendaka dan Somala

    Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    10. Ki Ageng Penggir Murka Terhadap Dendaka dan Somala

    Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba

Bab terbaru

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    162. Menyatukan Tanah Gurusetra

    Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    161. Kekalahan Pasukan Sayap Timur

    Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    160. Pasukan Sayap Timur Mulai Terdesak

    Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    159. Ramandika dan Pasukannya Sudah Siap Berperang

    Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    158 Kelompok Sayap Timur Berhasil Melakukan Penculikan

    Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    157. Ramandika Tiba di Kadipaten Dembaga Pura

    Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    156. Teror dari Kelompok Pendekar Sayap Timur

    Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    155. Rinjani Diangkat Menjadi Ratu

    Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    154. Senapati Dukira Tewas di Tangan Kardala

    Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu

DMCA.com Protection Status