Home / Pendekar / SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA / 5. Ramandika Pergi Meninggalkan Desa Kelahirannya

Share

5. Ramandika Pergi Meninggalkan Desa Kelahirannya

Author: CahyaGumilar79
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.

'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.

Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.

Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?"

"Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika.

"Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.

Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.

Setelah membunuh Ramudya, Bargowi langsung memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke markas mereka.

"Kita kembali ke markas, kita harus segera melapor kepada ki kuwu!"

Demikianlah, Bargowi dan anak buahnya langsung bergerak cepat meninggalkan tempat tersebut. Mereka meninggalkan jasad Ramudya yang tergeletak begitu saja.

Selang beberapa menit kemudian, Ramandika dan Rawinta sudah kembali ke rumah Ramudya. Mereka tampak kaget ketika melihat Ramudya tergeletak dengan bersimbah darah.

"Paman!" teriak Ramandika berlari ke arah jasad Ramudya yang tergeletak di halaman rumah tersebut.

Ia bersama Rawinta tampak terpukul ketika mengetahui bahwa Ramudya sudah tak bernyawa lagi.

"Siapa orang yang sudah tega membunuh Paman Ramudya?" tanya Ramandika meluruskan pandangannya ke arah Rawinta.

"Aku rasa, ini semua adalah perbuatan orang-orang yang sudah membunuh keluargamu," jawab Rawinta lirih.

"Maksudmu anak buah Kuwu Sangkan?"

"Benar, Ramandika. Aku yakin bahwa pelakunya adalah mereka!" tandas Rawinta tampak yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya.

Ramandika menghela napas dalam-dalam, giginya menggeretak, tangan kanannya mengepal bulat.

"Bedebah! Mereka sangat kejam, aku tidak menyangka jika persoalan kecil ini bisa menjadi fatal bagi orang-orang yang dekat dengan keluargaku."

"Mohon maaf, Ramandika. Sebenarnya konflik apa yang sudah terjadi antara orang tuamu dengan Ki Kuwu Sangkan?" tanya Rawinta menatap wajah Ramandika.

"Persoalannya hanya sepele, ramaku pernah menolak lamaran Yasmaraka yang ingin menikahi Sintani,' jawab Ramandika.

"Kejam sekali Kuwu Sangkan, sebaiknya kau melaporkan kejadian ini kepada pihak kademangan, agar para prajurit yang bertugas di kademangan menyelidiki kasus ini!" saran Rawinta.

"Tidak ada bukti yang kuat, percuma saja. Aku akan membalas perbuatan mereka dengan caraku sendiri!" tegas Ramandika menanggapi perkataan sahabatnya itu.

Setelah itu, mereka langsung bersiap hendak membersihkan jasad Ramudya. Karena hari itu juga, jasad Rawinta akan dimakamkan.

Sore harinya ....

Ketika Ramandika dan Rawinta tengah duduk santai di beranda gubuk. Terdengar orang berteriak-teriak menyebut nama Ramandika.

"Ramandika! Ramandika ...!"

Ramandika dan Rawinta tampak kaget mendengar suara teriakan tersebut. Mereka bangkit dan segera berlari menghampiri seorang pria paruh baya yang sudah tergeletak di pinggir ladang.

"Ada apa, Ki Warma? Apa yang sudah terjadi denganmu?" tanya Ramandika sambil membantu pria paruh baya itu bangkit.

"Ki Sonda dan semua orang yang ada di rumahnya sudah tewas," jawab pria paruh baya itu terengah-engah.

"Apakah Ki Warma tahu orang yang sudah membantai Ki Sonda dan para pelayannya?" timpal Rawinta menatap tajam wajah pria paruh baya itu.

"Tidak Rawinta, semua orang yang ada di sekitar rumah Ki Sonda tidak mengetahui kejadian tersebut. Sehingga kami sebagai tetangga dekat Ki Sonda, sama sekali tidak mengetahui siapa pelakunya," jawab Ki Warma diam sejenak.

"Lantas, siapa yang mengetahui bahwa Ki Sonda dan semua yang ada di kediamannya telah meninggal dunia, Ki?" tanya Ramandika ikut angkat bicara.

"Narasoma," jawab Ki Warma lirih. "Dia mengetahuinya ketika dirinya mengantarkan makanan yang dipesan oleh istri Ki Sonda. Ketika Narasoma tiba di rumah Ki Sonda, dia menemukan Ki Sonda dan semua yang ada di rumah tersebut sudah dalam keadaan tewas," sambung pria paruh baya itu menuturkan.

"Ternyata desa kita sudah tidak aman lagi, kau harus waspada Ramandika," bisik Rawinta.

Demikianlah, maka Ramandika langsung mengajak Ki Warma berbincang-bincang di beranda gubuk. Ramandika dan Rawinta langsung menceritakan kejadian serupa yang menimpa Ramudya.

"Apakah mungkin itu semua perbuatan para gerombolan yang ada di hutan?" tanya Ki Warma menanggapi apa yang sudah dijelaskan oleh Ramandika dan Rawinta.

"Entahlah, kami tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuduh siapa pelakunya," jawab Ramandika lirih.

Ki Warma menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi mengarah kepada Ramandika, "Sebaiknya kau harus segera meninggalkan desa ini, Ramandika. Aku yakin, ini semua buntut dari kematian keluargamu."

Ramandika berpaling ke arah Rawinta, lalu berkata, "Apa yang dikatakan oleh Ki Warma memang benar, aku harus secepatnya meninggalkan desa ini."

"Benar, Ramandika. Demi keselamatanmu, kau memang harus segera meninggalkan desa ini, aku khawatir orang-orang itu akan memburumu," ujar Rawinta.

"Baiklah, esok pagi aku akan langsung berangkat ke gunung Kencana. Aku akan mengikuti saran Paman Ramudya untuk mencari Padepokan Lembah Naga," desis Ramandika.

Keesokan harinya ....

Sebelum matahari terbit, Ramandika sudah berangkat meninggalkan desa kelahirannya. Ia berangkat hanya seorang diri dengan berjalan kaki menuju ke arah selatan menyusuri jalan setapak.

Bukanlah perkara mudah bagi Ramandika dalam melakukan perjalanan tersebut. Karena dalam perjalanannya itu, ia diterpa berbagai aral dan rintangan.

Terlebih lagi ketika dirinya tiba di sebuah perbukitan yang ada di batas wilayah kerajaan Gurusetra. Tiba-tiba saja, Ramandika dihadang oleh dua orang pria tak dikenal. Sudah dapat dipastikan bahwa kedua orang tersebut merupakan bagian dari komplotan para perampok yang biasa beroperasi di wilayah itu.

"Siapa kalian? Kenapa kalian menghadang perjalananku?" tanya Ramandika mengarah kepada dua orang pria tersebut.

Related chapters

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    6. Perjalanan Menuju ke Selatan

    "Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    7. Ramandika Tiba di Padepokan Lembah Naga

    Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    8. Dendaka dan Somala Membuat Siasat Jahat untuk Ramandika

    Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    9. Ramandika Dianiaya Oleh Dendaka dan Somala

    Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    10. Ki Ageng Penggir Murka Terhadap Dendaka dan Somala

    Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    11. Dendaka dan Somala Diusir dari Padepokan

    Jayamanik merangkapkan kedua telapak tangannya seraya berkata, "Baik, Guru. Apa yang Guru perintahkan akan aku laksanakan dengan baik."Tanpa berlama-lama lagi, Jayamanik langsung pamit kepada Ki Ageng Penggir, saat itu juga dirinya langsung menemui Bisama, Sena, dan kedua kawan baiknya yakni Braja dan Kolada.Mereka langsung mengadakan pembicaraan penting terkait rencana mereka yang akan segera mengusir Dendaka dan juga Somala."Bedebah! Ternyata, merekalah yang menjadi dalang di balik hilangnya Ramandika," geram Bisama."Sedari awal, aku sudah merasa curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Dendaka dan Somala terhadap Ramandika. Ternyata memang benar, dugaanku tidak meleset," desis Braja."Kita harus segera meminta keterangan lebih jelas dari Dendaka dan Somala terkait kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap Ramandika. Aku ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka, sehingga mereka tega membuat Ramandika menderita," ujar Bisama dengan raut wajah penuh amarah.H

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    12. Ramandika Hendak Kembali ke Kampung Halamannya

    Setelah kedua pemuda itu pergi dari Padepokan Lembah Naga, Ki Ageng Penggir langsung memerintahkan kepada Sena dan Braja, supaya besok ikut bersama Jayamanik menjemput Ramandika yang ada di kediaman Jayamanik."Kau dan Braja, besok pagi harus ikut dengan Jayamanik untuk menjemput Ramandika, karena aku khawatir dengan keselamatan Ramandika," ujar Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan murid-murid seniornya."Baik, Guru." Sena dan Braja menjawab serentak sambil menjura hormat kepada sang guru."Kita harus melindungi Ramandika! Dia masih lemah dan masih belum memiliki keahlian ilmu bela diri, keselamatannya sewaktu-waktu bisa saja terancam," kata Ki Ageng Penggir.'Apakah ada yang spesial di dalam diri Ramandika, sehingga guru sangat perhatian terhadap Ramandika?' batin Sena tampak bingung melihat sikap gurunya yang begitu perhatian terhadap Ramandika.Meskipun demikian, Sena tidak merasa iri. Dia justru sangat menyukai Ramandika yang selama kenal dengan dirinya memiliki sikap b

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    13. Ramandika Berangkat ke Gurusetra

    Malam harinya ....Ramandika langsung menemui Sena, untuk membicarakan terkait rencananya yang akan pulang ke kampung halamannya."Sena, buka pintunya!" kata Ramandika ketika sudah berada di depan pintu kamar kawannya itu."Iya, tunggu sebentar!" sahut Sena bergegas bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya."Ada apa, Ramandika?" tanya Sena memandang wajah Ramandika."Aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu," jawab Ramandika lirih. "Tapi, hanya kau saja yang boleh tahu," sambungnya."Baiklah, di sini hanya ada kita saja berdua, tidak ada siapa-siapa lagi."Sena pun langsung mempersilakan Ramandika untuk duduk di kursi yang ada di beranda kamarnya."Duduklah!""Iya, Sena." Ramandika duduk berhadap-hadapan dengan pemuda yang selama ini sudah baik terhadap dirinya dan juga banyak membantu ketika dirinya dalam kesulitan.Setelah duduk, Ramandika langsung membicarakan terkait rencana dirinya yang akan pulang ke kampung halamannya malam itu."Apakah kau sudah izin kepada guru?" tanya Sena

Latest chapter

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    162. Menyatukan Tanah Gurusetra

    Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    161. Kekalahan Pasukan Sayap Timur

    Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    160. Pasukan Sayap Timur Mulai Terdesak

    Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    159. Ramandika dan Pasukannya Sudah Siap Berperang

    Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    158 Kelompok Sayap Timur Berhasil Melakukan Penculikan

    Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    157. Ramandika Tiba di Kadipaten Dembaga Pura

    Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    156. Teror dari Kelompok Pendekar Sayap Timur

    Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    155. Rinjani Diangkat Menjadi Ratu

    Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa

  • SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA    154. Senapati Dukira Tewas di Tangan Kardala

    Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu

DMCA.com Protection Status