Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja.
"Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut.
"Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"
Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir.
"Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan.
"Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk jurus dasar, kau akan dilatih oleh Bisama. Dia adalah murid paling senior di padepokan ini," lanjutnya.
"Baik, Guru."
"Dan satu lagi, kau harus mentaati peraturan di sini!"
"Iya, Guru. Aku akan mengikuti dan taat pada aturan yang sudah Guru tetapkan di padepokan ini," kata Ramandika lirih.
Ki Ageng Penggir tersenyum lalu bangkit dan langsung berlalu dari hadapan Ramandika.
"Ya, Dewata agung. Terima kasih banyak atas anugerah yang telah kau berikan," ucap Ramandika lirih.
"Akhirnya, kau diterima menjadi murid di padepokan ini," desis Sena tersenyum lebar menatap wajah Ramandika.
"Ini semua berkat kalian," kata Ramandika mengarah kepada Sena, Braja, dan Kolada.
****
Keesokan harinya ....
Ramandika sudah mulai berlatih bersama para murid lainnya yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang.
Kehadiran Ramandika, tidak mendapatkan respon baik dari keseluruhan murid yang ada di padepokan itu. Hanya Sena, Braja, dan Kolada saja yang bersikap baik terhadap Ramandika, sementara yang lain tampak acuh dan terkesan iri kepada Ramandika yang baru datang akan tetapi sudah terlihat akrab dengan Ki Ageng Penggir.
"Anak muda, kemarilah!" panggil Bisama sang pelatih ilmu kanuragan di padepokan tersebut.
"Iya, Ki," sahut Ramandika yang baru saja selesai berlatih bersama murid-murid lainnya.
"Siapa namamu?" tanya Bisama menatap tajam wajah Ramandika.
"Namaku Ramandika," jawab Ramandika lirih sambil membungkukkan badan penuh hormat.
"Meskipun belum sempurna, tapi pergerakanmu dalam berlatih sangat bagus," puji Bisama sambil meletakkan tangannya di atas pundak Ramandika. "Apakah sebelumnya kau ini sudah pernah belajar silat?" lanjut pria bertubuh kekar itu.
"Pernah, Ki. Tapi, aku belum mahir dalam menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh pamanku."
"Percayalah, di sini kau akan menguasai semua jurus-jurus yang aku ajarkan. Asalkan kau bersungguh-sungguh dalam mengikuti latihan," kata Bisama. "Setelah itu kau akan diajarkan langsung jurus-jurus kunci dan ilmu tenaga dalam oleh guru sepuh," sambungnya.
"Baik, Ki. Mudah-mudahan saja semua bisa terwujud," ujar Ramandika.
"Ya, sudah. Sekarang kau istirahat saja!" pungkas Bisama menepuk pelan pundak Ramandika, kemudian berlalu dari hadapan murid barunya itu.
"Dia sangat pandai mencari muka," bisik Somala—seorang pemuda yang sudah lama menjadi murid di padepokan tersebut.
"Apakah kau tahu, siapakah sebenarnya anak baru itu?" tanya Dendaka.
"Tidak! Aku tidak mengenalinya, dia ditemukan di hutan oleh Sena, Braja, dan Kolada dalam keadaan pingsan. Kemudian dibawa ke sini," jawab Somala. "Sebaiknya kita beri pelajaran saja anak baru itu, supaya dia tidak bersikap cari muka di hadapan Ki Bisama dan guru sepuh," sambungnya berbisik pelan mengenai daun telinga kawannya.
"Apa yang akan kita lakukan kepada anak baru itu?" tanya Dendaka mengerutkan keningnya.
"Kau ajak dia ke sungai! Aku akan menunggu di sungai, setelah berada di sungai kita beri pelajaran dia," bisik Somala menjawab pertanyaan kawannya.
"Baiklah, sekarang kau berangkat saja duluan! Aku akan membujuk anak baru itu agar ikut denganku ke sungai," bisik Dendaka.
"Ya, sudah. Aku ke sungai duluan. Tapi ingat, jangan sampai Sena dan dua sahabat baiknya itu ikut ke sungai!"
"Iya, kau tenang saja! Akan aku atur semuanya."
Setelah berkata demikian, Dendaka langsung berjalan menuju barak, dan Somala pun langsung berjalan menuju sungai yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan tersebut.
Setibanya di hadapan Ramandika, Dendaka mulai bersikap baik. Dia langsung berbicara basa-basi, kemudian berkenalan dengan Ramandika.
"Senang bisa berkenalan denganmu Dendaka," ucap Ramandika lirih.
"Aku pun demikian. Kalau ada apa-apa, aku pasti akan membantumu," kata Dendaka dengan sikap ramah.
Mereka terus berbincang santai, hingga pada akhirnya, Dendaka langsung mengajak Ramandika untuk pergi ke sungai.
"Aku akan pergi ke sungai, jika kau mau kau boleh ikut. Di sana kau akan takjub melihat pemandangan sungai yang sangat indah dan tak akan pernah kau lihat di tempat mana pun," kata Dendaka di sela perbincangannya dengan Ramandika.
"Apakah jaraknya jauh dari padepokan ini?" tanya Ramandika menatap wajah Dendaka.
"Lumayan jauh," jawab Dendaka.
"Aku jadi penasaran, seperti apa pemandangan di sungai itu?" desis Ramandika.
"Ya, sudah. Kau ikut saja, Ramandika!" ajak Dendaka.
Ramandika menghela napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi, "Baiklah, aku ikut denganmu. Aku penasaran ingin melihat keindahan alam yang ada di sekitar sungai itu."
Tanpa banyak bicara lagi, Dendaka bangkit dan langsung mengajak Ramandika untuk segera berangkat menuju sungai yang dimaksud.
Ramandika pun bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah Dendaka.
Sedikit pun tak ada rasa curiga dalam pikiran Ramandika terhadap Dendaka, ia mengira bahwa kawan barunya itu benar-benar tulus ingin bersahabat dengan dirinya.
'Akhirnya kau ikut juga Ramandika, aku dan Somala akan memberikan pelajaran kepadamu,' kata Dendaka dalam hati.
Beberapa saat kemudian ....
Mereka sudah hampir tiba di tempat yang mereka tuju. Namun, tiba-tiba saja, Dendaka meminta agar Ramandika berjalan di depan. Entah apa maksudnya? Tanpa rasa curiga sedikit pun, Ramandika mengikuti permintaan pemuda tersebut.
"Sebaiknya kau berjalan di depan saja, Ramandika! Biarkan aku di belakang mengikutimu."
"Tapi, aku tidak tahu jalan ke arah sungai, Dendaka."
"Kau tinggal ikuti jalan ini saja! Tak ada jalur lain, selain jalur ini."
Dengan demikian, Ramandika menuruti apa yang dikatakan oleh Dendaka. Ia langsung berjalan dimuka menyusur jalan setapak menuju ke arah sungai yang dituju.
Akan tetapi, ketika sudah tiba di tempat tujuan. Tiba-tiba saja Dendaka menghilang, entah ke mana perginya? Ramandika tampak bingung, namun Ramandika beranggapan bahwa kawan barunya itu hanya bercanda dan mempermainkan dirinya yang baru menginjakkan kaki di tempat tersebut.
"Dendaka! Kau di mana?" teriak Ramandika ketika mengetahui bahwa Dendaka sudah tak ada di belakangnya. "Jangan becanda, Dendaka!" teriaknya lagi.
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer
Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba
Jayamanik merangkapkan kedua telapak tangannya seraya berkata, "Baik, Guru. Apa yang Guru perintahkan akan aku laksanakan dengan baik."Tanpa berlama-lama lagi, Jayamanik langsung pamit kepada Ki Ageng Penggir, saat itu juga dirinya langsung menemui Bisama, Sena, dan kedua kawan baiknya yakni Braja dan Kolada.Mereka langsung mengadakan pembicaraan penting terkait rencana mereka yang akan segera mengusir Dendaka dan juga Somala."Bedebah! Ternyata, merekalah yang menjadi dalang di balik hilangnya Ramandika," geram Bisama."Sedari awal, aku sudah merasa curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Dendaka dan Somala terhadap Ramandika. Ternyata memang benar, dugaanku tidak meleset," desis Braja."Kita harus segera meminta keterangan lebih jelas dari Dendaka dan Somala terkait kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap Ramandika. Aku ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka, sehingga mereka tega membuat Ramandika menderita," ujar Bisama dengan raut wajah penuh amarah.H
Setelah kedua pemuda itu pergi dari Padepokan Lembah Naga, Ki Ageng Penggir langsung memerintahkan kepada Sena dan Braja, supaya besok ikut bersama Jayamanik menjemput Ramandika yang ada di kediaman Jayamanik."Kau dan Braja, besok pagi harus ikut dengan Jayamanik untuk menjemput Ramandika, karena aku khawatir dengan keselamatan Ramandika," ujar Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan murid-murid seniornya."Baik, Guru." Sena dan Braja menjawab serentak sambil menjura hormat kepada sang guru."Kita harus melindungi Ramandika! Dia masih lemah dan masih belum memiliki keahlian ilmu bela diri, keselamatannya sewaktu-waktu bisa saja terancam," kata Ki Ageng Penggir.'Apakah ada yang spesial di dalam diri Ramandika, sehingga guru sangat perhatian terhadap Ramandika?' batin Sena tampak bingung melihat sikap gurunya yang begitu perhatian terhadap Ramandika.Meskipun demikian, Sena tidak merasa iri. Dia justru sangat menyukai Ramandika yang selama kenal dengan dirinya memiliki sikap b
Malam harinya ....Ramandika langsung menemui Sena, untuk membicarakan terkait rencananya yang akan pulang ke kampung halamannya."Sena, buka pintunya!" kata Ramandika ketika sudah berada di depan pintu kamar kawannya itu."Iya, tunggu sebentar!" sahut Sena bergegas bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya."Ada apa, Ramandika?" tanya Sena memandang wajah Ramandika."Aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu," jawab Ramandika lirih. "Tapi, hanya kau saja yang boleh tahu," sambungnya."Baiklah, di sini hanya ada kita saja berdua, tidak ada siapa-siapa lagi."Sena pun langsung mempersilakan Ramandika untuk duduk di kursi yang ada di beranda kamarnya."Duduklah!""Iya, Sena." Ramandika duduk berhadap-hadapan dengan pemuda yang selama ini sudah baik terhadap dirinya dan juga banyak membantu ketika dirinya dalam kesulitan.Setelah duduk, Ramandika langsung membicarakan terkait rencana dirinya yang akan pulang ke kampung halamannya malam itu."Apakah kau sudah izin kepada guru?" tanya Sena
Ki Ageng Penggir menghentikan langkahnya, lalu berpaling ke arah Sena yang sudah ada di belakangnya."Ada apa, Sena?" tanya Ki Ageng Penggir."Mohon maaf, Guru. Apakah Guru mencari Ramandika?" jawab Sena balas bertanya."Iya, tapi dia sudah tidak ada di kamarnya.""Mohon maaf, Guru. Sebenarnya Ramandika itu sudah berangkat ke Gurusetra, tapi hanya untuk beberapa hari saja," kata Sena setelah berada di hadapan sang guru. "Tadi malam dia pamit kepadaku," sambungnya lirih dengan sikap penuh hormat."Ya, aku sudah tahu," jawab Ki Ageng Penggir. Setelah itu, ia langsung berlalu dari hadapan Sena."Ya, Dewata agung! Ternyata guru sudah mengetahuinya," desis Seba memandang ke arah pria paruh baya yang sudah berlalu dari hadapannya. "Tapi, kenapa guru tidak marah?" sambung Sena tampak bingung.***Siang itu, Ramandika sudah tiba di perbatasan wilayah kerajaan Dongkala dengan wilayah kerajaan Gurusetra.Karena merasa lelah, maka Ramandika langsung istirahat sejenak di tepi sungai yang berbatas
Dua orang pria tersebut kembali mentertawakan Ramandika, seakan-akan mereka tahu bahwa Ramandika adalah seorang pemuda lemah, sehingga mereka tidak mau tunduk dan menuruti seruan Ramandika.'Aku tidak bisa bertahan di sini, mereka adalah orang-orang kuat yang bukan tandinganku,' kata Ramandika dalam hati.Dengan demikian, Ramandika mulai mencari celah untuk kabur dari tempat itu. 'Aku harus mengelabui mereka,' batin Ramandika mulai merancang strategi."Hei, Ki Sanak! Jika kalian ingin mendapatkan pedang ini, maka kalian harus bertarung denganku satu lawan satu. Tidak boleh main keroyokan!" tantang Ramandika mulai menemukan gagasan untuk mengelabui dua orang pria tersebut."Baiklah, jika itu yang kau mau. Kau hadapi aku saja!" jawab pria berikat kepala merah.Ramandika menarik napas dalam-dalam, ia mulai tegak dan bersiap, seakan-akan dirinya benar-benar akan menghadapi pria tersebut. Padahal, Ramandika sudah menemukan cara untuk berlari menjauhi dua orang pria itu.Dengan gerakan yang
Mendengar perkataan Ramandika, dua orang pria itu tampak geram sekali, sehingga mereka pun kembali melakukan serangan.Salah seorang dari mereka bergerak cepat hendak menghajar wajah Ramandika dengan pukulan yang sangat keras. Namun, Ramandika berhasil mengelak dari serangan pria tersebut.Kemudian, Ramandika balas melakukan serangan, hingga orang tersebut jatuh tersungkur di hadapannya.Melihat kawannya berhasil dijatuhkan oleh Ramandika, maka pria yang satunya lagi kembali maju hendak melancarkan serangan."Bedebah!" bentak pria itu langsung melancarkan serangan beruntun terhadap Ramandika.'Ternyata orang ini sangat kuat sekali,' kata Ramandika dalam hati.Ramandika pun akhirnya mundur beberapa langkah, karena semakin terdesak oleh serangan orang tersebut."Aku tidak akan membiarkanmu lari, Anak muda!" bentak pria itu terus melancarkan serangannya terhadap Ramandika.Pukulan bertubi-tubi hinggap di kepala Ramandika, hingga dirinya jatuh lagi, kepalanya membentur batu padas hingga m
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu