Ke dua manusia berbeda jenis kelamin itu sama-sama membisu. Bahkan jarak pun mereka renggangkan.
Masih dengan kerterdiaman, Arbia berdiri menjauh dari tempat duduknya Axelle. Laki-laki itu tampak canggung. Seakan-akan nggak pernah saling mengenal.
Sudah hampir 15 menit mereka lewatkan hanya dengan membuang muka satu sama lain. Entah, apa yang sebenarnya berkecamuk dalam dada mereka.
Tanpa kata Arbia, mendekati orang yang sudah menggoreskan luka di hatinya itu.
"Kapten Axelle," panggilan itu sangat lunak. Dan terlihat Arbia lebih kuat dan mandiri.
"Aku mengajakmu ketemu di sini bukan untuk membicarakan masalah pribadi. Tapi ini masalah Celine."
Kapten Axelle tertegun sesaat. Diamatinya wajah yang akhir-akhir ini terlihat sendu itu. Wajah yang sudah memperlihatkan luka yang maha hebat, yang ia ciptakan secara nggak sengaja.
"Apa, Kamu paham, bagaimana akhir-akhir ini kehidupan finansial Celine?"
Axelle m
Mari baca lagi
"Dor-- dor--" "Akh! Sial! Rutuknya sambil memegangi pinggangnya yang sudah merembes darah. "Kapten!" Lindungi Aku, Kai!" Setengah tersengal Axelle mencoba bangkit dari persembunyiannya. "Tidak! Kapten tidak boleh menyerang! Biar Saya saja!" Sergah Kai, tangan kanan kapten Axelle, langsung mengambil alih kendali. "Monitor, satu, dua! Butuh pertolongan pertama, Kapten Axelle tertembak!" Kai mendekatkan ht-nya ke mulutnya untuk mengisyaratkan butuh pertolongan. Sedang kapten Axelle, masih meringis menahan sakit, darah masih saja keluar tepat di pinggang kirinya. Satu peluru berhasil menembus kulit pinggangnya yang six-pack. Sementara beberapa orang berteriak sebelum diamankan oleh anggota polisi karena ada kerusuhan sekelompok debtcolector dengan seorang laki-laki yang banyak hutangnya. Laki-laki yang berumur sekitar 50 tahun itu, berlari menuju ke salah satu supermarket di pinggir jalan. Dan masuk dengan gaya khas seperti
Sudah hampir 24 jam pasca operasi besar itu. Namun tidak ada tanda-tanda Arbia akan terbangun dari tidur. Semua orang panik dan ketakutan. Terutama Arka, Axelle dan sang ayah, Zakaria Lawalata. Berita Arbia menjadi korban para debt collector demi menyelamatkan Lukman ayah dari sahabat karibnya yang tega mengambil kekasihnya, kapten Axelle menjadi trending topik hari ini. Di segala media menerbitkan berita besar itu. Banyak nyinyiran netizen yang mengecam tindakan Celine. "Kok, tega, ya. Mereka, kan bersahabat?" "Apa doktet Celine nggak bisa tidak egois seperti itu?" "Padahal ayahnya sudah diselamatkan sama Arbia lho, yang reporter itu." "Kalau Aku, jadi kapten Axelle, memang sudah seharusnya ninggalin cewek egois seperti itu." "Nggak nyangka, ya, kapten Axelle nyakiti mbak Arbi!" Mulut netizen berkicau bak burung beo. Banyak yang memojokkan Celine. Mereka menyalahkan sifat egois Celine yang tidak bisa melihat keba
Axelle kaget setengah mati, melihat kondisi Arbia yang tiba-tiba menakutkan. Matanya terbelalak lebar tanpa menutup lagi, bahkan badannya bergetar hebat seperti kejang-kejang. Kepanikan itu membuat Axelle sesaat bingung harus melakukan apa. Dan ketika diingetnya alarm pengingat gawat darurat, langsung di pencetnya berulang-ulang supaya dokter dan perawat segera datang. Sekitar 5 menit dokter datang bersama rombongannya. Axelle yang masih dilanda kepanikan mengalami thremor di bagian tangannya. Sedang Arka dan ayahnya memperlihatkan kecemasan yang luar biasa. "Dokter, tolong selamatkan anak, Saya," ucap Zakaria memohon pada dokter itu. "Kami akan berusaha, semaksimal mungkin, ya, Pak. Tolong bantu dengan doa. Dan sekarang diharapkan seluruh anggota keluarga ke luar dulu dari ruangan pasien, supaya kami bisa bekerja secara efisien." Setelah itu dokter menutup ruang VIP itu. Di luar ruangan Axelle sudah bisa mengatasi kegugupan dan kepanikannya.
"Kita kecolongan Axelle!" Arka mengepalkan tangannya dengan kesal setelah mengucapkan kata-kata itu. Sedang Axelle tampak membusungkan dadanya menahan sesuatu. Rasa marah yang memuncak. Sebenarnya sudah dari Arbia kritis tadi siang, dia merasa instingnya sudah nggak enak. Dan ternyata ini yang terjadi. "Keluarga pasien Arbia Siquilla!" Tiba-tiba dari arah pintu ruangan Arbia, dokter ahli bedah saraf sudah berdiri dengan pandangan yang angkuh dan dingin. "Saya, Dok!" Berbarengan mereka menyahut dan mendatangi dokter tersebut. "Saya butuh tanda tangan dari keluarga pasien untuk melakukan operasi secepatnya." "Apa yang terjadi dengan adik Saya, Dokter? Kenapa harus di operasi?" suara Arka terdengar panik. "Ada penyumbatan darah di rongga kepalanya akibat terputusnya infus yang Saya rasa ada seseorang dengan sengaja ingin melenyapkan nyawa adik, Anda, Pak Arka. Tolong ini digaris bawahi! Nanti pihak rumah sakit akan Saya peri
Axelle dan Lukman bergegas mengejar dokter dan suster yang membawa jenazah itu namun sudah terlambat. Mereka sudah masuk ke ruang lift. Axelle bergegas ke ruang operasi, barang kali masih ada yang tinggal di sana. Dia menyapukan matanya ke seluruh koridor rumah sakit, namun tetap tidak ada orang. Arka dan ayahnya sudah pergi. Sesaat Axelle panik, bingung harus berbuat apa. Ada air yang mengembun di kelopak matanya. Tak bisa dipungkiri, kalau Arbia benar-benar tidak bisa diselamatkan tidak tidak akan tinggal diam. Dia akan mencari Celine yang sudah hampir seharian ini menghilang. Setelah sedikit tenang, dia teringat ponselnya. Ya! Poselnya. Kenapa nggak kepikiran dari tadi untuk menelpon Arka. Dicobanya untuk menyambungkan line telponnya dengan kontak Arka. Namun line telpon itu tidak aktif. Hah! Hentakan di kaki Axelle adalah expresi dari kegundahan perasaannya saat ini. Dengan tiba-tiba dia menuju lift. Ternyata Lukman pun sudah meninggal
Lagi-lagi, Arbia harus merelakan dirinya berinteraksi terus dengan rumah sakit. Dari umur 8 tahun, dia sudah tinggal di sebuah rumah sakit yang mengharuskan dia disana, karena amanat dari neneknya. Dan bukan itu saja, Arbia tidak punya siapa-siapa waktu itu. Sekarang kehidupannya berbanding terbalik. Dengan segala kemewahan yang ada sekarang. Siapa yang sangka kalau ayah kandungnya bukan orang yang merawatnya dari kecil. Dan tidak diduga juga orang yang selama ini dia tuduh sebagai pembunuh ayahnya adalah ayah kandungnya. Semua sudah terungkap. Pantaslah hidup Arbia sekarang lebih bahagia. Ada seorang kandung dan ibu sambung serta kakak angkat yang begitu sangat menyayanginya. Tidak ketinggalan sang pujaan hati, sang kapten. Bukan hanya kapten buat kehidupannya tapi juga buat kehidupan masyarakat luas. Hanya saja ada yang mengganjal di hati Arbia. Sahabat terkasihnya, Celine Fazah Arufiah. Di mana keberadaannya sekarang. Dia menghilang t
Arbia melengkungkan tubuhnya berkali-kali ketika lidah sang kapten menari-nari di daerah terlarangnya. Desahannya meresahkan siapapun yang mendengar. Puncak klimaksnya sebentar lagi sampai. Namun sang kapten tak ingin menyudahinya begitu saja. Tubuh jantannya menindih badan kecil Arbia dan mulai membenamkan juniornya dengan tajam. "Akh--!" suara parau Axelle semakin membuatnya menari dengan exotisnya dibawah tubuh sang kekasih. Rasa rindu yang mendalam itu menyatu begitu saja. Axelle begitu menikmati rasa yang ia berikan untuk kekasihnya. Rasa sayang yang berlebihan itu membuatnya semakin bergemuruh, menekan tubuh Arbia. Terdengar napas yang tersengal diiringi lenguhan dan desahan mereka berdua. Puncak dada Arbia tak luput dari lidah Axelle. Di lahapnya gunung kembar itu dengan gairah membara. "Sayang ... oh ... Aku mau ...akh --" Tak lagi bisa melanjutkan ucapannya, Axelle menjerit sekuatnya di iringi teriakan Arbia yang erotis. Bibirny
Tidak membutuhkan waktu lama, Axelle dan Arbia sudah sampai di TKP. Satuan tugas yang dipimpin oleh kapten Axelle masih kejar-kejaran dengan sekelompok begal yang ternyata membawa seorang sandera, kabur dari tempat kejadian. Axelle segera turun ke lapangan setelah berpamitan pada kekasihnya. Arbia sendiri lsngsung bergabung dengan komunitas reporter yang lain setelah sebelumnya menghubungi sang kakak, Arka Abianta untuk segera datang ke tempat kejadian. Sementara di tempat yang sudah lumayan jauh, terjadi kejar-kejaran antara tim anggota satuan polisi yang dipimpin Axelle dengan sekelompok begal yang berhasil membawa seorang sandera yang belum jelas jenis kelaminnya. Bahkan sekarang pengejaran sekelompok begal itu harus melibatkan senjata tajam. "Tes-tes-tes, monitor, satu-dua! Ada yang bawa motor, nggak? Cepat menepi di garis depan, tukar tempat." Suara Axelle memperbarui informasi di ht-nya. Beberapa anak buahnya segera menepi dan melaksanak
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin