Semenjak terbongkarnya rahasia besar itu, Arka Abianta menghilang seperti ditelan bumi. Mungkin bagi Zakaria Lawalata itu sudah biasa. Tapi ini kondisinya sudah lain.
Bagi Arbi kehilangan Arka untuk yang ke dua kalinya sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi bagi Arka. Ternyata wanita yang sangat dicintainya itu adalah adik angkatnya.
Karena tidak bisa menerima kenyataan itu dia pergi menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
Berkali-kali Arbia menghubungi ponsel genggam Arka tapi ponsel tidak aktif. Ada rasa yang sangat tidak nyaman di hatinya. Mengingat Arka pergi dengan membawa sakit hati dan luka yang hebat. Sampai sekarang pun, Arbia menolak untuk hidup satu rumah dengan Zakaria yang tak lain ayah kandungnya itu. Selain tidak nyaman, dia juga menghargai Arka sebagai teman semasa kecilnya. Tidak mungkin dia mengambil apa yang menjadi hak Arka selama puluhan tahun.
Arbia lebih nyaman tinggal di rumah peninggalan neneknya. Setelah dia
Sejatinya, mari kita cinta membaca
"Arbia masih seperti mimpi mendengar kabar dari ayah kandungnya itu. Tubuhnya di topang oleh kekasihnya. Dibimbingnya tubuh yang tiba-tiba lunglai itu menuju sofa. Zakaria Lawalata mendekati putri kandungnya dan mengelus lembut pundaknya. Memberi kekuatan penuh agar bisa menerima kenyataan ini. Kapten Axelle datang dengan membawa teh hangat yang ia bikin beberapa menit yang lalu. Meyodorkannya pada kekasih untuk diminum. "Aku mau ke TKP." ucap Arbia gemetar. Ada sendat tangis di sana. "Tapi- Belum sempat Zakaria melanjutkan ucapannya, terdengar dering ponsel genggam kapten Axelle. Pria tampan itu mengangguk hormat pada laki-laki tua itu, meminta izin mengangkat telpon. Setelah, mendapatkan balasan anggukan dari Zakaria, Axelle meninggalkan ruang tamu itu untuk menerima telpon. Tak selang beberapa lama, dia sudah kembali lagi. "Arbi, kalau mau ikut ke TKP, kita bersama saja. Kebetulan Aku dan timku ditugaskan
Masih dengan tatapan menyelidik dan pandangan curiga, dokter Celine menatap Arbia, bergantian denga Zakaria Lawalata yang tepat berada di samping gadis muda itu. Sungguh, Celine, sahabat kental sewaktu SMP dulu, tidak memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi. Puluhan tahun mereka tidak bertemu sama sekali, bahkan hilang kontak hingga tidak tahu bagaimana kabar dan kondisi masing-masing. Yang Celine ketahui, bahwa Arbia selama ini adalahj anak yatim piatu. Dari semenjak umur 8 tahun dia sudah mengalami tragedi maut yang menghilangkan nyawa ayah dan ibunya. Kenapa sekarang tiba-tiba, Arbia menyebut bahwa laki-laki yang ada di sampingnya ini adalah ayah kandungnya? Akh-! Perasaan hati dokter muda itu bingung. Mungkin akan lebih baik kalau nanti dia minta penjelasan sama gadis malang itu. "Nanti, kita bertemu empat mata, ok!" ucap Arbia sambil mengedipkan mata. Namun itu tak mengurangi mata sedihnya yang selalu keliatan berka
Mereka sama-sama menoleh, ke arah asal suara. Keterkejutan mutlak itu terlihat jelas dari raut muka dokter muda yang cantik itu ketika berbalik arah dan menemukan sosok yang sudah tak asing lagi baginya. Terlebih lagi kapten Axelle, dia hanya termangu, melihat tamu yang ada di rumah kekasihnya. Kakinya terasa seperti ditindihi batu bertonton-ton. Dia hanya diam terpaku di tempatnya. Sedangkan Arbia sudah menghambur, menubruk ke dalam pelukan sang kekasih. Tidak ada pergerakan sama sekali dari kapten Axelle, bahkan tubuh mungil Arbia pun urung di dekapnya. Arbia sedikit heran melihat sikap kekasihnya yang tak acuh. Dia merenggangkan pelukannya dan mengurai senyum termanis untuk Axelle. "Oh, ya! Sayang, perkenalkan ini, dokter Celine. Celine Fazah Arufiah, teman SMP-Ku dulu." ucapnya membuat Axelle terkejut dan sedikit thremor di seluruh tubuhnya. Sedang Celine, dokter muda cantik itu mendekati mereka dengan tatapan yang begitu tajam. Soro
"Celine ...!" Teriakan itu seketika membuat langkah dokter muda itu berhenti. Di depan pagar ke luar rumah Arbia, Axelle mengejar langkah Celine yang masih resmi tunangannya. Sedang Arbia yang masih mendengar teriakan itu hanya memandang mereka lewat pintu kaca jendela. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membiarkan mereka tetap berjalan bersama meneruskan hubungan yang semula terputus atau lebih tepatnya tertunda. Hal yang tidak mungkin baginya menjadi duri dalam hubungan orang lain, apa lagi itu hubungan sahabatnya sendiri. Tapi, ini salah siapa? Bukan salah dia, kan bilamana dia jatuh cinta pada kapten muda itu. Secara, dari awal tidak ada ultimatum kalau kapten itu mempunyai hubungan khusus dengan seseorang. Yang pasti ini salah kapten sendiri. Kenapa dari awal dia nggak ngomong kalau sudah punya tunangan. Nggak mungkin, secara, kalau dia sudah punya tunangan, seorang Arbia membiarkan dirinya jatuh terperosok ke dalam pesona Axelle Narendra. Da
Arbia mengucek-ngucek matanya, seolah tak petcaya dengan penglihatanya. Seolah-olah dia sedang bermimpi di siang bolong. Malah beberapa kalj dia sengaja mencubit pipinya. Memang nggak bermimpi. Ini nyata. Sangat nyata. Sebelum panggilan terdengar panggilan 2x, dia sudah menghambur ke dalam pelukan, sosok yang tadi memanggilnya. Dihantamkannya tubuh kecilnga ke dalam pelukan tubuh laki-laki kekar yang sudah mendekapnya penuh dengan kerinduan. Ada isak tangis yang tiba-tiba pecah dan menghambur keluar air mata itu. Diguncang-guncangkannya dada laki-laki itu dengan tangan kecilnya. Namun laki-laki tampan itu hanya merangkum segala tangis dan air mata orang yang teramat disayanginya itu hanya dengan satu pelukan hangat. Arbia lunglai di dalam dekapan pria muda itu. Dia menangis sejadi-jadinya hingga punggung rapuhnya terguncang hebat. Di seberang jalan, ada sorot mata tajam yang melihat adegan pelukan mesra itu hanya mengetatkan giginya, hingga te
"Arbi! Keruanganku!" Tut ... Mata lelah Arbi mengerjap perih. Di belalakannya mata yang sudah tak kuat menahan rasa kantuk itu. Dilihatnya jam beker yang berada di atas nakas sudah pukul 02:00 dini hari. Mulutnya juga berhenti menguap. Drttt ... drttt Gadis itu hanya melirik sebentar ponselnya yang bergetar sedari tadi. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya ke ruang sebelah. Dan tanpa mengetuk pintu dia langsung ngeloyor aja ke sofa yang ada di ruang tersebut. Di bantingnya tubuh ringkih itu ke sofa empuk itu. "Laporannya, mana?" Kembali Arbi mengerjapkan matanya tanda kaget. "Laporan apa?" tanyanya seperti orang bodoh. Akh- Arka berdiri dari tempat duduknya lantas berjalan ke ruang sebelah, mengambil berkas yang diminta tadi. Dikerjainnya sebentar, lalu pemuda tampan itu menghampiri gadis yang sedang tertidur dengan pulasnya. Ada senyum simpul di sudut bibir simetrisnya. Entah sampai sekarang, Ar
"Katakan padaku, kalau ini nggak benar, kalau Kamu nggak benar-benar melakukan ini, kan?" Arbia seperti bermimpi dengan apa yang dilihatnya. Sama sekali, dirinya nggak menyangka akan melihat kenyataan yang menyakitkan ini. Sebuah fakta yang membuat dirinya lemas seketika. Arbia hanya terpana ditempat dengan kondisi bergeming menyaksikan sesuatu yang tak sepantasnya dia lihat. Ada detak jantung yang begitu kuat merejam dadanya. Ingin sekali dia menolak kenyataan, tapi ini dia sedang tidak bermimpi, dan ini adalah fakta. Sedang seseorang itu hanya menatap Arbia dengan sorot tajam penuh kebencian. Seolah-olah apa yang dilakukannya ini adalah vonis dari kesalahan Arbia yang menyakitinya. Wajah yang biasanya lembut dan kalem penuh dengan kata anggun itu, sekarang seperti wajah sinis, bengis dan kejam bak penjahat yang baru saja membunuh korbannya. Seolah-olah Arbia nggak pernah mengenal sosok ini. Sosok yang teramat disayanginya dan sel
Ke dua manusia berbeda jenis kelamin itu sama-sama membisu. Bahkan jarak pun mereka renggangkan. Masih dengan kerterdiaman, Arbia berdiri menjauh dari tempat duduknya Axelle. Laki-laki itu tampak canggung. Seakan-akan nggak pernah saling mengenal. Sudah hampir 15 menit mereka lewatkan hanya dengan membuang muka satu sama lain. Entah, apa yang sebenarnya berkecamuk dalam dada mereka. Tanpa kata Arbia, mendekati orang yang sudah menggoreskan luka di hatinya itu. "Kapten Axelle," panggilan itu sangat lunak. Dan terlihat Arbia lebih kuat dan mandiri. "Aku mengajakmu ketemu di sini bukan untuk membicarakan masalah pribadi. Tapi ini masalah Celine." Kapten Axelle tertegun sesaat. Diamatinya wajah yang akhir-akhir ini terlihat sendu itu. Wajah yang sudah memperlihatkan luka yang maha hebat, yang ia ciptakan secara nggak sengaja. "Apa, Kamu paham, bagaimana akhir-akhir ini kehidupan finansial Celine?" Axelle m
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin