Di luar ruang unit gawat darurat, baik dari komandan Li dan anak buah kapten Axelle, juga ada keluarga besar dari keluarga kapten Axelle. Mereka menunggu operasi ke dua korban.
Mirisnya, tak ada satupun keluarga dari Arbia Siquilla hadir. Entah, gadis muda itu punya keluarga atau tidak.
Di dalam ruang operasi itu sudah hampir 2 jam dokter beserta timnya bekerja. Tapi belum ada tanda-tanda kalau pintu ruang operasi akan segera di buka.
Sesaat terdengar suara sepatu mendekati ruangan itu. Beberapa anak buah kapten Axelle bergerak cepat di pintu depan.
Komanda Li, selaku pimpinan memerintahkan kepada anak buahnya, untuk memperketat penjagaan untuk ke dua korban. Siapapun yang datang menjenguk kapten Axelle dan Arbia harus diperiksa terlebih dahulu.
Suara sepatu itu berhenti tepat di depan penjaga. Di periksa sebentar lalu di perbolehkan masuk.
Dua orang yang masuk itu adalah Arka dan Praditia. Dia berbicara sebentar dengan Kom
Pembaca yang budiman, harap klik bintang, vite, like, dan koment nya, ya Terima kasih š
Mata Arbia semakin tajam menatap sosok yang sudah ada di depannya, setelah beberapa saat yang lalu mengerjap-ngerjap terkejut, melihat siapa yang menunggunya membuka mata. Hatinya terguncang, jantungnya berdegub kencang. Tidak menyangka secepat itu akan bertemu dengan orang yang selama ini di carinya. Namun mulut Arbia terkatup rapat, lidahnya seakan kelu. Bahkan matanya pun hanya bisa menatap tajam tanpa berkedip. Soepomo Hadiningrat, Tersenyum dengan wibawa yang maksimal. Memandang wajah Arbia yang pucat dengan senyum ramah. "Hallo, Arbia. Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara khasnya yang begitu tenang, penuh dengan kasih sayang. Sesaat Arbia terhipnotis dengan suara dan penampilan orang tua itu. Bahkan untuk menyahut pun Arbia belum mampu membuka mulutnya. Lidahnya masih terkunci. Soepomo Hadiningrat yang lebih akrab disapa dengan pak Hadi, menarik kursinya untuk lebih dekat dengan gadis itu. Sekilas Hadi menatap Arbia
Arbia Siquilla dengan tangan thremornya memegang tepi kursi rodanya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan cemas yang begitu kuat. Ada rasa takut menyeruak di hatinya. Berkali-kali di lihatnya ruang operasi itu. Lampunya masih menyala. Arka menggenggam tangan thremornya yang mulai berkeringat. Pria tampan itu memberi keyakinan pada gadis kecilnya, kalau di dalam sana sang kapten mampu melewati masa kritisnya. Axelle Narendra, mengalami pendarahan di otak dan harus kembali di operasi. Seluruh kelarga besarnya dan pasukan intinya sudah menunggu di ruang operasi. Mereka memanjatkan doa untuk kesembuhan sang kapten. Berharap ada mukzizat dari Tuhan. Tragedi yang terjadi kemarin malam adalah peristiwa maut paling menyeramkan. Mobil kapten Axelle dan kekasihnya terperosok ke dalam jurang, setelah terjadi kejar-kejaran dengan geng mafia yang menculik Arbia. 45 menit sudah berlalu, lampu ruang operasi tiba-tiba padam. Semua orang yang ada di
"Jangan sembarangan bicara kau Hadi! Dari dulu kau selalu mengadu domba kami sampai kami terpecah belah!" Hadi terkekeh mendengar ucapan laki-laki yang berstatus narapidana itu. "Kenyataannya memang begitukan, Zakaria. Kamu dari kuliah memang sudah suka sama ibunya, sampai kamu bela-belain berkorban apa saja. Tapi dia lebih memilih sahabat kamu sendiri." "Cukup Hadi!" Zakaria Lawalata berdiri dan menghentakkan tangannya ke meja. Petugas yang ada di balik pintu masuk dan mencoba menenangkannya. "Semoga bukan karena itu kamu menghabisi mereka Zakaria, walau bagaimanapun kalau itu benar-benar anak kamu, kamu sudah sangat menyakitinya dan menyiksanya." Sekali lagi ucapan Soepomo Hadiningrat mampu membuat laki-laki yang berstatus narapidana itu berapi-api matanya, pertanda ada amarah yang luar biasa. "Aku memaafkan perbuatanmu untuk anakku, Zakaria. Tapi aku nggak tahu apakan gadis itu memaafkanmu. Karena kamu sudah menyiksanya." Hadi
Entah bagaimana caranya dan pakai pengacara model seperti apa, Zakaria Lawalata sudah keluar dari hotel prodeo. Pagi itu, Dengan gayanya yang sebenarnya tidak sombong. Di sombong-sombongkannya mukanya, berjalan menuju rumah sakit di mana Arbia dan Axelle dirawat. Setelah memasuki lift yang menuju lantai 3 ruang VIP, Zakaria Lawalata keluar dan berbicara dengan seseorang. Tampak di ke dua ruang VIP terlihat penjagaan ketat oleh anggota tim khusus pasukan polisi di bawah perintah komandan Li. Ketika Zakaria dan anak buahnya menuju ruang VIP tersebut beberapa anggota polisi itu sudah menghadang. Hadi, selaku orang yang paling di tuakan di situ dan paling di hormati juga paling di segani, melambaikan tangan sebagai gesture tubuhnya mengizinkan Zakaria Lawalata untuk masuk. Sedang anak buahnya hanya di izinkan menunggu di luar penjagaan. Dengan tenang, Zakaria memasuki ruangan itu. Tanpa di suruh duduk pun dia sudah menghenyakkan tubuhnya di
Semenjak terbongkarnya rahasia besar itu, Arka Abianta menghilang seperti ditelan bumi. Mungkin bagi Zakaria Lawalata itu sudah biasa. Tapi ini kondisinya sudah lain. Bagi Arbi kehilangan Arka untuk yang ke dua kalinya sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi bagi Arka. Ternyata wanita yang sangat dicintainya itu adalah adik angkatnya. Karena tidak bisa menerima kenyataan itu dia pergi menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Berkali-kali Arbia menghubungi ponsel genggam Arka tapi ponsel tidak aktif. Ada rasa yang sangat tidak nyaman di hatinya. Mengingat Arka pergi dengan membawa sakit hati dan luka yang hebat. Sampai sekarang pun, Arbia menolak untuk hidup satu rumah dengan Zakaria yang tak lain ayah kandungnya itu. Selain tidak nyaman, dia juga menghargai Arka sebagai teman semasa kecilnya. Tidak mungkin dia mengambil apa yang menjadi hak Arka selama puluhan tahun. Arbia lebih nyaman tinggal di rumah peninggalan neneknya. Setelah dia
"Arbia masih seperti mimpi mendengar kabar dari ayah kandungnya itu. Tubuhnya di topang oleh kekasihnya. Dibimbingnya tubuh yang tiba-tiba lunglai itu menuju sofa. Zakaria Lawalata mendekati putri kandungnya dan mengelus lembut pundaknya. Memberi kekuatan penuh agar bisa menerima kenyataan ini. Kapten Axelle datang dengan membawa teh hangat yang ia bikin beberapa menit yang lalu. Meyodorkannya pada kekasih untuk diminum. "Aku mau ke TKP." ucap Arbia gemetar. Ada sendat tangis di sana. "Tapi- Belum sempat Zakaria melanjutkan ucapannya, terdengar dering ponsel genggam kapten Axelle. Pria tampan itu mengangguk hormat pada laki-laki tua itu, meminta izin mengangkat telpon. Setelah, mendapatkan balasan anggukan dari Zakaria, Axelle meninggalkan ruang tamu itu untuk menerima telpon. Tak selang beberapa lama, dia sudah kembali lagi. "Arbi, kalau mau ikut ke TKP, kita bersama saja. Kebetulan Aku dan timku ditugaskan
Masih dengan tatapan menyelidik dan pandangan curiga, dokter Celine menatap Arbia, bergantian denga Zakaria Lawalata yang tepat berada di samping gadis muda itu. Sungguh, Celine, sahabat kental sewaktu SMP dulu, tidak memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi. Puluhan tahun mereka tidak bertemu sama sekali, bahkan hilang kontak hingga tidak tahu bagaimana kabar dan kondisi masing-masing. Yang Celine ketahui, bahwa Arbia selama ini adalahj anak yatim piatu. Dari semenjak umur 8 tahun dia sudah mengalami tragedi maut yang menghilangkan nyawa ayah dan ibunya. Kenapa sekarang tiba-tiba, Arbia menyebut bahwa laki-laki yang ada di sampingnya ini adalah ayah kandungnya? Akh-! Perasaan hati dokter muda itu bingung. Mungkin akan lebih baik kalau nanti dia minta penjelasan sama gadis malang itu. "Nanti, kita bertemu empat mata, ok!" ucap Arbia sambil mengedipkan mata. Namun itu tak mengurangi mata sedihnya yang selalu keliatan berka
Mereka sama-sama menoleh, ke arah asal suara. Keterkejutan mutlak itu terlihat jelas dari raut muka dokter muda yang cantik itu ketika berbalik arah dan menemukan sosok yang sudah tak asing lagi baginya. Terlebih lagi kapten Axelle, dia hanya termangu, melihat tamu yang ada di rumah kekasihnya. Kakinya terasa seperti ditindihi batu bertonton-ton. Dia hanya diam terpaku di tempatnya. Sedangkan Arbia sudah menghambur, menubruk ke dalam pelukan sang kekasih. Tidak ada pergerakan sama sekali dari kapten Axelle, bahkan tubuh mungil Arbia pun urung di dekapnya. Arbia sedikit heran melihat sikap kekasihnya yang tak acuh. Dia merenggangkan pelukannya dan mengurai senyum termanis untuk Axelle. "Oh, ya! Sayang, perkenalkan ini, dokter Celine. Celine Fazah Arufiah, teman SMP-Ku dulu." ucapnya membuat Axelle terkejut dan sedikit thremor di seluruh tubuhnya. Sedang Celine, dokter muda cantik itu mendekati mereka dengan tatapan yang begitu tajam. Soro
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin