Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu.
Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya.
Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin.
Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia.
Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b
Pembaca yang baik hati mari mrmbaca novek saya, Di tunggu vote dan like koment nya ya,
"Arbi! Tolong, Headline nya, Please ...! Suara itu terdengar dijaringan line telpon yang tersambung di meja kerja Arbia Siquilla. Suara yang terdengar menyentak dengan nada marah mutlak. Arbia hanya menarik nafas kesal. Bukannya dia nggak mau mengerjakan Headline itu dengan cepat, tapi dia sengaja mengulur waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akurat, setelahnya baru dia akan meluncurkan Headline itu ke seluruh media surat kabar lengkap dengan bukti beserta orang-orang yang tersandung di dalamnya. "Dikejar deadline ya,Kak?" sapa OB yang sudah berada di sampingnya, menaruh segelas minuman dingin dan sekotak kecil dissert pesanannya. "Eh, Virza, makasih ya," sambil tangannya merogoh kantung sakunya dan menyelipkan selembar uang kertas berwarna merah ke tangan anak muda itu. Pemuda itu terkesiap dengan muka terkejut, tapi akhirnya tersenyum kalem. "Makasih ya, Kak." balasnya. Arbia hanya tersenyum tanpa menoleh, matanya fokus ke layar laptop yang ada
Hai ini jadwal Headline yang Arbia kerjakan akan diluncurkan. Gadis itu sudah bersiap dari pagi untuk menerbitkan Headlinenya. 5 menit yang lalu, dia mendapat telpon langsung dari sang kekasih, tidak bisa mengantar karena ada tugas mendadak di luar kota. Agak nyesek juga mendengar sang kapten meninggalkannya ke luar kota, meski nanti malam pun kalau tugasnya selesai juga bisa pulang ke rumah. Kapten Axelle, hari ini bertugas menangkap peneror disalah satu rumah petinggi negara yang masih berkaitan dengan kepemilikan senjata tajam dan kasus uang negara. Peneror itu anak dari pejabat itu adalah anak dibawah umur yang masih berusia 8 tahun, dan peristiwa ini sama persis yang dialami Arbia tatkala dia berumur segitu. "Drtttt ..." "Arbi! Apa kamu siap menerbitkan Headline kita hari ini?" "Siap, Pak! Tapi mungkin, Saya sedikit terlambat berhubung kendaraan Saya ada masalah!" seru Arbi menjawab telpon dari bosnya. Dia meliha
"Mama!" Teriak Arka sambil berlari menubruk wanita yang dia panggil mama itu. Pria muda itu mengguncang badan wanita separuh baya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ada dokter dan perawat di sekelilingnya. Ada juga asisten rumah tangga yang sudah mengabdi lama di rumahnya. "Bi ...! Mama, kenapa? Kenapa Mama ada di tempat ini?" tanyanya pada asisten rumah tangga mamanya dengan panik. "Iya Den, nyonya sakit. Biar pak dokter saja yang menjelaskannya." jawab wanita yang sudah berumur sekita 50 tahunan itu. "Dok, ada apa dengan Mama, Saya?" Masih dengan kepanikan maksimal, Arka bertanya sama dokter yang entah kapan datangnya di situ, di rumah lamanya. "Nyonya Syailla, mengalami syok ringan, beliau pingsan. Tapi, jangan khawatir untuk sementara kita tunggu kesadaran." jelas dokter itu. "Syok ringan, Dok? Tapi mama, Saya dalam keadaan tidak sadar diri, bahkan kondisinya begitu lemah. Apa iya, cuma syok ringan?" Arka semakin garang melihat sikap d
Ternyata untuk sampai ke tempat di mana, ditemukan titik GPS ponsel Arbia Siquilla, tidaklah mudah. Kapten Axelle harus menempuh waktu yang panjang untuk mencari alamat tempat terpencil itu. Suasana malam yang sudah hampir larut semakin mempersulit pencarian alamatnya. Beberapa kali dia sempat salah jalan dan memutar arah lagi untuk kembali ke tempat semula. Jalan menuju alamat yang dituju harus melewati jalan yang berkelok-kelok seperti jalan kampung yang di penuhi batu terjal. Alangkah jauhnya penculik itu membawa kekasihnya. Apakah ini bertujuan untuk menghilangkan semua bukti yang sudah dikumpulkan Arbia. Hari inipun Headline yang bertajuk Pembunuhan Berantai 15 Tahun Silam, itu batal diterbitkan. Seolah semua sudah direncanakan. Kasus 15 tahun silam ini, sengaja diulas kembali untuk mencari tahu siapa anak dari korban pembunuhan itu. Apakah ini ada hubungannya dengan pekerjaan Arbia? Tidak ada satupun yang tahu bahwa Arbia adalah anak dari korban p
"Kapten-!! Teriakan itu melengking dari mulu Gerald Kailland, tangan kanan kepercayaan kapten Axelle. Bersamaan dengan menggelincirnya mobil sang kapten bersama kekasihnya. Semua anak buah sang kapten berteriak histerus di iringi dengan anak buah geng mafia yang langsung mencoba kabur dari tempat itu. Namun dengan sigap pasukan polisi itu menangkap sisa anak buah Zakaria Lawalata. Di malam yang hanya di sinari cahaya bulan itu, sang kapten bersama kekasihnya Arbia Siquilla terperosok ke dalam jurang yang dalam sekali. Suasana malam yang begitu pekat, tidak bisa memastukan apakah ke dua orang itu masih hidup. Komandan Li bersama pasukan tim inti segera bergerak meminta bantuan untuk melacak keberadaan mobil kapten Axelle yang terperosok di jurang dengan ke dalaman yang tidak bisa di ukur lagi. Malam semakin larut namun usaha untuk mencari mobil beserta yang jatuh ke jurang belum juga mendapatkan hasil. Komandan Li mengerahkan semua pasuka
Di luar ruang unit gawat darurat, baik dari komandan Li dan anak buah kapten Axelle, juga ada keluarga besar dari keluarga kapten Axelle. Mereka menunggu operasi ke dua korban. Mirisnya, tak ada satupun keluarga dari Arbia Siquilla hadir. Entah, gadis muda itu punya keluarga atau tidak. Di dalam ruang operasi itu sudah hampir 2 jam dokter beserta timnya bekerja. Tapi belum ada tanda-tanda kalau pintu ruang operasi akan segera di buka. Sesaat terdengar suara sepatu mendekati ruangan itu. Beberapa anak buah kapten Axelle bergerak cepat di pintu depan. Komanda Li, selaku pimpinan memerintahkan kepada anak buahnya, untuk memperketat penjagaan untuk ke dua korban. Siapapun yang datang menjenguk kapten Axelle dan Arbia harus diperiksa terlebih dahulu. Suara sepatu itu berhenti tepat di depan penjaga. Di periksa sebentar lalu di perbolehkan masuk. Dua orang yang masuk itu adalah Arka dan Praditia. Dia berbicara sebentar dengan Kom
Mata Arbia semakin tajam menatap sosok yang sudah ada di depannya, setelah beberapa saat yang lalu mengerjap-ngerjap terkejut, melihat siapa yang menunggunya membuka mata. Hatinya terguncang, jantungnya berdegub kencang. Tidak menyangka secepat itu akan bertemu dengan orang yang selama ini di carinya. Namun mulut Arbia terkatup rapat, lidahnya seakan kelu. Bahkan matanya pun hanya bisa menatap tajam tanpa berkedip. Soepomo Hadiningrat, Tersenyum dengan wibawa yang maksimal. Memandang wajah Arbia yang pucat dengan senyum ramah. "Hallo, Arbia. Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara khasnya yang begitu tenang, penuh dengan kasih sayang. Sesaat Arbia terhipnotis dengan suara dan penampilan orang tua itu. Bahkan untuk menyahut pun Arbia belum mampu membuka mulutnya. Lidahnya masih terkunci. Soepomo Hadiningrat yang lebih akrab disapa dengan pak Hadi, menarik kursinya untuk lebih dekat dengan gadis itu. Sekilas Hadi menatap Arbia
Arbia Siquilla dengan tangan thremornya memegang tepi kursi rodanya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan cemas yang begitu kuat. Ada rasa takut menyeruak di hatinya. Berkali-kali di lihatnya ruang operasi itu. Lampunya masih menyala. Arka menggenggam tangan thremornya yang mulai berkeringat. Pria tampan itu memberi keyakinan pada gadis kecilnya, kalau di dalam sana sang kapten mampu melewati masa kritisnya. Axelle Narendra, mengalami pendarahan di otak dan harus kembali di operasi. Seluruh kelarga besarnya dan pasukan intinya sudah menunggu di ruang operasi. Mereka memanjatkan doa untuk kesembuhan sang kapten. Berharap ada mukzizat dari Tuhan. Tragedi yang terjadi kemarin malam adalah peristiwa maut paling menyeramkan. Mobil kapten Axelle dan kekasihnya terperosok ke dalam jurang, setelah terjadi kejar-kejaran dengan geng mafia yang menculik Arbia. 45 menit sudah berlalu, lampu ruang operasi tiba-tiba padam. Semua orang yang ada di
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin