“Ya ampun, suamiku lagi cemburu nih?”Khumaira tentu menanggapinya dengan bercanda. Baginya, sangat tidak masuk akal kalau sampai Riko mempunyai rasa yang mungkin disebut cinta kepedanya seperti yang Akmal tuduhkan.“Ya, lagian, kan sudah ada nomor khusus untuk memesan kue, kenapa dia memilih meneleponmu langsung, Sayang? Menyalahi aturan kan? Apalagi, sering begitu.”“Dek Akra, ayahmu lagi cemburu sama Bunda tuh.”Khumaira malah berbicara kepada anaknya yang tadinya sedang sibuk bermain. Setelah mendengar namanya diucapkan, bayi yang sebentar lagi berusia satu tahun itu menoleh sambil tertawa. Begitu menggemaskan.“Aku ngomong serius loh, Sayang. Bisa saja kan, kalau Riko ternyata suka sama kamu diam-diam. Aku takut, kalau kamu kenapa-kenapa,” ujar Akmal dengan wajah yang serius.“Mas Riko aslinya itu baik. Nggak mungkin kalau dia suka sama aku sampai-sampai mau jahat sama aku, Mas. Kamu jangan suuzan begitu dong, Sayang. Aku kan sudah undang Mas Riko sama Mbak Lidya juga seperti per
“Din, Mama malah jadi kepikiran. Mama takut kamu tertekan dan nggak bahagia setelah melangsungkan pernikahan sama Gifar nanti. Mama nggak mau memaksamu, Din.”Puspa yang awalnya menggebu mengenai perjodohan yang dilakukan antara putrinya dengan Gifar, mulai memahami kekhawatiran yang Dinar rasakan. Sebelumnya, ia hanya bahagia kalau anaknya yang sulit sekali disuruh nikah itu akhirnya mau melangkah ke jenjang pernikahan. Apalagi dengan anak temannya yang sudah punya kehidupan mapan meski memang ada kekurangan. Ya, kekurangan itu yang diungkit oleh Dinar hingga membuat Puspa sekarang ikut memikirkannya.Kendaraan roda empat yang dikemudikan sendiri oleh Dinar, melesat di atas jalan raya yang kanan-kirinya dihiasi oleh lampu jalan. Malam telah menemani kepergian mereka sesuai dengan janji antara kedua belah pihak. Mereka tak menggunakan sopir karena Dinar merasa sanggup membawanya sendiri.“Yang pernah aku katakan hanya sebatas kekhawatiran kecil saja, Ma. Maaf kalau memang perkataanku
Akmal mendengus kesal. Wajah yang tampan itu tergambar kekecewaan. Sorot mata yang melihat istrinya tampak sayu pula.“Mas?” panggil Khumaira lagi seraya mendekati suaminya. Tatapannya menelisik. Ia heran kenapa wajah suaminya tampak kusut begitu.“Riko telepon lagi, katanya kuenya siang harus sudah jadi,” ujar Akmal mengutarakan dengan malas-malasan. Ia mengulurkan ponsel yang digenggamnya kepada istrinya.“Oh, Mas Riko telepon lagi?” tanya Khumaira seraya mengambil ponsel itu. Keningnya tanpa sadar mengernyit.“Iya. Aku yakin, pasti dia ada sesuatu sama kamu, Sayang. Aku sudah ngomong sama Riko biar dia hubungi kontak karyawan saja. Nomor untuk order jualanmu kan sudah tertera di media sosial. Apa susahnya konsultasi di sana? Aku heran sama akal bulusnya.”Guratan-guratan di wajah lelaki yang berusia 36 tahun itu masih jelas kalau menggambarkan sebuah kekesalan. Namun, bukan kesal pada istrinya, tetapi lebih condong ke lelaki yang tak punya malu macam Riko. Harusnya dia tahu kalau m
Senyum hangat menyambut kehadiran dua orang wanita di balik pintu. Gifar tak mungkin menyambut tanpa senyuman.“Silakan masuk,” ujar Gifar.“Mas Gifar, lama nggak ketemu ya?” kata Puspa. Senyumnya terlukis indah di bibir.“Oh, iya, Tante.”Gifar menyalami dengan takzim.Memangnya, aku pernah bertemu sama mereka?Senyum yang tak boleh lepas dari bibir, diikuti dengan bisikan tanda tanya di dalam hati. Gifar merupakan orang yang sibuk. Jadi, memang tak terlalu mengingat wajah orang yang jarang ditemui. Apalagi bukan menjadi seseorang yang serius berusan dengannya. Seperti Sesil waktu itu.“Kenalin, ini Dinar. Anak Tante. Kamu pasti sudah tahu, kenapa kami ke sini kan? Bu Laela pasti sudah menceritakan semuanya. Tapi, sebelum masuk, Tante hanya ingin memperkenalkan kalian terlebih dulu seperti ini.”Tatapan wanita yang mengenakan dress berwarma putih gading dengan tas yang melingkar di lengannya itu bergantian melihat anak gadisnya dengan lelaki tampan yang ada di hadapannya.“Hai,” sapa
Seseorang itu semakin dalam memasuki kamar dengan pencahayaan temaram setelah memastikan pintu tertutup rapat seperti sedia kala.Jantung di dalam dada tak ayal berdebar semakin kuat dari biasanya. Bagaimanapun, tindakan nekadnya akan tetap menimbulkan risiko kalau saja diketahui oleh empunya kamar.Napas yang tampak berat sengaja diatur sedemikian rupa agar tak menimbulkan kecurigaan di malam yang sunyi ini.Iya, aku harus mendekat ke sana.Langkah hati-hati itu ditujukan ke arah meja tak jauh dari tempat tidur. Di sana tampak bingkai foto yang belum terlihat secara jelas siapa sosok di dalam benda persegi itu.Apa dugaanku benar?Makin dekat, di ruangan yang minim pencahayaan itu, matanya disipitkan agar bisa melihat lebih jelas benda yang dimaksud.Ternyata benar, dia masih memajang foto mantan istrinya.Dinar menyimpulkan senyuman tipis seraya mendengus.Karena sudah mendapatkan apa yang dimau, wanita itu bermaksud mengembalikan bingkai foto itu ke tempatnya. Namun, jemarinya tak
“Oh, tentu saya sangat mengizinkannya, Mbak. Mbak Dinar dipersilakan membawa calon suami ke syukurannya Akra. Selamat ya, Mbak. Saya ikut senang dengan kabar bahagia ini.”Lengkungan di bibir terbentuk. Akmal tak menipu tentang ucapan yang terlontar dari mulutnya. Tampak jelas pula kalau lelaki itu menyampaikannya dengan tulus.“Saya yang seharusnya berterima kasih sama Pak Akmal. Untuk ucapan selamatnya mungkin masih terlalu cepat, Pak.”“Semakin cepat, malah semakin baik, Mbak. Saya doakan rencana ke depan kalian bisa tercapai sesuai harapan terbaik yang Mbak Dinar inginkan. Saya duluan, Mbak.”“Iya, Pak. Amin. Terima kasih untuk doanya, Pak.”Senyuman menghiasi bibir wanita berhijab itu mengiringi kepergian Akmal. Namun, lengkungan itu seketika lenyap saat Akmal sudah tak terlihat batang hidungnya lagi.Dinar menghela napas, kemudian berjalan ke tempatnya melakukan pekerjaan sehari-hari. Ya, dia adalah salah satu manager di kantor yang Akmal dirikan.***Setidaknya, rasa bersalahku
Kening mengernyit. Wajah yang tak asing itu memutar lagi kenangan di masa lalu. Akmal seketika mencari istrinya. Namun, Khumaira sudah terlanjur mengetahui sosok lelaki yang berdiri bersebelahan dengan Dinar—salah satu tamu undangannya.Khumaira bergeming. Ia terpaku untuk sesaat karena tak menyangka kalau saat ini orang yang tak pernah lagi terlihat oleh kedua matanya malah begitu dekat dengannya. Desiran di dalam dada memacu gerakan jantung. Masa-masa pahit itu seketika menari-nari di dalam kepala. Namun, ia tak mungkin tiba-tiba pergi tanpa berpamitan mengingat orang-orang yang ada di hadapannya adalah tamu undangan.Begitu pula dengan Gifar. Wajahnya kini pucat pasi. Hari ini begitu tak terduga. Orang-orang dari masa lalu berkumpul di satu tempat. Tempat yang harusnya dipenuhi oleh kebahagiaan acara pesta ulang tahun. Ternyata, semua yang terjadi malah sebaliknya. Rasa bersalah dan penyesalan seketika menenggelamkan lelaki yang datang bersama tunangannya itu.Apa ini? Kenapa aku m
Fokus Akmal tertuju kepada dua orang yang teramat disayangi. Ia belum menyadari kalau di sana ada Riko—seseorang yang sedang menguji kesabarannya karena merasa cemburu dengan sikap lelaki itu kepada istrinya.Benar kan, ada Mas Akmal.Khumaira tersenyum kecut. Ia beranjak dari tempatnya menuju ke suaminya.“Oh, Mas Akmal. Apa kabar, Mas?” sapa Riko. Tentu dengan senyum yang mengembang tanpa beban. Ia mengulurkan tangan.Wajah tak suka awalnya diperlihatkan oleh Akmal ketika tahu siapa orang yang menyapanya. Namun, ia mengubahnya walau dengan senyuman yang terasa kaku. Ia menyambut tangan dari lelaki yang menimbulkan rasa cemburu itu.“Alhamdulillah, baik, Mas Riko. Kamu sendiri tentunya sehat kan?” tanya Akmal hanya untuk berbasa-basi walau enggan.“Iya, Mas. Baik juga, Alhamdulillah. Aku jadi bisa datang ke acara ulang tahunnya Akra begini. Tadinya, aku mau main dulu sama Akra karena acaranya belum dimulai. Tapi, malah Mas Akmal datang.”Lidya menyikut temannya itu karena sungkan men