Dinar menghela napas ketika wanita yang ada di ujung sambungan begitu cerewet melontarkan banyak kalimat yang sering di dengar oleh wanita itu.“Iya, Ma. Ini juga udah mau pulang kok. Telat sebentar aja udah heboh gitu. Aku nggak bakal lupa, Ma. Aku kan udah bilang, kalau aku mau, artinya, aku bakal serius kok,” jawab Dinar seraya melangkahkan kakinya menuju ke arah mobil yang terpakir.Bibir wanita itu juga sesekali nyengir sebab ada bekas rasa sakit yang masih tertinggal di pinggangnya. Ia juga sangat bersyukur karena tak banyak orang yang melihat kejadian memalukan itu.Dinar yang memakai heels lumayan tinggi, tersandung hingga keseimbangannya tak bisa dipertahankan. Pada akhirnya, wanita berhijab itu terhuyung dan salah satu bokongnya mendarat ke lantai lebih dulu dan lumayan keras.“Baguslah kalau memang begitu. Mama nggak mau aja kalau kamu tiba-tiba menghilang begitu saja. Kamu sengaja nggak pulang sampai nanti malam dan akhirnya semua gagal. Mama kan malu, Din.”Wanita di ujun
“Rasa apa, Lid? Jangan ngaco deh,” sanggah Riko seraya menyimpan ponselnya di saku celana. Mereka sedang duduk bersama sambil menunggu antrean untuk menunaikan salat asar.“Jangan pura-pura bodoh begitu. Semenjak kasus kematian Sesil yang tragis, bukankah kamu sering mendatangi toko kuenya Mbak Khumaira? Aku juga sering memergokimu sedang melihat-lihat hasil kreasinya Mbak Khumaira di media sosial loh, Ko.”Lidya tak asal bicara. Memang seperti itu yang dilakukan oleh Riko semenjak pengkhianatan yang Sesil lakukan. Riko mendatangi toko kuenya Khumaira tentu dengan alasan untuk membeli kue yang Khumaira jual. Kadang juga dia pergi bersama Lidya dan suaminya. Namun, tak dimungkiri, ada rasa bahagia kala melihat Khumaira.“Aku ke sana kan memang mau beli kuenya, Lid? Apa salahnya kalau aku melihat dan memilih kue dari media sosialnya. Kamu ini, jangan mengada-ada,” ketus Riko.“Terus, kenapa waktu Mbak Khumaira memutuskan untuk menikah, kamu sakit dan nggak mau makan? Apa semua itu hanya
“Ya ampun, suamiku lagi cemburu nih?”Khumaira tentu menanggapinya dengan bercanda. Baginya, sangat tidak masuk akal kalau sampai Riko mempunyai rasa yang mungkin disebut cinta kepedanya seperti yang Akmal tuduhkan.“Ya, lagian, kan sudah ada nomor khusus untuk memesan kue, kenapa dia memilih meneleponmu langsung, Sayang? Menyalahi aturan kan? Apalagi, sering begitu.”“Dek Akra, ayahmu lagi cemburu sama Bunda tuh.”Khumaira malah berbicara kepada anaknya yang tadinya sedang sibuk bermain. Setelah mendengar namanya diucapkan, bayi yang sebentar lagi berusia satu tahun itu menoleh sambil tertawa. Begitu menggemaskan.“Aku ngomong serius loh, Sayang. Bisa saja kan, kalau Riko ternyata suka sama kamu diam-diam. Aku takut, kalau kamu kenapa-kenapa,” ujar Akmal dengan wajah yang serius.“Mas Riko aslinya itu baik. Nggak mungkin kalau dia suka sama aku sampai-sampai mau jahat sama aku, Mas. Kamu jangan suuzan begitu dong, Sayang. Aku kan sudah undang Mas Riko sama Mbak Lidya juga seperti per
“Din, Mama malah jadi kepikiran. Mama takut kamu tertekan dan nggak bahagia setelah melangsungkan pernikahan sama Gifar nanti. Mama nggak mau memaksamu, Din.”Puspa yang awalnya menggebu mengenai perjodohan yang dilakukan antara putrinya dengan Gifar, mulai memahami kekhawatiran yang Dinar rasakan. Sebelumnya, ia hanya bahagia kalau anaknya yang sulit sekali disuruh nikah itu akhirnya mau melangkah ke jenjang pernikahan. Apalagi dengan anak temannya yang sudah punya kehidupan mapan meski memang ada kekurangan. Ya, kekurangan itu yang diungkit oleh Dinar hingga membuat Puspa sekarang ikut memikirkannya.Kendaraan roda empat yang dikemudikan sendiri oleh Dinar, melesat di atas jalan raya yang kanan-kirinya dihiasi oleh lampu jalan. Malam telah menemani kepergian mereka sesuai dengan janji antara kedua belah pihak. Mereka tak menggunakan sopir karena Dinar merasa sanggup membawanya sendiri.“Yang pernah aku katakan hanya sebatas kekhawatiran kecil saja, Ma. Maaf kalau memang perkataanku
Akmal mendengus kesal. Wajah yang tampan itu tergambar kekecewaan. Sorot mata yang melihat istrinya tampak sayu pula.“Mas?” panggil Khumaira lagi seraya mendekati suaminya. Tatapannya menelisik. Ia heran kenapa wajah suaminya tampak kusut begitu.“Riko telepon lagi, katanya kuenya siang harus sudah jadi,” ujar Akmal mengutarakan dengan malas-malasan. Ia mengulurkan ponsel yang digenggamnya kepada istrinya.“Oh, Mas Riko telepon lagi?” tanya Khumaira seraya mengambil ponsel itu. Keningnya tanpa sadar mengernyit.“Iya. Aku yakin, pasti dia ada sesuatu sama kamu, Sayang. Aku sudah ngomong sama Riko biar dia hubungi kontak karyawan saja. Nomor untuk order jualanmu kan sudah tertera di media sosial. Apa susahnya konsultasi di sana? Aku heran sama akal bulusnya.”Guratan-guratan di wajah lelaki yang berusia 36 tahun itu masih jelas kalau menggambarkan sebuah kekesalan. Namun, bukan kesal pada istrinya, tetapi lebih condong ke lelaki yang tak punya malu macam Riko. Harusnya dia tahu kalau m
Senyum hangat menyambut kehadiran dua orang wanita di balik pintu. Gifar tak mungkin menyambut tanpa senyuman.“Silakan masuk,” ujar Gifar.“Mas Gifar, lama nggak ketemu ya?” kata Puspa. Senyumnya terlukis indah di bibir.“Oh, iya, Tante.”Gifar menyalami dengan takzim.Memangnya, aku pernah bertemu sama mereka?Senyum yang tak boleh lepas dari bibir, diikuti dengan bisikan tanda tanya di dalam hati. Gifar merupakan orang yang sibuk. Jadi, memang tak terlalu mengingat wajah orang yang jarang ditemui. Apalagi bukan menjadi seseorang yang serius berusan dengannya. Seperti Sesil waktu itu.“Kenalin, ini Dinar. Anak Tante. Kamu pasti sudah tahu, kenapa kami ke sini kan? Bu Laela pasti sudah menceritakan semuanya. Tapi, sebelum masuk, Tante hanya ingin memperkenalkan kalian terlebih dulu seperti ini.”Tatapan wanita yang mengenakan dress berwarma putih gading dengan tas yang melingkar di lengannya itu bergantian melihat anak gadisnya dengan lelaki tampan yang ada di hadapannya.“Hai,” sapa
Seseorang itu semakin dalam memasuki kamar dengan pencahayaan temaram setelah memastikan pintu tertutup rapat seperti sedia kala.Jantung di dalam dada tak ayal berdebar semakin kuat dari biasanya. Bagaimanapun, tindakan nekadnya akan tetap menimbulkan risiko kalau saja diketahui oleh empunya kamar.Napas yang tampak berat sengaja diatur sedemikian rupa agar tak menimbulkan kecurigaan di malam yang sunyi ini.Iya, aku harus mendekat ke sana.Langkah hati-hati itu ditujukan ke arah meja tak jauh dari tempat tidur. Di sana tampak bingkai foto yang belum terlihat secara jelas siapa sosok di dalam benda persegi itu.Apa dugaanku benar?Makin dekat, di ruangan yang minim pencahayaan itu, matanya disipitkan agar bisa melihat lebih jelas benda yang dimaksud.Ternyata benar, dia masih memajang foto mantan istrinya.Dinar menyimpulkan senyuman tipis seraya mendengus.Karena sudah mendapatkan apa yang dimau, wanita itu bermaksud mengembalikan bingkai foto itu ke tempatnya. Namun, jemarinya tak
“Oh, tentu saya sangat mengizinkannya, Mbak. Mbak Dinar dipersilakan membawa calon suami ke syukurannya Akra. Selamat ya, Mbak. Saya ikut senang dengan kabar bahagia ini.”Lengkungan di bibir terbentuk. Akmal tak menipu tentang ucapan yang terlontar dari mulutnya. Tampak jelas pula kalau lelaki itu menyampaikannya dengan tulus.“Saya yang seharusnya berterima kasih sama Pak Akmal. Untuk ucapan selamatnya mungkin masih terlalu cepat, Pak.”“Semakin cepat, malah semakin baik, Mbak. Saya doakan rencana ke depan kalian bisa tercapai sesuai harapan terbaik yang Mbak Dinar inginkan. Saya duluan, Mbak.”“Iya, Pak. Amin. Terima kasih untuk doanya, Pak.”Senyuman menghiasi bibir wanita berhijab itu mengiringi kepergian Akmal. Namun, lengkungan itu seketika lenyap saat Akmal sudah tak terlihat batang hidungnya lagi.Dinar menghela napas, kemudian berjalan ke tempatnya melakukan pekerjaan sehari-hari. Ya, dia adalah salah satu manager di kantor yang Akmal dirikan.***Setidaknya, rasa bersalahku
“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.
Mendengar permintaan dari anaknya tentu membuat Puspa merasa senang. Usia wanita itu memang sudah pantas mendapat gelar sebagai seorang istri. “Apa benar, orang yang kamu maksud masih belum punya calon istri, Din?” tanya Puspa, tak mau terlalu berharap lebih jauh sebelum mengetahui semuanya. “Belum, Ma. Dia masih sendiri,” tegas Dinar. Soal permintaannya bukan sebuah isapan jempol belaka. Dinar yang berasal dari keluarga pengusaha, tentu tak merasa sungkan jika harus melamar seorang lelaki dari kalangan pengusaha pula. Wanita itu memang memilih untuk mencari jati dirinya sendiri dengan bekerja di tempat lain. Biar lebih menantang katanya. “Apa dia benar-benar baik?” tanya Puspa lagi. Ia tak ingin anaknya salah pilih. “Baik banget, Ma. Dia tampan, mapan juga rajin ikut pengajian. Mama nggak bakal rugi kalau punya menantu seperti dia.” Dinar menjelaskan segala kelebihan lelaki yang ingin dilamarnya dengan gamblang agar Puspa makin perc
“Bu—bukan! Uang itu untuk membayar WO beneran kok,” sanggah Dinar, tergagap. “Kalau kamu nggak mengaku, aku akan mengusutnya dan hukumanmu nanti akan semakin berat. Jujur saja, Say … nggak, Dinar.” Lelaki itu teramat terluka. Ia sudah mempercayai bahwa wanita yang memfitnahnya ini adalah orang yang baik seperti Khumaira. Namun, beginilah sekarang. “Aku nggak melakukannya! Uang itu untuk biaya pernikahan kita!” “Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan meminta izin untuk menghubungi pihak WO atau malah menghadirkannya ke sini. Biar sekalian terjawab semuanya.” Gifar berbicara penuh kekecewaan. Tatapannya tajam. Luka yang tadinya diharapkan bisa sembuh dengan datangnya Dinar sebagai obat, malah sekarang dibuat semakin menganga dan basah kembali. Semakin perih dan sulit disembuhkan di kemudian hari. Dinar tak menjawab. Raut wajahnya tampak kebingungan. Sikapnya tidak bisa tenang. Gelisah terlihat jelas menemani setiap gerak-geriknya
“Iya, Mbak Khuma. Iya! Aku memahami semua yang kamu sampaikan, tapi ….”Riko kembali menunduk. Udara di sekitar terasa menyesakkan dada. Ia berusaha membuangnya lewat mulut, berharap rasa itu bisa hilang dan menghadirkan rasa nyaman kembali.Banyaknya orang yang berseliweran di tempat makan itu tak mengubah perasaan yang mendadak abu-abu. Awalnya Riko bangga dan merasa puas akan keberhasilan dirinya menemukan Akra karena berharap, Khumaira bakal menyanjungnya tanpa henti. Namun, semua itu hanya khayalan yang tak seutuhnya akan terjadi. Benar, kalau Khumaira merasa berterima kasih, tetapi tak seterusnya akan bersikap manis mengingat ada lelaki lain yang sudah menjadi suami dari wanita itu.Mimpi yang ingin diwujudkan, mungkin akan kandas pada akhirnya. Ya, karena mimpi itu hanya akan merusak kebahagiaan orang lain jika berhasil merangkainya dalam dunia nyata. Pupus. Itu yang terlihat jelas kini.“Tapi apa, Mas Riko? Kamu tahu mencintai pasangan orang lain yang sudah terikat janji suci