Setelah pembicaraan mereka kemarin, sifat Cinta kembali dingin. Sabda sangat menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Dirinya terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan, dan berakibat fatal seperti ini.
Cinta kembali menjaga jarak padanya, walaupun mereka tengah jalan berdua, Cinta selalu diam seribu bahasa. Jujur saja, Sabda tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
Lebih baik mendengar kecerewetan Cinta, daripada mendapatkan tatapan Cinta yang begitu dingin.
"Apa kamu sudah berhasil?" tanya Ricko.
Sabda menggeleng lemah, membuat Ricko menghela napas panjang.
"Selama Cinta tidak lepas dengan laki-laki berandalan itu, sifat Cinta tidak akan berubah," keluh Ricko.
Sabda menatap Ricko cukup lama, pria itu tampak ingin berbicara hal penting, namun diurungkannya.
Entah mengapa hatinya malah senang jika kekasih Cinta dekat dengan Kezia.
"Satu-satunya cara untuk merubah sifat Cinta lebih baik adalah dengan cara memisahkan mereka berdua," imbuh Ricko lagi.
Lagi-lagi Sabda menatap Ricko, dirinya mempunyai firasat yang tidak beres. Sabda yakin jika dia akan terlibat dengan urusan itu.
"Apakah itu harus?" tanya Sabda ragu.
Ricko mengangguk mantap. "Iya, harus!"
"Caranya?"
Ricko terdiam cukup lama, pria paruh baya itu tampak berpikir keras, tak lama kemudian senyum tipis terbit dibibirnya. Senyuman Ricko membuat Sabda semakin cemas.
'Semoga saja tidak mengecewakan,' batin pria itu.
"Buatlah hubungan mereka berakhir, dengan cara kamu berpacaran dengan Cinta. Bilang pada pria berandalan itu kalau kalian telah dijodohkan, dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan," kata Ricko dengan senyum menyeringai.
Mata Sabda membulat, pria itu menggeleng tegas.
"Nggak, Om. Aku nggak bisa ngelakuin hal itu. Sama saja aku mempermainkan perasaan Cinta," tolak Sabda.
Ricko mendengkus, tak terima dengan penolakan Sabda.
"Kenapa? Aku akan membayarmu lebih mahal jika kamu berhasil dengan rencanaku kali ini."
"Tidak bisa, Om! Mau sebesar apapun nominal uang itu, tetap saja aku menolak. Ini masalah hati, Om. Cinta tak bisa dipaksakan, jadi tolong mengertilah. Apakah Om juga tidak berpikir bagaimana dengan perasaan Cinta? Sama saja Om mempermainkan perasaannya. Maaf, Om. Sekali lagi aku tegaskan aku menolak saran dari Om, aku akan berusaha semampuku untuk menjaga Cinta. Hanya saja aku minta waktu lebih lama lagi untuk meluluhkan hatinya," terang Sabda.
Meskipun sejujurnya dia ingin sekali menyetujui permintaan Ricko, tapi lagi-lagi akal sehat menyadarkannya agar tidak bertindak curang. Biarlah Sabda menjalankan misinya dengan caranya sendiri, Sabda yakin perlahan Cinta akan luluh padanya.
"Oke, aku beri kamu waktu satu bulan, jika gagal, maka ikuti saja saran dariku," putus Ricko.
Sabda mengangguk paham, dia akan pergunakan satu bulan itu dengan sungguh-sungguh.
"Dan satu lagi, jika kamu berhasil membuat Cinta ke jalan yang baik, kamu akan aku nikahkan dengan anakku."
***
Cinta termenung di dalam kamarnya. Ingatannya seketika terlempar pada kejadian tadi.
Sabda mengatakan jika dia rindu Cinta yang dulu. Tiba-tiba saja wanita itu tersenyum miris ketika mengingat apa yang Sabda lontarkan.
Cinta juga ingin menjadi pribadi seperti dulu, namun keadaanlah yang menuntunnya seperti ini. Jika saja bundanya masih hidup, dan jika saja ayahnya tak memutuskan untuk menikah lagi, maka sifat Cinta yang dulu akan selalu melekat ditubuhnya.
Kini wanita itu tengah berdiri di depan foto-foto yang terpajang di kamarnya.
Cinta tersenyum tipis ketika melihat dirinya dipeluk oleh bunda dan ayahnya. Matanya kemudian beralih ke samping, lagi-lagi senyum Cinta mengembang ketika melihat ayahnya menggendong Cinta waktu kecil.
Cinta menghela napas panjang, kepala wanita itu menunduk untuk mengingatkan dirinya sendiri, bahwa apa yang saat ini tengah dia harapkan tidak akan bisa terulang lagi. Bundanya telah tenang di alam sana, disusul dengan kebahagiaan ayahnya bersama keluarga barunya.
Hidup Cinta terasa hampa. Cinta kembali menoleh ke foto selanjutnya, foto seorang gadis cantik yang tengah tersenyum manis bersama laki-laki berkacamata dengan senyum tipisnya, membuat Cinta kembali tersenyum lebar.
Cinta meraba foto itu dengan perasaan tenang.
"Hei pria culun! Kenapa kamu datang lagi kehidupanku. Apa saat ini kamu sedang menertawakan diriku yang malang ini? Kamu ingin balas dendam karena dulu aku sering jahil padamu, ya?" tanya Cinta sambil tertawa pelan. "Sabda Pramudya," lanjut wanita itu dengan suara lirih.
***
"Kamu mau kemana?" tanya Sabda.
Ini sudah ke sekian kalinya Sabda bertanya, tapi tak direspon oleh Cinta, membuat Sabda menghela napas berat.
"Balapan," jawab Cinta pada akhirnya.
Cinta melihat Sabda terdiam cukup lama, kesempatan itu tak disia-siakan oleh Cinta, dengan cepat wanita itu merebut kunci motor yang dipegang oleh Sabda. Lalu, menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.
Sabda mengumpat ketika melihat Cinta berhasil mengecohnya. Ini bukan salah Cinta, melainkan dirinya sendiri karena kecerobohannya.
Pria itu bergegas mengambil motornya, menyusul Cinta yang saat ini telah hilang dari pandangan dia.
Cinta ingin balapan? Tidak! Sabda tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sabda melihat siluet Cinta dari kejauhan, pria itu pun menambah kecepatannya. Kali ini mereka berdua telah jalan bersisian. Cinta menatap Sabda dengan tajam.
"Kamu pulang saja, tidak usah mencampuri urusanku!" bentak Cinta.
"Aku akan pulang jika kamu juga pulang," jawab pria itu tenang.
Cinta memutar bola matanya malas, dia kembali menambah kecepatan lajunya, begitu pula dengan Sabda. Saat ini mereka saling kejar-kejaran.
Cinta mendengkus keras karena Sabda tak pernah menyerah untuk membujuknya. Lagi dan lagi Cinta menambah kecepatan lajunya, wanita itu tersenyum puas karena Sabda tertinggal jauh darinya.
'Huft, hampir aja mempunyai saingan berat,' batin Cinta.
Cinta kembali menoleh ke arah belakang, dia tidak melihat tanda-tanda Sabda sedang mengikutinya.
"Apakah dia menyerah? Cih! Cemen sekali," cibir wanita itu.
Namun sayangnya, otaknya tak sejalan dengan hatinya. Sabda yang dia kenal tidak seperti itu, Cinta sangat mengenal bagaimana pribadi Sabda. Pria itu pantang menyerah, tiba-tiba saja Cinta berpikir yang tidak-tidak.
Wanita itu sengaja menurunkan laju motornya. Semua itu dia lakukan untuk menunggu Sabda. Sudah sepuluh menit Cinta menanti kemunculan pria itu, tetap saja tidak ada tanda-tanda Sabda muncul.
Tanpa berpikir panjang, wanita itu langsung kembali memutar arah. Menyusul Sabda untuk memaki pria itu kenapa tidak lagi mengejarnya.
Cinta melihat ada segerombolan orang-orang di jalanan itu. Pikiran Cinta semakin kalut, dia menuju ke arah gerombolan itu, hatinya berdoa semoga saja apa yang sedang dia pikirkan tidak terjadi.
Namun sayangnya, mata Cinta tak sengaja melihat motor yang Sabda pakai tergeletak di jalanan. Cinta langsung turun dari motornya tanpa memedulikan motor itu jatuh atau tidak.
Wanita itu berlari dengan cepat, mencoba masuk dari kerumunan orang-orang itu. Dirinya melihat ada seorang pria yang tengah tergeletak, membuat Cinta semakin panik. Dia mencari-cari keberadaan Sabda, akan tetapi Sabda tidak ada di sana.
"Sabda! Kamu di mana, hah?! Jangan membuatku khawatir, sialan!" bentak Cinta, tanpa sadar air mata wanita itu menetes.
Semua orang yang ada di sana menatap Cinta dengan perasaan iba, mereka mengira jika Cinta sedang menangisi pria yang tergeletak itu."Mbak, yang sabar ya."Cinta melirik ibu-ibu itu dengan sengit. Sabar? Rasanya sudah lelah Cinta melakukan hal itu, dirinya kurang sabar apa lagi, kebahagiaannya telah direnggut oleh keluarga baru Ricko.Cinta tak menjawab, dia kembali menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Cinta juga bingung kenapa bisa sesedih ini. Apakah dia merasa bersalah pada Sabda? Hanya hati Cinta yang bisa merasakannya."Cinta!"Wanita itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Pasalnya, wanita itu sangat mengenali siapa pemilik suara itu. Cinta melihat Sabda tengah berdiri tak jauh dari motornya.Cinta langsung berdiri, berlari ke arah Sabda. Memukul dada pria itu dengan sedikit keras."Bodoh!" umpat Cinta.Sabda mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang Cinta maksud."A
Wanita itu menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada dipikirannya.Rasanya ingin marah, tapi entah pada siapa yang ingin dia lampiaskan. Gara-gara melihat Farel dan Kezia tadi, emosi Cinta tak terbendung. Sampai-sampai Sabda yang diam saja pun terkena imbasnya. Cinta memarahi Sabda tanpa sebab."Sabda," gumam wanita itu.Dirinya sungguh menyesal karena telah berlaku seenaknya pada Sabda.Cinta menghela napas berat, berniat untuk mencari Sabda, meminta maaf pada pria itu, akan tetapi dering ponselnya mengurungkan niatnya. Cinta bergegas mengambil ponsel di atas meja."Halo," jawab Cinta, ketika sambungan telepon itu terhubung."Hei, Cinta! Ke mana saja kamu, kenapa tidak pernah datang ke basecamp. Kamu lupa dengan kita-kita."Cinta langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, karena mendengar kebisingan dari ujung sana. Apalagi dengan suara Vera yang begitu memekikkan telinga."Aku s
Sedari tadi Sabda duduk selalu gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang karena memikirkan kejadian tadi malam. Gara-gara Cinta, membuat tidur Sabda tak nyenyak.Hari ini Sabda selalu menjauh dari Cinta, ketika Cinta memanggilnya, pria itu selalu beralasan jika dirinya tengah sibuk dengan urusannya. Sejujurnya Sabda malu, dia takut Cinta akan marah padanya karena perbuatannya tadi malam. Padahal sangat jelas bahwa Cinta yang salah, wanita itu selalu saja menggodanya."Sabda!"Sabda tersentak, pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan lambat dia menoleh ke arah belakang. Sabda melihat Cinta sedang berkacak pinggang, mata wanita itu tampak melotot."Kenapa lama sekali, katanya mau menghubungi nomor mama kamu? Kenapa harus ngumpet di sini segala," omel wanita itu.Sabda meringis pelan, buru-buru Sabda memegang ponselnya. Pria itu pura-pura tengah mencari sinyal, agar Cinta tidak curiga."Iya nih, dari tadi aku coba nelepon M
"Cinta mana?" tanya Ricko.Kezia dan Sabda terdiam. Kezia mengedikkan bahunya acuh, sementara Sabda, pria itu menundukkan kepalanya.Karena tak mendapat jawaban, Ricko melirik ke arah istrinya."Cinta mana, Ma?" tanya Ricko."Kayak nggak tau aja kelakuan Cinta gimana," jawab Lina sinis.Sabda mengepalkan tangannya ketika mendengar jawaban dari Lina. Pantas saja Cinta tidak suka dengan keluarga barunya, mereka tampak tidak menyukai Cinta."Tolong panggilkan Cinta, kita akan makan malam bersama," perintah Ricko.Kezia dan Lina diam saja, untuk sekadar berdiri saja mereka enggan."Biar aku saja," jawab Sabda.Pria itu langsung berdiri melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tatapan heran dari mereka bertiga.Seandainya saja Sabda bisa membawa Cinta keluar dari rumah ini, pasti akan dia lakukan dengan senang hati. Hanya saja, apakah Cinta mau bersamanya? Dia yakin Cinta akan menolaknya."Cinta," panggil
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Cinta bingung.Sabda tak menjawab, pria itu terus saja menggandeng tangan Cinta. Berjalan menyusuri jalanan itu, hingga tiba-tiba saja langkah pria itu terhenti.Cinta kembali memperhatikan raut wajah Sabda yang tiba-tiba saja tersenyum. Wanita itu melirik tangannya sekilas, Sabda masih saja betah menggenggam tangannya. Cinta menghela napas panjang, detik berikutnya dia tersentak ketika mengingat apa yang terjadi di jalan Cempaka itu."Kembalikan!" teriak Sabda."Nggak, sepatunya sudah jelek, aku bisa membelikanmu yang lebih bagus," bantah Cinta.Sabda menggelengkan kepalanya, wajah pria itu tampak menghiba, berharap Cinta tidak membuang sepatu itu. Karena sepatu itu kenang-kenangan dari almarhum ayahnya."Ini bukan soal harga, tapi sepatu itu kenang-kenangan dari ayahku, to
Cinta tertegun ketika melihat Farel di depan rumahnya. Biasanya wanita itu akan menyambutnya dengan penuh semangat, tapi sekarang berbeda. Jangankan menyapa, untuk melihat wajah pria itu saja rasanya malas.'Mungkin dia sedang menunggu wanita murahan itu. Ck! Jadi mereka sudah mulai terang-terangan di depanku. Kalian pikir aku ini wanita lemah?' batin Cinta sambil tersenyum mengejek.Cinta berjalan dengan santai, dia sama sekali tidak menatap Farel yang tengah duduk di kursi depan rumahnya. Seolah-olah wanita itu tak melihat siapapun di sana. Cinta melangkah sambil bersiul pelan.Farel yang melihatnya langsung berdiri, pria itu tersenyum lebar."Hai, kamu dari mana saja. Aku dari tadi menunggumu. Ayah bilang kalau kamu sedang pergi dengan bodyguardmu, jadinya aku menunggumu," sapa Farel.Cinta menoleh ke belakang, menatap Farel pura-pura terkejut."Kamu ada di sini? Sejak kapan? Kok aku nggak lihat ya."Farel tersenyum kecut, dia tahu
Sabda kelimpungan karena melihat Cinta tengah merajuk. Dirinya selalu serba salah dibuatnya, pria itu ingin marah, tapi anehnya tidak bisa."Sabda! Yang benar dong. Ih, kan. Fotonya jadi jelek, bisa senyum nggak?" tanya Cinta dengan bibir mengerucut.Lagi-lagi pria itu menghela napas panjang, sudah kesekian kalinya mereka foto bersama, tetapi tidak ada yang bagus menurut Cinta."Oke, sekali lagi," jawab Sabda pasrah."Ingat! Senyum. Jangan pelit senyum, masa gitu-gitu aja diajarin sih," omel wanita itu."Iya, aku akan mencobanya."Gara-gara Cinta membakar foto masa kecil mereka, wanita itu meminta penggantinya dengan cara mereka kembali berfoto bersama. Cinta selalu mengatakan jika akan dibuat kenang-kenangan.Sabda menolaknya, bukan karena tidak mau. Dia hanya kurang percaya diri jika difoto seperti itu, apalagi foto bersama dengan seorang wanita."Satu ... dua ... tiga ... senyum, Sabda," kata Cinta memberi aba-aba.
"Bagaimana? Apa sudah ada perubahan?" tanya Ricko pada Sabda. Sabda mengangguk sambil tersenyum tipis. "Sudah, Om. Ya, walaupun hanya sedikit, tapi aku yakin, pasti Cinta akan berubah," tutur pria itu. "Bagus, nggak sia-sia aku menyuruhmu," kata Ricko bangga. Sabda tak menjawab, dia hanya membalas dengan senyum. "Oh, iya. Dengar-dengar, katanya Cinta udah putus sama pria berandalan itu, apa benar?" "Untuk masalah itu aku kurang tahu, karena Cinta tidak pernah mengatakan jika hubungan mereka selesai. Tapi ... kalau dilihat-lihat, hubungan mereka sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Kalau boleh tahu, Om tahu masalah itu darimana?" tanya Sabda sambil mengernyitkan dahinya. "Dari Kezia," jawab Ricko lirih. Sabda menghela napas berat. Entahlah, setiap kali mendengar nama wanita itu, dia sangat tidak menyukainya. Firasat Sabda mengatakan jika Kezia membawa pengaruh yang buruk. Pintu dibuka dari luar, membuat Sabda dan Rick
"Apa kamu masih mengingat tentang pembicaraan kita, Sabda?" tanya Ricko dengan tatapan lurus ke depan.Sabda menggeleng pelan."Kalau kamu berhasil meluluhkan hati Cinta, maka Om akan menikahkanmu dengan salah satu putriku. Apa kamu masih ingat?"Sabda menelan salivanya dengan kasar. "I-ingat, Om," jawab pria itu terbata.Ricko menghela napas berat, sepertinya pria paruh baya itu mempunyai pikiran yang cukup berat."Kali ini Om akan langsung membicarakannya. Om ingin menjodohkanmu dengan Cinta. Setelah Om lihat dari caramu memperlakukannya, dan juga sikap Cinta yang perlahan membaik. Om memutuskan untuk menjodohkan kalian. Om rasa, kalian saling mempunyai ketertarikan."Rahang Sabda mengeras, kenapa tidak dari dulu Ricko berkata seperti itu.Mata Ricko beralih pada Sabda, kini tata
"Yang patah itu tanganku, bukan kakiku, kenapa aku harus naik dikursi roda," dengkus Cinta.Sabda tak menjawab, pria itu mendorong kursi roda itu dengan tenang."Kamu dengar aku lagi ngomong, kan?""Dengar.""Terus kenapa diam saja. Tidak menyahut ucapanku. Kamu males ngomong sama aku?""Tidak, Cinta. Aku hanya takut jika akan mengganggumu," ucap Sabda.Cinta menghela napas berat. "Masih aja diingat.""Dengar, Cinta. Kamu bahagia, aku juga bahagia. Kamu terluka, aku juga ikut terluka. Aku hanya ingin memahamimu.""Stop!" titah Cinta.Sabda pun menurut, pria itu tak beralih dari sana. Dia malah menatap punggung Cinta dengan sendu. Dia ingin merengkuh tubuh wanita itu, tapi dia takut kalau Cinta malah semakin membencinya.
Cinta menatap motornya dengan sendu. Hari ini adalah hari pernikahan Sabda dan Kezia. Beberapa kali dia menolak agar tidak datang. Tapi Vera dan Cika selalu memaksanya untuk datang."Kalau kamu nggak datang, itu tandanya kamu pengecut," kata Vera."Tunjukkan kalau saat ini kamu baik-baik saja," timpal Cika.Cinta mengusap wajahnya dengan kasar. "Baiklah, aku akan datang. Kalian tidak perlu ikut," final Cinta."No!" teriak mereka bersamaan."Aku harus ikut, siapa yang akan membopongmu nanti kalau pingsan, takutnya kamu nggak kuat jika melihat Sabda sudah menikah," ejek Vera.Cinta mendelik kesal. "Itu mulut dijaga ya, siapa juga yang pingsan. Strong gini," bela Cinta.Vera dan Cika tertawa mendengarnya."Apapun yang terjadi, kamu harus ikhlasin dia," kat
"Apa lagi yang kamu tunggu, Sabda. Semuanya sudah pada datang. Apa kamu sengaja mengulur waktu?" tanya Lina dengan geram."Sebentar lagi, Tante. Ada yang sedang aku tunggu."Lina memutar bola matanya malas. "Kalau sampai orang yang kamu tunggu tidak datang dalam waktu setengah jam, maka kamu harus menyudahinya. Lihatlah, banyak orang yang tengah menanti ijab kabulnya," ujar Lina sinis.Sabda menghela napas berat. "Iya," sahutnya lirih.Sabda keluar dari rumah itu. Duduk di teras dengan gelisah. Dia sangat yakin jika Cinta akan datang, hanya saja wanita itu datang terlambat. Ya, pikiran Sabda sepositif itu.Lima belas menit dia sudah menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Cinta akan datang, Sabda mengusap wajahnya dengan kasar. Terlihat sekali bahwa saat ini Sabda tengah gusar."Cinta, kalau kamu memang cinta sam
"Tumben ngajakin aku jalan. Lagi galau, ya?" tanya Dika serius."Nggak," jawab Cinta cuek.Saat ini mereka sedang berada di taman kota. Keadaan di sana tidak terlalu ramai, membuat hati Cinta terasa tenang. Dia bisa menikmati suasana taman itu ketika di malam hari.Dika menatap Cinta dalam diam, dia tahu kalau saat ini Cinta sedang tidak baik-baik saja. Dia tahu kalau Sabda dan Kezia akan menikah besok, mungkin itu yang sangat mengganggu pikiran wanita itu."Hubungan kamu sama Farel gimana?" tanya Dika basa-basi."Udah putus," jawab Cinta."Putus?" ulang Dika. Pria itu pura-pura terkejut."Hemm.""Kok bisa?""Ya bisalah, namanya juga nggak jodoh. Apaan sih, kenapa jadi bahas dia," gerutu Cinta.D
"Ap--apa?" tanya Cinta lirih. Tiba-tiba saja dia mendadak linglung."Aku--""Jadi kalian benar-benar melakukannya?" potong Cinta."Cinta," panggil pria itu lirih."JAWAB, SABDA!" pekik Cinta.Sabda menyugar rambutnya dengan kasar, dia juga bingung harus mengatakan apa terhadap Cinta. Menurutnya, berbicara dengan Cinta harus hati-hati."Aku nggak tau, Cinta. Semua orang memojokkanku, nggak ada yang percaya sama aku. Ditambah lagi Kezia benar-benar sangat licik, aku nggak tahu harus gimana lagi ngehadapin dia," kata Sabda frustrasi.Tidak! Jawaban itu yang Cinta inginkan, bukan yang lain."Jadi kamu memutuskan untuk menikah dengannya?" tanya Cinta lirih."Ayahmu yang memaksaku, Cinta."Cinta mengan
"Cinta, ada yang nyariin tuh. Cie yang udah dapat gebetan baru," ledek Cika.Cinta tak menyahut ucapan Cika, wanita itu malah asyik berkutat dengan ponselnya."Woy, yaelah. Dipanggilin dari tadi juga. Kamu dengar nggak sih," decak Cika."Apaan sih, ganggu banget tau nggak," gerutu Cinta."Ada yang cari kamu di luar.""Bilang aja aku nggak ada, aku lagi malas ketemu sama orang!"Hari ini mood Cinta benar-benar rusak. Semenjak pergi dari rumahnya, dia selalu saja uring-uringan tak jelas. Siapapun yang ada di dekatnya pasti akan terkena imbasnya."Nggak bisa, aku sudah terlanjur bilang kamu lagi ada di dalam," ujar Cika sambil nyengir lebar.Cinta langsung menatap temannya dengan horor, dengan kesal dia bangun dari duduknya."S
Cinta mengumpat kesal karena tidak menemukan pakaian yang cocok untuknya. Semua bajunya kotor, sedangkan dilemari itu penuh dengan pakaian Cika dan Vera."Ya ampun. Kenapa lemarinya diacak-acak gitu sih!" teriak Vera sambil berkacak pinggang."Aku sedang mencari bajuku, tapi nggak ada. Ke mana sih, apa jangan-jangan kalian buang ya?" tanya Cinta dengan sorot mata tajam.Vera mendekati Cinta, lalu menoyor kepala wanita itu dengan sedikit keras."Buang baju kamu? Yang benar saja. Tuh lihat, baju kamu kotor semua. Harusnya kamu cuci, bukannya malah nuduh orang sembarangan," decak Vera.Cinta nyengir lebar. "Kamu mau cucikan bajuku?""No!" jawab Vera tegas."Tenang aja, pasti aku bayar. Gimana, mau apa nggak?" tanya Cinta sambil menaik-turunkan alisnya."Na
Kezia mengepalkan tangannya karena melihat perdebatan kedua orangtuanya dari arah kejauhan.Baru kali ini dia melihat Ricko tampak murka pada mamanya karena membahas tentang Cinta, sebelumnya Ricko tak pernah bersikap seperti itu.Cinta, dia senang karena selama beberapa hari ini wanita itu tidak pulang. Kezia malah berharap kalau Cinta tidak akan pernah kembali lagi, dengan begitu, dia bisa mengambil semua hak yang ada pada Cinta."Sebentar lagi aku akan menyingkirkan kamu, Cinta. Nikmatilah kehancuranmu itu," desis Kezia dengan sorot mata tajam.Dia harus melakukannya sekarang, memulai untuk membuat drama bahwa saat ini dia tengah hamil anak Sabda. Lagi-lagi wanita itu tersenyum licik, dia sangat tidak sabar menanti raut wajah Cinta yang begitu menyedihkan.Ponsel Kezia seketika berdering, dahinya mengernyit heran karena nama Farel yang tertera dilayar ponselnya.'Bukankah aku sudah menyuruh Dika untuk menjauhiku dari pria itu?' batin Kezi