Semua orang yang ada di sana menatap Cinta dengan perasaan iba, mereka mengira jika Cinta sedang menangisi pria yang tergeletak itu.
"Mbak, yang sabar ya."
Cinta melirik ibu-ibu itu dengan sengit. Sabar? Rasanya sudah lelah Cinta melakukan hal itu, dirinya kurang sabar apa lagi, kebahagiaannya telah direnggut oleh keluarga baru Ricko.
Cinta tak menjawab, dia kembali menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Cinta juga bingung kenapa bisa sesedih ini. Apakah dia merasa bersalah pada Sabda? Hanya hati Cinta yang bisa merasakannya.
"Cinta!"
Wanita itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Pasalnya, wanita itu sangat mengenali siapa pemilik suara itu. Cinta melihat Sabda tengah berdiri tak jauh dari motornya.
Cinta langsung berdiri, berlari ke arah Sabda. Memukul dada pria itu dengan sedikit keras.
"Bodoh!" umpat Cinta.
Sabda mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang Cinta maksud.
"Apanya yang bodoh?"
"Kamu!" Bentak Cinta. "Kenapa kamu tidak mengejarku, kenapa tidak membujukku? Apakah kamu menyerah dengan sikapku?" tanya Cinta menggebu.
Sabda terdiam, namun bibirnya tersenyum lebar. Cinta yang melihatnya pun semakin kesal.
"Kenapa diam saja, dan juga kenapa tersenyum. Apa saat ini kamu sedang mengejekku, huh?!"
Sabda menggeleng pelan, pria itu masih menyunggingkan senyumnya. Dirinya pun sama halnya seperti Cinta, Sabda mengkhawatirkan kondisi Cinta.
Ketika Sabda keluar dari toilet umum, pria itu sedikit heran karena banyak kerumunan orang-orang di dekat motornya. Dia agak terkejut karena melihat motor yang dia pakai tergeletak, Sabda sudah menduga jika ada yang kecelakaan, dan motor itu pun juga kena imbasnya. Ketika Sabda ingin membenarkan motornya, tanpa sengaja dia melihat motor Cinta juga ada di situ. Jantung pria itu berdetak kencang seraya menggumam tak jelas. Batinnya menepis kuat jika bukan Cinta yang terlibat kecelakaan itu.
Sabda bernapas lega ketika melihat Cinta baik-baik saja. Hanya saja, mengapa wanita itu menangis? Apakah Cinta terluka?
Pria itu pun memanggil nama Cinta dengan begitu keras, hingga tatapan mereka pun bertemu. Hati Sabda semakin tak karuan ketika melihat mata Cinta tampak sembap.
Sabda menggeleng pelan karena ternyata pikirannya salah. Cinta juga tengah mengkhawatirkannya.
'Apa ini? Jadi kita berdua sama-sama khawatir?' batin Sabda.
"Maaf, tiba-tiba saja tadi aku sakit perut, jadi ... aku memutuskan untuk singgah dulu ke toilet. Maaf jika aku tidak mengejarmu," ujar Sabda dengan sesal.
Cinta berkacak pinggang. Wanita itu menertawakan dirinya sendiri karena telah bertindak konyol. Ya Tuhan! Cinta pikir Sabda terluka sangat parah, sia-sia rasanya dia mengeluarkan air mata untuk Sabda. Pria itu bahkan terlihat baik-baik saja.
"Apa senyum-senyum!" bentak Cinta. "Nggak lucu ya."
"Tidak, aku tidak mengatakan kalau lucu. Baiklah, kita sekarang pulang. Hari sudah mulai malam. Wanita baik tidak mungkin keluar malam, kan?"
Cinta tertohok dengan kata-kata Sabda. Apakah itu artinya Sabda menganggapnya sebagai wanita liar? Dia pun tersenyum kecut.
"Terima kasih atas sindirannya, aku memang bukan wanita baik," jawab wanita itu dengan ketus.
Cinta melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Sabda yang tampak merasa bersalah.
"Kamu ngapain diam aja! Katanya tadi nyuruh aku pulang, kenapa diam terus di situ?"
Sabda buru-buru mendekati motornya. Namun, baru beberapa langkah Sabda berjalan, suara Cinta kembali melengking ditelinganya.
"Nggak usah naik motor itu, cepat ikut aku!"
Sabda menatap Cinta heran, walaupun begitu, pria itu tetap menuruti perintah Cinta.
"Kalau aku naik motor bareng kamu, lalu bagaimana dengan motor itu?"
"Biar aku yang urus, cepat naik!" perintah Cinta.
"Biar aku aja yang nyetir," sela Sabda.
"Tidak usah, nanti yang ada malah jatuh. Kamu, kan tidak terlalu bisa naik motor," ejek Cinta.
"Bukannya aku yang tidak bisa naik motor, tapi kamunya aja yang terlalu khawatir sama aku, kamu takut kejadian ini terulang lagi, kan?"
Skakmat! Cinta langsung bungkam. Apa yang dikatakan Sabda memang benar, dia takut kalau Sabda terjadi sesuatu.
'Kamu mikir apa sih, Cinta. Harusnya dia yang jaga kamu, bukan kamu yang jaga dia. Kenapa jadi terbalik,' keluh wanita itu dalam hati.
"Idih! Jadi cowok jangan Ge-er, siapa juga yang khawatir sama kamu, cepat naik!" perintah Cinta dengan galak.
"Iya," kata Sabda pasrah.
Motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Entah mengapa, tiba-tiba saja Cinta memiliki ide untuk mengerjai Sabda. Wanita itu menambah kecepatan lajunya, membuat Sabda terlihat sangat panik.
"Cinta, jangan ngebut-ngebut," nasehat Sabda.
"Biar cepat sampai," jawabnya cuek.
Semakin lama motor itu semakin laju, hingga secara tak sadar, Sabda memeluk pinggang Cinta. Wanita itu terkesiap, laju motornya pun dia perlambat.
"Ish! Apaan sih pegang-pegang. Lepas nggak!"
"Makanya jangan ngebut-ngebut, sekarang kamu turun, biar aku aja yang nyetir," perintah Sabda.
Cinta menggeleng tegas. "Tidak! Asal kamu tahu, Sabda. Ini adalah makanan sehari-hariku, jadi kamu tidak perlu takut jatuh."
"Aku tahu kalau kamu itu hebat. Walaupun demikian, tetap saja kita tidak tahu nasib apa yang akan menimpa diri kita selanjutnya. Cinta, kamu itu wanita, tidak pantas jika melakukan seperti ini. Apakah kamu tidak memikirkan betapa kecewanya bundamu di sana melihat kondisi anaknya seperti ini? Tidak, Cinta. Aku yakin pasti dia akan terluka."
Cinta tampak diam saja, akan tetapi tangannya mengepal kuat, jika berkaitan dengan bundanya, hatinya selalu tersentil.
Sabda menghela napas ketika melihat Cinta diam saja. Pria itu memegang tangan Cinta dengan pelan.
"Kita pulang ya," ajak Sabda.
Cinta menatap mata Sabda, pun sama halnya seperti Sabda. Tatapan mereka bertemu cukup lama, hingga lebih dulu Cinta memutuskan kontak mata tersebut.
"Ya," jawab wanita itu lirih.
Kali ini Sabda yang menyetir, Cinta melihat punggung Sabda yang begitu tegap. Wanita itu membayangkan bagaimana rasanya jika kepalanya dia sandarkan dipunggung itu, apakah akan terasa nyaman.
Cinta memejamkan matanya, tangannya memeluk pinggang Sabda dengan erat, serta kepalanya dia rebahkan dipunggung Sabda. Nyaman, rasanya sungguh sangat nyaman. Cinta tersenyum kecil ketika merasakan tubuh Sabda menegang.
"Maaf, Sabda. Aku tahu kalau ini sangat lancang. Tapi ... izinkan aku seperti ini, aku janji tidak akan lama."
Sabda tak menjawab, pria itu malah membalas dengan memegang tangan Cinta. Diusapnya tangan itu dengan penuh kasih sayang, seolah-olah mengatakan jika Sabda selalu ada di sampingnya.
Satu tangan Sabda digunakan untuk menyetir, satu tangannya lagi untuk memegang tangan Cinta.
Cinta sangat menikmati momen itu, rasanya ingin memperlambat waktu, karena enggan untuk menyudahi momen ini. Namun sayangnya, saat ini mereka berdua telah berada di pelataran rumah Cinta.
Wanita itu menghela napas, turun dari motor dengan rasa malas. Ketika ingin masuk, mata Cinta tak sengaja melihat seorang pria yang sangat dia kenali bersama dengan kakak tirinya. Cinta mengerutkan keningnya heran.
"Farel, kamu ngapain ada di sini? Bukankah tadi aku bilang kalau aku tidak ada di rumah?"
Farel dan Kezia langsung menoleh ke arah Cinta. Cinta dapat melihat raut wajah terkejut dari mereka berdua.
Wanita itu menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada dipikirannya.Rasanya ingin marah, tapi entah pada siapa yang ingin dia lampiaskan. Gara-gara melihat Farel dan Kezia tadi, emosi Cinta tak terbendung. Sampai-sampai Sabda yang diam saja pun terkena imbasnya. Cinta memarahi Sabda tanpa sebab."Sabda," gumam wanita itu.Dirinya sungguh menyesal karena telah berlaku seenaknya pada Sabda.Cinta menghela napas berat, berniat untuk mencari Sabda, meminta maaf pada pria itu, akan tetapi dering ponselnya mengurungkan niatnya. Cinta bergegas mengambil ponsel di atas meja."Halo," jawab Cinta, ketika sambungan telepon itu terhubung."Hei, Cinta! Ke mana saja kamu, kenapa tidak pernah datang ke basecamp. Kamu lupa dengan kita-kita."Cinta langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, karena mendengar kebisingan dari ujung sana. Apalagi dengan suara Vera yang begitu memekikkan telinga."Aku s
Sedari tadi Sabda duduk selalu gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang karena memikirkan kejadian tadi malam. Gara-gara Cinta, membuat tidur Sabda tak nyenyak.Hari ini Sabda selalu menjauh dari Cinta, ketika Cinta memanggilnya, pria itu selalu beralasan jika dirinya tengah sibuk dengan urusannya. Sejujurnya Sabda malu, dia takut Cinta akan marah padanya karena perbuatannya tadi malam. Padahal sangat jelas bahwa Cinta yang salah, wanita itu selalu saja menggodanya."Sabda!"Sabda tersentak, pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan lambat dia menoleh ke arah belakang. Sabda melihat Cinta sedang berkacak pinggang, mata wanita itu tampak melotot."Kenapa lama sekali, katanya mau menghubungi nomor mama kamu? Kenapa harus ngumpet di sini segala," omel wanita itu.Sabda meringis pelan, buru-buru Sabda memegang ponselnya. Pria itu pura-pura tengah mencari sinyal, agar Cinta tidak curiga."Iya nih, dari tadi aku coba nelepon M
"Cinta mana?" tanya Ricko.Kezia dan Sabda terdiam. Kezia mengedikkan bahunya acuh, sementara Sabda, pria itu menundukkan kepalanya.Karena tak mendapat jawaban, Ricko melirik ke arah istrinya."Cinta mana, Ma?" tanya Ricko."Kayak nggak tau aja kelakuan Cinta gimana," jawab Lina sinis.Sabda mengepalkan tangannya ketika mendengar jawaban dari Lina. Pantas saja Cinta tidak suka dengan keluarga barunya, mereka tampak tidak menyukai Cinta."Tolong panggilkan Cinta, kita akan makan malam bersama," perintah Ricko.Kezia dan Lina diam saja, untuk sekadar berdiri saja mereka enggan."Biar aku saja," jawab Sabda.Pria itu langsung berdiri melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tatapan heran dari mereka bertiga.Seandainya saja Sabda bisa membawa Cinta keluar dari rumah ini, pasti akan dia lakukan dengan senang hati. Hanya saja, apakah Cinta mau bersamanya? Dia yakin Cinta akan menolaknya."Cinta," panggil
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Cinta bingung.Sabda tak menjawab, pria itu terus saja menggandeng tangan Cinta. Berjalan menyusuri jalanan itu, hingga tiba-tiba saja langkah pria itu terhenti.Cinta kembali memperhatikan raut wajah Sabda yang tiba-tiba saja tersenyum. Wanita itu melirik tangannya sekilas, Sabda masih saja betah menggenggam tangannya. Cinta menghela napas panjang, detik berikutnya dia tersentak ketika mengingat apa yang terjadi di jalan Cempaka itu."Kembalikan!" teriak Sabda."Nggak, sepatunya sudah jelek, aku bisa membelikanmu yang lebih bagus," bantah Cinta.Sabda menggelengkan kepalanya, wajah pria itu tampak menghiba, berharap Cinta tidak membuang sepatu itu. Karena sepatu itu kenang-kenangan dari almarhum ayahnya."Ini bukan soal harga, tapi sepatu itu kenang-kenangan dari ayahku, to
Cinta tertegun ketika melihat Farel di depan rumahnya. Biasanya wanita itu akan menyambutnya dengan penuh semangat, tapi sekarang berbeda. Jangankan menyapa, untuk melihat wajah pria itu saja rasanya malas.'Mungkin dia sedang menunggu wanita murahan itu. Ck! Jadi mereka sudah mulai terang-terangan di depanku. Kalian pikir aku ini wanita lemah?' batin Cinta sambil tersenyum mengejek.Cinta berjalan dengan santai, dia sama sekali tidak menatap Farel yang tengah duduk di kursi depan rumahnya. Seolah-olah wanita itu tak melihat siapapun di sana. Cinta melangkah sambil bersiul pelan.Farel yang melihatnya langsung berdiri, pria itu tersenyum lebar."Hai, kamu dari mana saja. Aku dari tadi menunggumu. Ayah bilang kalau kamu sedang pergi dengan bodyguardmu, jadinya aku menunggumu," sapa Farel.Cinta menoleh ke belakang, menatap Farel pura-pura terkejut."Kamu ada di sini? Sejak kapan? Kok aku nggak lihat ya."Farel tersenyum kecut, dia tahu
Sabda kelimpungan karena melihat Cinta tengah merajuk. Dirinya selalu serba salah dibuatnya, pria itu ingin marah, tapi anehnya tidak bisa."Sabda! Yang benar dong. Ih, kan. Fotonya jadi jelek, bisa senyum nggak?" tanya Cinta dengan bibir mengerucut.Lagi-lagi pria itu menghela napas panjang, sudah kesekian kalinya mereka foto bersama, tetapi tidak ada yang bagus menurut Cinta."Oke, sekali lagi," jawab Sabda pasrah."Ingat! Senyum. Jangan pelit senyum, masa gitu-gitu aja diajarin sih," omel wanita itu."Iya, aku akan mencobanya."Gara-gara Cinta membakar foto masa kecil mereka, wanita itu meminta penggantinya dengan cara mereka kembali berfoto bersama. Cinta selalu mengatakan jika akan dibuat kenang-kenangan.Sabda menolaknya, bukan karena tidak mau. Dia hanya kurang percaya diri jika difoto seperti itu, apalagi foto bersama dengan seorang wanita."Satu ... dua ... tiga ... senyum, Sabda," kata Cinta memberi aba-aba.
"Bagaimana? Apa sudah ada perubahan?" tanya Ricko pada Sabda. Sabda mengangguk sambil tersenyum tipis. "Sudah, Om. Ya, walaupun hanya sedikit, tapi aku yakin, pasti Cinta akan berubah," tutur pria itu. "Bagus, nggak sia-sia aku menyuruhmu," kata Ricko bangga. Sabda tak menjawab, dia hanya membalas dengan senyum. "Oh, iya. Dengar-dengar, katanya Cinta udah putus sama pria berandalan itu, apa benar?" "Untuk masalah itu aku kurang tahu, karena Cinta tidak pernah mengatakan jika hubungan mereka selesai. Tapi ... kalau dilihat-lihat, hubungan mereka sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Kalau boleh tahu, Om tahu masalah itu darimana?" tanya Sabda sambil mengernyitkan dahinya. "Dari Kezia," jawab Ricko lirih. Sabda menghela napas berat. Entahlah, setiap kali mendengar nama wanita itu, dia sangat tidak menyukainya. Firasat Sabda mengatakan jika Kezia membawa pengaruh yang buruk. Pintu dibuka dari luar, membuat Sabda dan Rick
"Aku hamil," ujar Kezia dengan raut wajah tak terbaca.Saat ini Kezia sedang berdiri di hadapan Farel. Pikiran Kezia campur aduk. Dia bingung harus bagaimana, dan juga bagaimana reaksi mama dan papanya jika mengetahui dirinya tengah berbadan dua.Farel menatap Kezia dengan tajam. Setelah itu dia tertawa keras, tak percaya dengan ucapan Kezia. Yang Farel pikirkan Kezia memang pandai bersandiwara. Wanita itu pintar bersilat lidah, hingga dirinya pun akhirnya terjebak dengan rayuannya."Bohong! tandas Farel.Kezia tersenyum sinis. "Apa kamu masih ingat dengan kata-katamu, sebelum kita melakukannya, kamu sudah berjanji jika terjadi sesuatu padaku, kamu akan bertanggung jawab, tapi sekarang apa? Kamu menyangkalnya, kan?" tanya Kezia seraya melipatkan kedua tangannya di dada."Gue tau itu bukan anak gue," papar pria itu dengan rahang mengeras.
"Apa kamu masih mengingat tentang pembicaraan kita, Sabda?" tanya Ricko dengan tatapan lurus ke depan.Sabda menggeleng pelan."Kalau kamu berhasil meluluhkan hati Cinta, maka Om akan menikahkanmu dengan salah satu putriku. Apa kamu masih ingat?"Sabda menelan salivanya dengan kasar. "I-ingat, Om," jawab pria itu terbata.Ricko menghela napas berat, sepertinya pria paruh baya itu mempunyai pikiran yang cukup berat."Kali ini Om akan langsung membicarakannya. Om ingin menjodohkanmu dengan Cinta. Setelah Om lihat dari caramu memperlakukannya, dan juga sikap Cinta yang perlahan membaik. Om memutuskan untuk menjodohkan kalian. Om rasa, kalian saling mempunyai ketertarikan."Rahang Sabda mengeras, kenapa tidak dari dulu Ricko berkata seperti itu.Mata Ricko beralih pada Sabda, kini tata
"Yang patah itu tanganku, bukan kakiku, kenapa aku harus naik dikursi roda," dengkus Cinta.Sabda tak menjawab, pria itu mendorong kursi roda itu dengan tenang."Kamu dengar aku lagi ngomong, kan?""Dengar.""Terus kenapa diam saja. Tidak menyahut ucapanku. Kamu males ngomong sama aku?""Tidak, Cinta. Aku hanya takut jika akan mengganggumu," ucap Sabda.Cinta menghela napas berat. "Masih aja diingat.""Dengar, Cinta. Kamu bahagia, aku juga bahagia. Kamu terluka, aku juga ikut terluka. Aku hanya ingin memahamimu.""Stop!" titah Cinta.Sabda pun menurut, pria itu tak beralih dari sana. Dia malah menatap punggung Cinta dengan sendu. Dia ingin merengkuh tubuh wanita itu, tapi dia takut kalau Cinta malah semakin membencinya.
Cinta menatap motornya dengan sendu. Hari ini adalah hari pernikahan Sabda dan Kezia. Beberapa kali dia menolak agar tidak datang. Tapi Vera dan Cika selalu memaksanya untuk datang."Kalau kamu nggak datang, itu tandanya kamu pengecut," kata Vera."Tunjukkan kalau saat ini kamu baik-baik saja," timpal Cika.Cinta mengusap wajahnya dengan kasar. "Baiklah, aku akan datang. Kalian tidak perlu ikut," final Cinta."No!" teriak mereka bersamaan."Aku harus ikut, siapa yang akan membopongmu nanti kalau pingsan, takutnya kamu nggak kuat jika melihat Sabda sudah menikah," ejek Vera.Cinta mendelik kesal. "Itu mulut dijaga ya, siapa juga yang pingsan. Strong gini," bela Cinta.Vera dan Cika tertawa mendengarnya."Apapun yang terjadi, kamu harus ikhlasin dia," kat
"Apa lagi yang kamu tunggu, Sabda. Semuanya sudah pada datang. Apa kamu sengaja mengulur waktu?" tanya Lina dengan geram."Sebentar lagi, Tante. Ada yang sedang aku tunggu."Lina memutar bola matanya malas. "Kalau sampai orang yang kamu tunggu tidak datang dalam waktu setengah jam, maka kamu harus menyudahinya. Lihatlah, banyak orang yang tengah menanti ijab kabulnya," ujar Lina sinis.Sabda menghela napas berat. "Iya," sahutnya lirih.Sabda keluar dari rumah itu. Duduk di teras dengan gelisah. Dia sangat yakin jika Cinta akan datang, hanya saja wanita itu datang terlambat. Ya, pikiran Sabda sepositif itu.Lima belas menit dia sudah menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Cinta akan datang, Sabda mengusap wajahnya dengan kasar. Terlihat sekali bahwa saat ini Sabda tengah gusar."Cinta, kalau kamu memang cinta sam
"Tumben ngajakin aku jalan. Lagi galau, ya?" tanya Dika serius."Nggak," jawab Cinta cuek.Saat ini mereka sedang berada di taman kota. Keadaan di sana tidak terlalu ramai, membuat hati Cinta terasa tenang. Dia bisa menikmati suasana taman itu ketika di malam hari.Dika menatap Cinta dalam diam, dia tahu kalau saat ini Cinta sedang tidak baik-baik saja. Dia tahu kalau Sabda dan Kezia akan menikah besok, mungkin itu yang sangat mengganggu pikiran wanita itu."Hubungan kamu sama Farel gimana?" tanya Dika basa-basi."Udah putus," jawab Cinta."Putus?" ulang Dika. Pria itu pura-pura terkejut."Hemm.""Kok bisa?""Ya bisalah, namanya juga nggak jodoh. Apaan sih, kenapa jadi bahas dia," gerutu Cinta.D
"Ap--apa?" tanya Cinta lirih. Tiba-tiba saja dia mendadak linglung."Aku--""Jadi kalian benar-benar melakukannya?" potong Cinta."Cinta," panggil pria itu lirih."JAWAB, SABDA!" pekik Cinta.Sabda menyugar rambutnya dengan kasar, dia juga bingung harus mengatakan apa terhadap Cinta. Menurutnya, berbicara dengan Cinta harus hati-hati."Aku nggak tau, Cinta. Semua orang memojokkanku, nggak ada yang percaya sama aku. Ditambah lagi Kezia benar-benar sangat licik, aku nggak tahu harus gimana lagi ngehadapin dia," kata Sabda frustrasi.Tidak! Jawaban itu yang Cinta inginkan, bukan yang lain."Jadi kamu memutuskan untuk menikah dengannya?" tanya Cinta lirih."Ayahmu yang memaksaku, Cinta."Cinta mengan
"Cinta, ada yang nyariin tuh. Cie yang udah dapat gebetan baru," ledek Cika.Cinta tak menyahut ucapan Cika, wanita itu malah asyik berkutat dengan ponselnya."Woy, yaelah. Dipanggilin dari tadi juga. Kamu dengar nggak sih," decak Cika."Apaan sih, ganggu banget tau nggak," gerutu Cinta."Ada yang cari kamu di luar.""Bilang aja aku nggak ada, aku lagi malas ketemu sama orang!"Hari ini mood Cinta benar-benar rusak. Semenjak pergi dari rumahnya, dia selalu saja uring-uringan tak jelas. Siapapun yang ada di dekatnya pasti akan terkena imbasnya."Nggak bisa, aku sudah terlanjur bilang kamu lagi ada di dalam," ujar Cika sambil nyengir lebar.Cinta langsung menatap temannya dengan horor, dengan kesal dia bangun dari duduknya."S
Cinta mengumpat kesal karena tidak menemukan pakaian yang cocok untuknya. Semua bajunya kotor, sedangkan dilemari itu penuh dengan pakaian Cika dan Vera."Ya ampun. Kenapa lemarinya diacak-acak gitu sih!" teriak Vera sambil berkacak pinggang."Aku sedang mencari bajuku, tapi nggak ada. Ke mana sih, apa jangan-jangan kalian buang ya?" tanya Cinta dengan sorot mata tajam.Vera mendekati Cinta, lalu menoyor kepala wanita itu dengan sedikit keras."Buang baju kamu? Yang benar saja. Tuh lihat, baju kamu kotor semua. Harusnya kamu cuci, bukannya malah nuduh orang sembarangan," decak Vera.Cinta nyengir lebar. "Kamu mau cucikan bajuku?""No!" jawab Vera tegas."Tenang aja, pasti aku bayar. Gimana, mau apa nggak?" tanya Cinta sambil menaik-turunkan alisnya."Na
Kezia mengepalkan tangannya karena melihat perdebatan kedua orangtuanya dari arah kejauhan.Baru kali ini dia melihat Ricko tampak murka pada mamanya karena membahas tentang Cinta, sebelumnya Ricko tak pernah bersikap seperti itu.Cinta, dia senang karena selama beberapa hari ini wanita itu tidak pulang. Kezia malah berharap kalau Cinta tidak akan pernah kembali lagi, dengan begitu, dia bisa mengambil semua hak yang ada pada Cinta."Sebentar lagi aku akan menyingkirkan kamu, Cinta. Nikmatilah kehancuranmu itu," desis Kezia dengan sorot mata tajam.Dia harus melakukannya sekarang, memulai untuk membuat drama bahwa saat ini dia tengah hamil anak Sabda. Lagi-lagi wanita itu tersenyum licik, dia sangat tidak sabar menanti raut wajah Cinta yang begitu menyedihkan.Ponsel Kezia seketika berdering, dahinya mengernyit heran karena nama Farel yang tertera dilayar ponselnya.'Bukankah aku sudah menyuruh Dika untuk menjauhiku dari pria itu?' batin Kezi