"Ibu tidak melarangmu untuk bergaul dengan anak ibu, tapi kau juga harus memberi waktu untuk air Man agar dia bisa mengurus dirinya sendiri dan keluarganya."Wanita itu semakin menjadi-jadi saja tangisannya mendengar ibu mertua menjawabnya, dia semakin tidak membendung air mata malas sekarang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis semakin pilu. "Sejujurnya ini tidak seperti yang ibu dengarkan, aku jarang bertemu Arman. Paling hanya sekali atau dua kali dalam sebulan, kami hanya sering berhubungan lewat chat karena dia membantu keuanganku." Wanita itu terus mengadu mengusap air mata dan meminta perhatian ibu mertua.Aku benci padanya karena ia begitu tidak tahu diri dan egois, seakan dunia berputar tentang kebutuhan dia saja sehingga dia merasa bahwa suamiku harus menafkahinya. "Oh ya? dalam seminggu saja bisa lebih dua kali pertemuan kalian! bahkan ke manapun mba pergi, suamiku selalu menjadi supirmu. Hari Minggu kemarin seharusnya kami menghadiri syukuran ayahku y
Setelah ayah dan ibunya Arman menjauh dari rumah calon mertuaku, calon ibu mertua hanya mendesahkan napasnya lalu memberi isyarat kepada suaminya untuk masuk kembali ke dalam rumah sementara aku dan Mas Renaldi akan pulang. "Ayo masuk Pi, biar anak-anak pulang.""Iya, Mi." Pria yang hampir 60 tahun itu menepuk bahuku sambil tersenyum lalu dia mengikuti langkah istrinya. Aku agak tertegun dengan reaksi mereka, tidak menyangka kalau mereka akan diam saja, tidak memperpanjang perdebatan, bahkan mempertanyakan atau mengoceh lebih jauh lagi. Mungkin pikiran mereka sudah begitu terbuka, juga tak mau buang waktu padahal hal-hal yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Jadi, aku lega sekali. "Apa tadi kau takut?" tanya Mas Renaldi."Sebenarnya iya. Aku tidak khawatir untuk hukuman pada diriku sendiri, tapi aku menjaga perasaanmu, Mas. Bagaimana kalau pernikahan ini batal gara-gara aku? Gara-gara masalah yang seharusnya sudah kita lupakan tapi masih diungkit-ungkit lagi.""Itu tidak akan b
Seperti drama Korea yang selalu datang pengganggu pada puncak kebahagiaan aktor utama, aku merasa familiar dan sedikit klise dengan kejadian hari ini. Kupikir semuanya akan berjalan lancar tanpa penghalang, tapi sekarang aku melihat sebuah tembok besar bernama Lorena yang dari tatapan matanya sudah bersiap-siap untuk menghancurkan hidupku. Dari cara dia bicara sepertinya wanita itu menyukai calon suamiku dan dia akan menyulitkan diri ini. Dan wow, dia bilang dia akan ada di kantor Mas Renaldi sepanjang hari, bahkan dia tidak langsung pulang ke rumahnya atau ke hotel setelah perjalanan jauh dari Amerika. Dia ingin bertemu Mas Renaldi dan kupikir baginya calon suamiku adalah orang penting. Kalau tidak tahu apa yang harus kulakukan jadi kuraih ponselku dan kuhubungi Mas Renaldi. Lelaki yang sedang dalam perjalanan itu menjawab panggilanku."Assalamualaikum Sayang. Ada apa?""Waalaikumsalam. Mas sepupumu sudah datang dari Amerika, dia sudah menyapaku di kantorku dan sekarang dia berada
Tatapan wanita itu membuatku risih, sekalipun ia sangat cantik, wangi dan elegan, aku seperti melihat seorang musuh yang punya dendam kesumat di hadapanku. Aku bisa tahu kalau dia membenciku, Dia tidak setuju aku dekat dengan sepupunya yang kaya raya serta sukses itu. Dari gestur dan gaya pertanyaannya sejak tadi, jelas saja ia menghina diri ini secara tersirat bahwa aku adalah orang rendahan, miskin, jauh dari mereka yang seakan-akan tidak pantas bersanding dengan Mas Renaldi. Aku tersinggung, tapi aku mencoba bersikap tenang demi menghargai calon suamiku. "Oh ya, anak kamu berapa?""Dua, Nyonya.""Tidak usah panggil aku nyonya. Panggil saja Lorena sebab aku dan suamimu adalah sepupu!""Baik." Aku tetap menjawab dengan tenang."Di SDN 12.""Oh sekolah negeri?""Iya.""Kenapa tidak pindahkan ke sekolah internasional?""Sebenarnya aku mau memindahkannya tapi Hanifah menolaknya.""Kenapa, apa kau merasa insecure dan khawatir kalau anak-anakmu tidak bisa menyesuaikan diri dengan anak
Sehari berikutnya. Rapat dengan beberapa divisi sepanjang hari membuat kepalaku betul-betul pusing. Belakangan ini Mas Renaldi memberiku lebih banyak tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan mengelola beberapa departemen di tower ini. Aku harus berdiskusi dengan beberapa manajer, kepala cabang dan kepala staf agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan harapan Direktur utama.Aku seperti mengelola sesuatu yang bukan tanggung jawabku tapi aku diharuskan untuk seperti itu. "Aku sedikit kewalahan tapi ini adalah tanggung jawab yang dipercayakan Mas Renaldi padaku,"ujarku pada Vina asistenku. "Kalau kewalahan mungkin bisa bagi tugas bu.""Tapi Tuan Renaldi menyuruhku untuk memastikannya secara langsung.""Tapi itu sama saja dengan memeras darah, apa Tuan Renaldi tidak tahu kalau bekerja itu ada batasnya. Namanya manusia juga pasti capek kan Bu?""Iya, tapi aku juga tahu perjuangannya. Ia juga lelah ke sana kemari membuat kesepakatan dan meyakinkan orang, aku yakin dia juga tidak k
"Iya saya tahu, saya cukup tahu diri untuk itu. Maksud saya di sini adalah agar kita semua bekerja sama dan kompak. Jika kita kompak maka segala sesuatu akan berjalan dengan lancar, benar begitu kan Mi?" Tanyaku pada ibu mertua, beliau sontak mengangguk dan menyetujui perkataanku. "Iya benar sekali, semua orang sudah ada di pos jabatan masing-masing jadi sebagai komisaris kami hanya ingin semua orang bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya," jawab calon ayah mertuaku."Om ... apa yang akan kamu lakukan kalau Renaldi tidak bisa mengurus pekerjaannya dengan baik setelah menikah?" "Entahlah... mungkin aku harus membuat dia bekerja lebih baik atau mungkin akan kutambah pegawai untuknya." "Bagaimana kalau Om ganti direktur saja? Dia akan mulai sibuk dengan keluarga dan istrinya jadi mungkin fokusnya akan terpecah.""Tidak akan," balas calon suamiku sambil tertawa. "Kalau kau tidak becus aku bisa kapanpun mengambil jabatanmu!""Tidak bisa Lorena, aku sudah bekerja sejauh ini untuk ada d
Aku membeku, lidahku kelu untuk menjawab perkataannya. Langkah kaki yang tadinya akan keluar tiba-tiba seperti lengket di permukaan lantai. Aku tertegun kaget, membeku dan merasa terintimidasi dengan bagaimana cara dia menanyaiku. "Saya rasa, saya bekerja dengan baik.""Katakan padaku... Di bagian yang mana Renaldi bisa jatuh cinta padamu?""Saya tidak tahu," balasku pelan. Aku mencoba bersikap santun, nada bicaraku juga rendah sekali, berikut juga dengan tatapan mataku. "Kau tahu kau harus berhadapan denganku jika itu tentang Renaldi!""Aku tidak mengerti Bu, aku tidak mengerti maksud anda.""Kau jelas menangkap apa maksudku, dan aku rela bersaing denganmu untuk kembali bersama dengan lelaki itu!" Ucapannya seperti petir, seperti sesuatu yang sontak menghentikan detak jantungku. Aku terkesiap tapi aku tetap berusaha tenang dan tersenyum. "Apa Anda pernah punya hubungan dengannya?""Iya, ada hubungan itu lebih dari yang kau bayangkan." "Aku tidak merasa kecil hati karena itu hany
Aku tahu wanita itu akan menciptakan drama untukku, menjelang seminggu pernikahan, di saat orang orang sedang sibuk menyiapkan semuanya, dia malah menciptakan masalah baru di kantor kami. Seperti yang sekarang terjadi, aku duduk di depan para auditor, dewan direksi dan tim manajer, dia sebagai manager keuangan berdiri sebagai penuntut, dia mencoba menyalahkan divisi kesejahteraan atas aliran dana yang kami gunakan dalam beberapa bulan terakhir. "Ku selidiki aliran dana dan ada yang tidak beres. Ada apa dengan pembekakan biaya dari divisi kesejahteraan?" "Kami gunakan dana tersebut untuk asuransi karyawan yang mengalami kecelakaan di lapangan, ada yang patah kaki dan ada yang tidak sengaja terbakar di lokasi proyek, kami juga membayar tunjangan kesehatan untuk orang-orang kita," balasku."Kenapa anggarannya harus naik 15%, Apa memang sebanyak itu?""Kalau anda belum tahu, dalam dua bulan terakhir kami melakukan proses rekrutmen karyawan baru, ada 500 orang yang baru diterima dan se
*Menjelang liburan ke Eropa, intensitas kesibukanku semakin meningkat, aku harus memberikan pembekalan pada tim marketing dari orang-orang yang ada di toko agar menjaga kinerja mereka selama aku tidak berada di Indonesia. Aku juga melatih asisten rumah tangga dan penjaga anak-anak agar mereka tetap disiplinkan seperti biasa. Hanya libur di hari Sabtu dan Minggu dan tetap melakukan les tambahan belajar di hari biasa. Tak lupa juga kutekankan agar para pengasuh tetap menyuruh anak-anak disiplin beribadah, juga kuberitahu asisten rumah tangga baru untuk mengurusi obat herbal mertuaku. Mereka harus minum itu setiap pagi sebelum sarapan, jadi asisten harus menyiapkannya dalam keadaan hangat. *Keberangkatanku ke Eropa adalah hal yang paling membuatku antusias. Setelah tujuh bulan menikah, untuk pertama kalinya aku dan Mas Renaldi akan punya waktu berdua saja tanpa kehadiran anak-anak dan kerabat lainnya. Benar-benar hanya aku dan dia saja tanpa asisten atau bodyguard yang mengikuti ka
*"Kulihat-lihat usahamu maju ya," ucap Lorena saat dia berkunjung ke butik tempat mendesain produk dan menjual barang. Aku yang cukup kaget dengan kedatangannya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk tipis. "Iya, Alhamdulillah.""Aku tahu kau tak senang aku datang ke sini.""Tidak juga, hanya saja... tumben." Aku sedikit bingung kenapa dia mengunjungiku, ada kecanggungan di antara kami yang membuat aku dan dia hanya saling menatap tanpa bicara lagi."Apa kau senang dengan bisnis ini.""Aku senang, merasa beruntung ada tim marketing dan support yang memadai. Mas Renaldi memberiku kesempatan dan dukungan, tanpa dia mustahil merkku terjual dengan cepat.""Aku yang memberinya saran untuk menggunakan tim marketing dan orang-orang yang terpilih.""Kalau begitu terimakasih," balasku pada wanita berambut panjang itu."Ya kau pantas mendapatkannya."Aku tertawa karena untuk pertama kalinya dia bilang aku pantas mendapatkan sesuatu. "Tumben.""Dipikir-pikir kau memang pantas mendapatkanny
"gimana aku nggak marah kalau kamu nggak adil. Kamu juga membiayai wanita yang unik itu untuk membuka usaha dan memberikan sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. Jomplang sekali dengan pelayananmu pada anak kita.""Kalau begitu biarkan clarra bersamaku, biar dia tinggal denganku maka akan kuberikan perusahaan itu untuknya!"Wanita itu terdiam sepertinya dia keberatan untuk menyerahkan clarra kepada Mas Rinaldi karena jika Clara pindah bersama kami maka wanita itu tak akan punya cara lagi untuk mendapatkan uang bulanan dari Mas Renaldi. Hebat sekaligus licik sekali, saat dia sendiri sudah punya suami tapi masih mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Lima ratus juta perbulan, untuk uang sekolah dan kebutuhan Clara yang sebenarnya tidak akan sebanyak itu. Tapi aku tidak punya hak untuk keberatan pada pemberian suamiku untuk anaknya, itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat."Pulang dan nikmati hidup dengan suamimu, bukankah kau sangat mencintainya! Selagi aku masih m
Sesuai dengan janji Mas Renaldi yang akan pergi ke sekolah anak-anak demi menegur orang-orang yang telah mengganggu mereka dan meminta kepada gurunya agar lebih berhati-hati. Suamiku mengunjungi tempat itu pukul 10.00 pagi dan dikabarkan padaku oleh asisten pribadinya Pak Dedi. Pria yang sudah 15 tahun jadi asisten Suamiku itu bilang kalau Mas Renaldy mengancam kepala sekolahnya, dia bilang tidak boleh Ada kesenjangan di sekolah tersebut, meski muridnya berasal dari latar belakang yang berbeda. "Bukan cuma anak orang kaya atau indo saja yang boleh menikmati fasilitas bagus, bahkan anak-anak dari kalangan menengah ke bawah dan latar belakang biasa saja mereka bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dari sekolah umum.""Oh dia bilang begitu ya pak?""Iya Bu, Bapak juga bilang kalau tindakan bullying ini masih berlanjut maka beliau akan melaporkan ini ke dinas pendidikan dan mengadakan rapat pertemuan wali murid yang bisa berujung pada penutupan sekolah.""Wah, itu menakutkan juga Pa
Kilau matahari menerangi kamarku, desir angin meniupkan tirai kamar yang terbuat dari kain satin, pintu balkon meniupkan hawa dingin ke arahku.Lembut gaun satin yang membungkus tubuh seakan memanjakanku, ditambah dengan nyamannya tempat tidur dan mewahnya kamar kami, aku seperti seorang ratu di istana sendiri. "Kalau pintunya terbuka berarti Mas Renaldi sudah pergi," gumamku sambil bangun dari tempat tidur dan menyibak selimut.Saat membuka pintu kamar, asisten rumah tangga yang kebetulan lewat menyapa dan membungkuk hormat. "Selamat pagi Nyonya l, mau sarapan apa pagi ini? Mau dibawakan ke kamar atau sarapan bersama mertua nyonya. ""Tidak apa, saya akan ambil sendiri," balasku. Terbiasa mengurus diriku sendiri sedikit membuatku canggung saat seseorang menawariku hendak makan apa dan diantar ke mana. "Nyonya ada kegiatan hari ini, kalau ada kami akan siapkan pakaiannya.""Tidak ada Mba, terima kasih atas bantuannya.""Dengan senang hati Nyonya," balasnya sambil tersenyum dan mela
Setelah menenangkan anak-anak atas insiden yang terjadi di meja makan, aku langsung menemui suamiku yang sedang menghibur putrinya di ruang keluarga lantai dua. Gadis cantik dengan gaun berwarna peach itu, nampak begitu murung dan menundukkan kepalanya. "Maafin papa ya, kamu baru berkunjung ke sini dan sudah menyaksikan keributan kami.""Ga apa Pa, aku sudah lama mau ketemu papa juga.""Keadaannya sekarang Papa sudah punya istri kamu nggak papa kan?""Iya.""Kamu sudah kenalan sama tante Hanifah?""Belum sempat.""Kalau begitu mari kita berkenalan," ucapku kepada anak itu sambil mendekat dan berjongkok di hadapannya. "Namaku Hanifah, namamu siapa?""Clarissa putri," balasnya. "Kamu cantik sekali, garis wajahmu sangat mirip dengan kedua orang tuamu," pujiku sambil membelai perlahan di pipi gadis kecil itu, mata indah dan hidungnya yang mancung mirip ayahnya, sementara garis bibir dan wajahnya mirip ibunya. Dia tak bosan dilihat, fitur wajahnya seperti perpaduan antara orang Indonesi
"Kau tidak pantas berkata seperti itu Pricilla! Beraninya wanita yang kabur dari suaminya mengomentari wanita lain!" balas suamiku yang mencoba membela diri ini. "Kupikir istrimu adalah anak pengusaha dari Singapura tapi ternyata hanya wanita kampungan ini. Ya ampun, apa Kau terlalu putus asa untuk move on dariku ataukah ini hanya sekedar aksi balas dendam?" tanya Pricilla yang sudah membuat keadaan makin memanas dan tidak nyaman. "Sebaiknya mari kita makan," ucap ibu mertua sambil memberi isyarat pada semua orang agar bergabung ke meja makan, di meja panjang itu koki dapur telah menyiapkan aneka hidangan, ada sup rumput laut dan makanan herbal khas Tiongkok khusus dibuat untukku. Ada kue dan penganan lain yang juga tak kalah menggugah selera. "Ayo jangan bicara saja, mari kita rayakan momen baik ini dengan makan bersama dan saling membuka hati untuk berdamai.""Mi, apa Mami yakin? Apa yang membuat Mami tiba-tiba membuka hati pada orang miskin. Bukankah standar Mami selama ini sa
Aku tahu ada besar resiko yang kuambil setelah memberi pelajaran kepada Lorena. Andai wanita itu mengadu, pasti ada pertarungan antara aku dan Mas Renaldi, lalu jika suamiku disuruh memilih, dia pasti akan mengutamakan kerabat dibandingkan istrinya yang baru saja bergabung dalam keluarganya.Baru masuk dalam keluarga kaya dan harus beradaptasi dengan kebiasaan mereka yang agak feodal membuatku sedikit kesulitan tapi aku mampu belajar. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kehidupanku di antara orang-orang kaya ini, tapi satu-satunya hal menyebalkan hanyalah Lorena. Entah apa yang akan dia katakan pada suamiku, bagaimana pula ia menjelaskan pada keluarganya mobilnya rusak karena apa, boleh jadi ini ada pelajaran yang akan membuatnya berhenti menggangguku atau bisa juga itu adalah batu loncatan untuk membuatku diusir dari tempat ini."Kau sudah pulang?" tanya suamiku, agak kaget diri ini mendapatinya pulang lebih cepat dariku. "Iya, Mas.""Aku menunggumu dari tadi.""Aku keluar sebentar
*Kutunggu lelaki itu sampai dia pulang dari kantornya, setelah makan malam kami duduk bersantai di balkon rumah, kubawakan segelas kopi untuknia dan suamiku tersenyum senang menerima itu. "Gimana hari ini, apa semuanya lancar?""Iya, Alhamdulillah. Akhir-akhir ini aku senang pulang ke rumah karena seseorang selalu menunggu dan menanyakan hari-hariku. Terima kasih sudah jadi istri yang menyenangkan.""Sama sama, tapi ada hal yang membuatku sedikit tak senang.""Apa itu.""Maafkan aku, tapi aku keberatan Mas melibatkan Lorena dalam semua urusanku. Aku ingin mengatur usahaku sendiri dan tolong percayakan semuanya padaku.""Dia hanya mengelola modal untukmu." "Bila semua harus melewati dia, maka aku memilih untuk tidak memiliki bisnis dari modal perusahaanmu. Aku akan menabung pelan-pelan dan mengembangkan bisnis sendiri."Lelaki itu tertawa sambil menggelengkan kepalanya, dia memandangku sambil tersenyum."Sebenarnya ada apa? Jangan terlalu ambil hati masalah Lorena, kau tahu sendiri