Setelah ayah dan ibunya Arman menjauh dari rumah calon mertuaku, calon ibu mertua hanya mendesahkan napasnya lalu memberi isyarat kepada suaminya untuk masuk kembali ke dalam rumah sementara aku dan Mas Renaldi akan pulang. "Ayo masuk Pi, biar anak-anak pulang.""Iya, Mi." Pria yang hampir 60 tahun itu menepuk bahuku sambil tersenyum lalu dia mengikuti langkah istrinya. Aku agak tertegun dengan reaksi mereka, tidak menyangka kalau mereka akan diam saja, tidak memperpanjang perdebatan, bahkan mempertanyakan atau mengoceh lebih jauh lagi. Mungkin pikiran mereka sudah begitu terbuka, juga tak mau buang waktu padahal hal-hal yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Jadi, aku lega sekali. "Apa tadi kau takut?" tanya Mas Renaldi."Sebenarnya iya. Aku tidak khawatir untuk hukuman pada diriku sendiri, tapi aku menjaga perasaanmu, Mas. Bagaimana kalau pernikahan ini batal gara-gara aku? Gara-gara masalah yang seharusnya sudah kita lupakan tapi masih diungkit-ungkit lagi.""Itu tidak akan b
Seperti drama Korea yang selalu datang pengganggu pada puncak kebahagiaan aktor utama, aku merasa familiar dan sedikit klise dengan kejadian hari ini. Kupikir semuanya akan berjalan lancar tanpa penghalang, tapi sekarang aku melihat sebuah tembok besar bernama Lorena yang dari tatapan matanya sudah bersiap-siap untuk menghancurkan hidupku. Dari cara dia bicara sepertinya wanita itu menyukai calon suamiku dan dia akan menyulitkan diri ini. Dan wow, dia bilang dia akan ada di kantor Mas Renaldi sepanjang hari, bahkan dia tidak langsung pulang ke rumahnya atau ke hotel setelah perjalanan jauh dari Amerika. Dia ingin bertemu Mas Renaldi dan kupikir baginya calon suamiku adalah orang penting. Kalau tidak tahu apa yang harus kulakukan jadi kuraih ponselku dan kuhubungi Mas Renaldi. Lelaki yang sedang dalam perjalanan itu menjawab panggilanku."Assalamualaikum Sayang. Ada apa?""Waalaikumsalam. Mas sepupumu sudah datang dari Amerika, dia sudah menyapaku di kantorku dan sekarang dia berada
Tatapan wanita itu membuatku risih, sekalipun ia sangat cantik, wangi dan elegan, aku seperti melihat seorang musuh yang punya dendam kesumat di hadapanku. Aku bisa tahu kalau dia membenciku, Dia tidak setuju aku dekat dengan sepupunya yang kaya raya serta sukses itu. Dari gestur dan gaya pertanyaannya sejak tadi, jelas saja ia menghina diri ini secara tersirat bahwa aku adalah orang rendahan, miskin, jauh dari mereka yang seakan-akan tidak pantas bersanding dengan Mas Renaldi. Aku tersinggung, tapi aku mencoba bersikap tenang demi menghargai calon suamiku. "Oh ya, anak kamu berapa?""Dua, Nyonya.""Tidak usah panggil aku nyonya. Panggil saja Lorena sebab aku dan suamimu adalah sepupu!""Baik." Aku tetap menjawab dengan tenang."Di SDN 12.""Oh sekolah negeri?""Iya.""Kenapa tidak pindahkan ke sekolah internasional?""Sebenarnya aku mau memindahkannya tapi Hanifah menolaknya.""Kenapa, apa kau merasa insecure dan khawatir kalau anak-anakmu tidak bisa menyesuaikan diri dengan anak
Sehari berikutnya. Rapat dengan beberapa divisi sepanjang hari membuat kepalaku betul-betul pusing. Belakangan ini Mas Renaldi memberiku lebih banyak tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan mengelola beberapa departemen di tower ini. Aku harus berdiskusi dengan beberapa manajer, kepala cabang dan kepala staf agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan harapan Direktur utama.Aku seperti mengelola sesuatu yang bukan tanggung jawabku tapi aku diharuskan untuk seperti itu. "Aku sedikit kewalahan tapi ini adalah tanggung jawab yang dipercayakan Mas Renaldi padaku,"ujarku pada Vina asistenku. "Kalau kewalahan mungkin bisa bagi tugas bu.""Tapi Tuan Renaldi menyuruhku untuk memastikannya secara langsung.""Tapi itu sama saja dengan memeras darah, apa Tuan Renaldi tidak tahu kalau bekerja itu ada batasnya. Namanya manusia juga pasti capek kan Bu?""Iya, tapi aku juga tahu perjuangannya. Ia juga lelah ke sana kemari membuat kesepakatan dan meyakinkan orang, aku yakin dia juga tidak k
"Iya saya tahu, saya cukup tahu diri untuk itu. Maksud saya di sini adalah agar kita semua bekerja sama dan kompak. Jika kita kompak maka segala sesuatu akan berjalan dengan lancar, benar begitu kan Mi?" Tanyaku pada ibu mertua, beliau sontak mengangguk dan menyetujui perkataanku. "Iya benar sekali, semua orang sudah ada di pos jabatan masing-masing jadi sebagai komisaris kami hanya ingin semua orang bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya," jawab calon ayah mertuaku."Om ... apa yang akan kamu lakukan kalau Renaldi tidak bisa mengurus pekerjaannya dengan baik setelah menikah?" "Entahlah... mungkin aku harus membuat dia bekerja lebih baik atau mungkin akan kutambah pegawai untuknya." "Bagaimana kalau Om ganti direktur saja? Dia akan mulai sibuk dengan keluarga dan istrinya jadi mungkin fokusnya akan terpecah.""Tidak akan," balas calon suamiku sambil tertawa. "Kalau kau tidak becus aku bisa kapanpun mengambil jabatanmu!""Tidak bisa Lorena, aku sudah bekerja sejauh ini untuk ada d
Aku membeku, lidahku kelu untuk menjawab perkataannya. Langkah kaki yang tadinya akan keluar tiba-tiba seperti lengket di permukaan lantai. Aku tertegun kaget, membeku dan merasa terintimidasi dengan bagaimana cara dia menanyaiku. "Saya rasa, saya bekerja dengan baik.""Katakan padaku... Di bagian yang mana Renaldi bisa jatuh cinta padamu?""Saya tidak tahu," balasku pelan. Aku mencoba bersikap santun, nada bicaraku juga rendah sekali, berikut juga dengan tatapan mataku. "Kau tahu kau harus berhadapan denganku jika itu tentang Renaldi!""Aku tidak mengerti Bu, aku tidak mengerti maksud anda.""Kau jelas menangkap apa maksudku, dan aku rela bersaing denganmu untuk kembali bersama dengan lelaki itu!" Ucapannya seperti petir, seperti sesuatu yang sontak menghentikan detak jantungku. Aku terkesiap tapi aku tetap berusaha tenang dan tersenyum. "Apa Anda pernah punya hubungan dengannya?""Iya, ada hubungan itu lebih dari yang kau bayangkan." "Aku tidak merasa kecil hati karena itu hany
Aku tahu wanita itu akan menciptakan drama untukku, menjelang seminggu pernikahan, di saat orang orang sedang sibuk menyiapkan semuanya, dia malah menciptakan masalah baru di kantor kami. Seperti yang sekarang terjadi, aku duduk di depan para auditor, dewan direksi dan tim manajer, dia sebagai manager keuangan berdiri sebagai penuntut, dia mencoba menyalahkan divisi kesejahteraan atas aliran dana yang kami gunakan dalam beberapa bulan terakhir. "Ku selidiki aliran dana dan ada yang tidak beres. Ada apa dengan pembekakan biaya dari divisi kesejahteraan?" "Kami gunakan dana tersebut untuk asuransi karyawan yang mengalami kecelakaan di lapangan, ada yang patah kaki dan ada yang tidak sengaja terbakar di lokasi proyek, kami juga membayar tunjangan kesehatan untuk orang-orang kita," balasku."Kenapa anggarannya harus naik 15%, Apa memang sebanyak itu?""Kalau anda belum tahu, dalam dua bulan terakhir kami melakukan proses rekrutmen karyawan baru, ada 500 orang yang baru diterima dan se
"Selama kau belum jadi istri Renaldi, jangan merasa di atas angin. Hari ini semua orang membelamu tapi besok belum tentu," ucap Lorena saat aku dan dia bertemu di ujung koridor di jam pulang kantor. Karena kami menuju lift yang sama, aku terpaksa harus satu perjalanan dengannya, ditambah karena harus mengejar waktu menjemput anak-anak maka niat untuk menghindarinya terpaksa harus kutahan. Kebetulan di dalam lift hanya aku dan dia, sehingga wanita itu tidak melewatkan waktu untuk segera membalas dendam dan menyudutkan diri ini. "Kenapa kau diam saja?""Tidak ada yang harus dibahas, Bu. Saya juga sudah lelah sekali.""Kalau lelah menyerah saja, Aku tidak akan melepasmu sampai kau pergi dari tempat ini!""Apa tujuanmu, Apa keuntungan mau memisahkanku dengan mas Renaldi!""Karena aku ingin bersamanya! Kau dan dia tidak pantas, akulah yang lebih berhak mendampingi Renaldi.""Kalau begitu katakan padanya, dia untuk memilih antara aku dan kamu."" Entah pelet Apa yang kau berikan pada le